Mohon tunggu...
Detlh Aal
Detlh Aal Mohon Tunggu... -

menulis dan hanya menulis

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Aku, Kau, dan Gaza

5 Agustus 2014   14:10 Diperbarui: 18 Juni 2015   04:23 22
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Satu

Apa yang kau tunggu, hingga kau mampu berlenggang badan.Apa kau tak malu, melihat saudaramu?Dan kau hanya berpangku tangan.Bukankah kau yang mengajariku arti akan kepedulian?Bukankah kau yang mencontohkan bagamaina bentuk kebersamaan?

Tungku!! Itu yang kau ucapkan dahulu, dan kini kau yang menyemati.

Lancung!! Disaat perbuatan tak sesuai dengan ucapan.

Mereka disana terkapar, dalam keadaan mengenaskan.

Mereka disana terbakar, dalam keheningan malam yang tak berpijar.

Sesat. Entah mereka yang menyerang atau kita yang sekadar melihat.Sesaat. Semua terlihat berat, sementara disana tak ada lagi halat.Teramat menyiksa, ketika maksiat, murtad menjadi pemandangan yang helat.

Kebal tubuh itu bagai aspal bertimbal.Sesal, hanya ucap bebal tak berakal.Seperti itukah kau yang terlalu berharap akan Jannah?Disaat pelapah disanggah para bedebah.Amarah, hanya terluap dalam pasrah.Ketika dilapah ditelan mentah-mentah.

Hahaha, mereka tertawa dengan gagahnya.Sementara kau hanya meratapi dan berdoa,”Ya Aziiz, tunjukkan kekuasaan Mu.

Sementara mereka berjuang menahan gelepur menggunakan aur.Sulur-sulur menghantui mereka yang terkubur.

Kau hanya terdiam, menggantang tentang.Mengamang usang tak tebilang.

Kau hanya menangis, ketika kedik mencabik hardik upik.

Ya Rohmaaan, hanya belas kasih Mu yang kini kami harapkan.Ya Hadiii,tunjukanlah mereka jalan yang lurus, kekuatan melawan zionis Laknatullah.

Diasaat tak ada lagi arah yang ada hanya pasrah.

Dua

Keparat!! Ucapan yang pantas buat kalian.

Biadab!! Lagi-lagi ku tujukan untuk para pecundang seperti kalian.

Bukan kasar, hanya sedikit mungkar mendengar kabar.

Aku memang tidak seperti mereka, yang jiwanya ridho untuk Ta’ala.

Namun aku mempunyai tekad baja, melaui ucap tak seberapa, agar terdengar, meski hanya lelawa.

Amarah, sudah pasti ku sudutkan untuk kalian yang menantang gelak tawa.

Juga kau, mereka, kalian.

Jannah, yang akan mereka dapat dikala kalah namun berkah disanggah.Aku tak peduli akan mahkamah, dikala sudah dilapah tak terbantah.Tak ku hiraukan musyawarah, yang ku dapat hanya rebah bersimbah darah.

Letupan suara keras dari selongsong besi.Ledakan meriam dari dalam baja tak beruji. Roket, rudal tertuju untuk mereka yang kerap harapkan Jauhari. Gerigi tajam, seligi tergenggam untuk pertahankan diri.Temani tangisan anak kecil dan wanita tak kunjung henti.

Ucap bela sungkawa dari pelosok negeri.Tak sama sekali bantu mereka perjuangkan kalimat Ilahi Robbi.Kebanyakan mereka terdiam, bungkam, menahan ragam.Suarakan kalam bermacam sekam.

Mana keadilan untuk mereka? Apakah kau yang akan perjuangkan? Apakah kau dengan segala akan hidupkan kembali mereka yang telah mati?

Dimana perlindungan dunia sebagai hak mereka untuk berkarya?Adakah yang peduli akan nyawa mereka?

Sudikah kau bantu perjuangkan hidup mereka?

Disaat yang lain tersenyum bahagia.Disaat yang lain tertawa penuh gelak tawa.Sementara disana, berjuang tumpahkan jiwa dan raga.Sementara mereka, menggenggam batu, senjata, lentera seadanya.

Salat, tidak lagi menjadi syariat.Dikala ahad terlihat tubuh sekarat dijemput malaikat.Sanggupkan kau hanya melihat.Menggenggam semangat, menyaksikan jiwa rakyat tergeletak sekarat.

ALLAHU AKBAR!! kalimat takbir gemparkan alam raya ini.

ALLAHU AKBAR!! getarkan semangat mujahid untuk dapatkan Ridho Ilahi.

Tiga

Kau lihat ratusan mayat tak berdosa.Hanya diam, ucap kata tak ada.

Masih dapatkah kau mengaku saudara?

Hingga terlihat aliran merah keluar dari segala, disaat semua jauh tak ada yang membela.

Kau, begitu bahagia melihat mereka yang menderita?

........... (hening)

Kau buang senyum, berpura-pura tak melihat.Kau, yang selalu umbarkan gelak tawa, acuhkan bagai tak berdosa.

Mereka sempatkan ingat Ta’ala ; meski dalam keadaan luka derita.

Mereka sempatkan berdoa ; sekalipun dalam keadaan sengsara.

Air mata darah tak satupun menyeka.Ketika selongsong peluru panas tepat mendarat di kepala.Sudikah kau redam gelak tawa.Hanya untuk pedulikan mereka?

Ketika malam tak lagi menjadi peristirahatan.Udara dingin, asap tebal yang selalu jadi balutan.Tak ada lagi gurauan, setengguk air begitu berharga tuk jadi kekuatan.

Kini.....

Hanya ada lautan manusia yang rindukan Jannah.Tergeletak semua tersenyum dalam heningnya barakah.Sebagian mereka menatap jenazah dengan pasrah.Tinggalkan tempat begitu ramah, dalam diamnya sudah.

( Palestina, 2014)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun