Mohon tunggu...
Aditya Nugroho
Aditya Nugroho Mohon Tunggu... -

Sepakbola adalah jiwa dan raga saya!

Selanjutnya

Tutup

Olahraga

Playmaker Indonesia?

13 Desember 2011   11:48 Diperbarui: 25 Juni 2015   22:22 544
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Playmaker. Trequartista. Fantasista. Atau apapun sebutannya dalam sepakbola adalah seorang pemain yang memiliki karakteristik spesial. Spesial karena lewat pemain di posisi inilah sering kali permainan sebuah tim bergantung. Pemain ini menghubungkan lini depan dan belakang, biasanya bernomor punggung 10, memiliki visi yang jelas dalam permainan dan utamanya adalah mempraktekkan strategi pelatih kedalam lapangan. Pemain seperti Johan Cruyff, Zinedine Zidane maupun Maradona seringkali sendirian menentukan hasil pertandingan timnya. Pemain ini adalah roh dari tim, pemain ini adalah strategi dari tim itu sendiri. Itulah playmaker pada tingkat tertingginya.

Ada juga pemain yang menentukan alur permainan tim. Bermain cepat, lambat, direct maupun dari kaki ke kaki layaknya seorang dirigen dalam simfoni musik. Andrea Pirlo, Xavi Hernandez, Xabi Alonso adalah contoh dari sedikit pemain tersebut. Bahkan ada sebutan lazy wizard, sebutan untuk seorang pengatur serangan yang malas berlari tapi punya skill luar biasa seperti Juan Roman Riquelme ataupun almarhum Socrates.

Di Indonesia, pemain dengan posisi dan peran seperti maestro diatas sebenarnya cukup banyak dihasilkan pada tahun 80-90an, hanya dengan tingkatan prestasi dan kebintangan yang berbeda dari playmaker-playmaker dunia tersebut. Terhitung Yoesoef Bachtiar, Fachry Husaini, Ansyari Lubis, Francis Wewengkang hingga Eduard Ivakdalam. Mereka adalah pengatur permainan papan atas Indonesia pada masa jayanya.

Tetapi dalam 10 tahun terakhir ini, pemain Indonesia berkarakter demikian sangat langka. Tercatat hanya Firman Utina, Ahmad Bustomi dan kini Egi Melgiansyah saja yang memiliki kemampuan mengatur permainan. Mantan pelatih Alfred Riedl bukannya tidak menyadari permasalahan ini. Dia mengeluhkan terbatasnya pemain lokal berposisi playmaker di kompetisi Liga Indonesia.

Anehnya, ini adalah fenomena yang mulai terjadi sejak kepemimpinan rezim sebelum sekarang. Posisi pemain-pemain ini di klub Liga Indonesia sudah nyaman diduduki pemain-pemain asing. Zah Rahan, Danilo Fernando, Ronald Fagundez, Milijan Radovic sampai Robertino Pugliara semuanya bukan pemain lokal. Gelandang-gelandang lokal kebanyakan berposisi sebagai gelandang bertahan yang berkarakter keras, bukan karakter flamboyan, karena memang posisi pengatur permainan seolah sudah dipatenkan untuk pemain asing. Ada juga pendapat kerasnya permainan di Indonesia juga menjadi faktor terkikisnya peran seorang fantasista. Keras karena karakter atau keras karena wasit sering membiarkan pelanggaran berbahaya terjadi tanpa dihukum? Tanya kenapa.

Seperti apapun strategi tim, dan se-rigid apapun formasi sebuah tim, peranan playmaker tetaplah penting. Manchester United walaupun terkenal memberikan nomor 10nya kepada striker utama, tetap merindukan Paul Scholes yang memiliki kemampuan memegang kendali permainan. Seperti halnya Jerman yang mampu memaksimalkan Bastian Schweinsteiger dan Mesut Ozil di akhir era Michael Ballack.

Untuk itu semoga klub-klub Indonesia, khususnya ISL berani memberikan kepercayaan posisi strategis ini kepada pemain lokal. Hanya Firman, Bustomi dan Egi sebagai output dari kompetisi dalam bentuk playmaker bukanlah hal baik bagi persepakbolaan Indonesia, khususnya tim nasional. Kita butuh playmaker lokal berkualitas internasional. Malaysia sekarang punya Baddrol dan Safiq. Indonesia tentu butuh sesosok playmaker yang bisa bermain di wilayah setengah lapangan lawan, sehingga serangan tidak melulu melalui long-pass dari full-back ataupun gelandang bertahan, serta tidak sporadis mengandalkan kecepatan lari striker. Permainan seperti itu jelas sudah usang, dan pastinya tidak menarik dan terbaca lawan.

Pemain tidak bisa disalahkan, karena timnas yang kita saksikan adalah produk dari kompetisi. Apa yang kita saksikan bersama adalah cerminan kompetisi kita. Permainan keras, tekel berbahaya, umpan lambung, serangan sporadis, mental labil adalah pemandangan yang akan kita tetap saksikan, dan kekalahan akan tetap kita akrabi. Kata-kata pelipur lara akan terus jadi sahabat kita, dan adik-adik kita penggemar sepakbola dan calon penerus penghuni timnas hanya akan bisa mendengar cerita pedih kekalahan senior-seniornya. Jika ingin melihat pemain dengan visi sebaik Paul Scholes, umpan seakurat Andrea Pirlo dan daya jelajah sejauh Ramires dan punya prestasi secemerlang mereka, atau perkembangan sepesat timnas Jepang, kita harus merubah semuanya. Merubah sikap dan pendekatan, dimulai dari merubah kompetisi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun