Mohon tunggu...
Aditya Ramadhan
Aditya Ramadhan Mohon Tunggu... -

rigeladitya

Selanjutnya

Tutup

Politik

Media Massa, Off The Record

26 November 2013   23:39 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:38 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

"Kau tahu tentang tulisan jilbab hitam yang menyerang Tempo?"

"Hhh... lugu kau, begitu saja termakan bualan. Itu palsu... eh, ini bukan berarti aku mendukung Tempo loh ya. Tulisan itu memang bohong untuk Tempo. Tapi tidak dengan kebiasaan para media." Perkataan Dion ini sangat menarik untuk disimak. Tulisan itu memang bohong untuk Tempo, tapi tidak dengan kebiasaan para media. Aku ingin tahu lebih lanjut.

"Maksudmu?"

"Ya, yang dibilang wartawan sering mendapat 'uang receh' yang dimasukkan ke dalam amplop di beberapa liputan, dan isu memihak juga mendukung sebelah pihak. Itu benar adanya. Dan wartawan-wartawan yang suka menerima gaji tambahan, itu memang ada. Atasanku contohnya."

"Coba jelaskan," aku meminta Dion. Dan langsung saja dia bicara tanpa ada sesuatu yang menahannya.

"Si jilbab hitam yang menulis di dunia maya itu cuma mengada-ada, tapi inti dari ceritanya itu benar adanya. Bukan soal jual beli isu, tapi setahuku, 'penyerangan' yang dilakukan media itu memang ada. Dan juga pembelaan media untuk sebelah pihak juga bukan rahasia."

Lanjutkan Dion! Seruku dalam hati.

"Aku ditugaskan menulis sebuah artikel tentang baik dan buruk seperangkat alat. Simpel, cuma menuliskan baik dan buruk. Sebulan setelahnya, aku ditelpon oleh humas perusahaan tersebut, katanya ingin bertemu denganku karena ada sebuah hadiah untukku karena sudah menyempatkan waktu menulis tentang artikel itu. Itu hadiah, diberikan setelah tulisanku selesai. Bukan sogokan yang diberikan sebelum aku menulis, agar aku menulis yang baik-baik,"

"Tapi si humas itu batal bertemu denganku, kawan. Humas perusahaan itu adalah teman dari dua orang atasanku, dan atasanku melarang si humas untuk memberikan hadiah perangkat tersebut untukku. Tapi diambil dan dibagi rata untuk mereka berdua, lucu ya? Tapi tak hanya itu."

"Apa lagi?" Dion menghela napas sebentar. Mengambil sebatang rokok terakhir di bungkus Marlboro putih, menyelipkan di bibirnya, dan membakarnya. Aku amat menunggu kisah lanjutannya.

"Media tempatku bekerja juga menyerang beberapa pihak yang tak disukainya, 'menghajarnya' lewat artikel-artikel pedas. Yang tentu saja merugikan si pihak yang diserang. Tujuannya? Kata bosku, supaya mereka sadar, dan mereka meminta maaf kepada media kami. Meminta maafnya bagaimana? Baik-baiklah kepada media kami, beri barang yang mereka miliki, atau ajak wartawan kami ke luar negeri untuk 'liputan jalan-jalan' sebagai permintaan maaf. Masalah beres. Kalau belum seperti itu, ya kami akan terus menyerang mereka. Atau memboikot pihak mereka dari tulisan kami. Seperti itu."

"Sama saja seperti kau ditilang oknum polisi, lalu kau baik-baiki oknum tersebut dengan sejumlah uang, lalu masalah beres. Begitu, Dion?"

"Pintar."

"Dan lebih lagi," Dion menghisap rokoknya hanya sebentar, lalu melanjutkan, "atasanku ini tak bercermin diri setelah membaca tulisan si jilbab hitam yang menyebar di dunia maya. Ia mengirim tautan kepada anak buahnya, lau berkata 'Buka link ini deh. Kalian wartawan, jangan kayak gini ya. hehehe...' persis penjilat bukan?"

Ini. Cerita Dion ini sangat menarik sekali untuk kutulis lalu kusebarkan secara luas. Ah tapi, apa semua yang dikatakan Dion ini benar adanya? "Hei Dion, semua yang kau katakan ini, benar kan? Fakta?"

"Hahahaha...." Dion malah terbahak-bahak, membuang rokoknya yang masih setengah, lalu menginjaknya agar bara api padam. "Ya tidaklah, semua yang kucertikan itu fiksi. Jangan mau otakmu disetir oleh orang-orang yang punya kepentingan, jangan mau disetir oleh media!"

nb: hei Kevin Carter, apa foto anak kecil yang hendak dimakan burung pemakan bangkai itu benar adanya? apa setelah kau pergi burung itu benar-benar memakan si anak?

15 November 2013

di pengasingan kebenaran

Aku meremas kertas kuning berisi tulisan percakapan yang masih saja diketik pakai mesin tik itu. Sudah 2013, mesin tik  masih saja dipakai. Lagi-lagi bualan kelas teri. Jauh lebih baik aku menulis puisi. Tentang cinta yang tak ada habisnya. Karena aku terkadang berpikir, Cinta dan Tuhan adalah satu zat yang sama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun