Mohon tunggu...
Adi Syahwal Ganda Diputra
Adi Syahwal Ganda Diputra Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiwa Sarjana Teknik Geofisika ITB

mahasiswa sarjana teknik geofisika yang senang membaca dan meneliti

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

Penilaian dan Analisis Bahaya Gempa di Kota Padang dan Kota Bengkulu

15 Desember 2024   18:31 Diperbarui: 15 Desember 2024   18:31 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kurva dan Peta Perbandingan Fungsi Bahaya Gempa di Kota Padang dan Kota Bengkulu (Sumber: Triyoso, W., dkk. 2020)

Pulau Sumatra, Kota Padang, dan Kota Bengkulu

Pulau Sumatra adalah pulau terbesar keenam di dunia dan ketiga di Indonesia yang dihuni oleh sekitar 56.795.305 jiwa menurut sensus 2024. Secara geografis, Pulau Sumatra berbatasan dengan Laut Andaman di sebelah Utara, Selat Malaka di sebelah Timur, Selat Sunda di sebelah Selatan, dan Samudera Hindia di sebelah Barat. Secara administratif, Pulau Sumatra terbagi menjadi 10 provinsi, yaitu Provinsi Aceh, Provinsi Sumatra Utara, Provinsi Sumatra Barat, Provinsi Jambi, Provinsi Riau, Provinsi Kepulauan Riau, Provinsi Bengkulu, Provinsi Sumatra Selatan, Provinsi Bangka Belitung, dan Provinsi Lampung.

Kota Padang dan Kota Bengkulu masing-masing adalah kota terbesar bagi Provinsi Sumatra Barat dan Provinsi Bengkulu. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2022, Kota Padang memiliki jumlah penduduk sebesar 919.145 jiwa, sedangkan Kota Bengkulu memiliki jumlah penduduk sebesar 384.800 jiwa. Menurut Jon Edwar selaku Kabid Minerba Dinas ESDM, Kota Padang memiliki kekayaan sumberdaya non-logam yang melimpah sehingga terdapat brand terkait yang cukup terkenal seperti Semen Padang. Sedangkan, Kota Bengkulu dikenal dengan keanekaragaman hayatinya sehingga dijuluki sebagai ’Bumi Rafflesia’.

Sejarah Kegempaan dan Sumber Bahaya Gempa di Pulau Sumatra

Megathrust adalah zona dimana dua lempeng tektonik berinteraksi dengan cara saling bertemu dan bertabrakan satu sama lain. Pergerakan atau interaksi ini akan menghasilkan gempa yang cukup besar karena akumulasi tekanan (stress) yang akan dilepaskan secara tiba-tiba. Pulau Sumatra sendiri tepatnya di Pesisir Barat Sumatra merupakan tempat bertemunya dua lempeng besar dunia, yaitu Lempeng Eurasia dan Lempeng Indo-Australia yang menjadikan Sumatra sebagai salah satu zona megathrust di dunia dan di Indonesia. Hal ini menjadikan Pulau Sumatra menjadi wilayah yang cukup rawan akan bahaya bencana gempa bumi. Selain megathrust, sumber bahaya bencana gempa bumi di Pulau Sumatra juga ada Sesar Sumatra (SFZ). Menurut Natawidjaja peneliti kebumian BRIN, Sesar Sumatra ini memiliki panjang sekitar 1900 km, di Utara sesar ini bertransformasi menjadi pusat rekahan lempeng tepatnya di Laut Andaman, sedangkan di Selatan sesar ini melengkung dan berkemungkinan berpotongan dengan Palung Sunda. Natawidjaja membagi Sesar Sumatra yang panjang menjadi 20 segmen besar dengan rentang 35 km hingga 200 km tiap segmennya berdasarkan kemenerusannya. Setiap segmen Sesar Sumatra ini dapat menjadi sumber bahaya bencana gempa tersendiri bagi wilayah disekitarnya.

Mengutip dari Badan Survey Geologi Amerika Serikat (USGS), gempa bumi adalah gerakan atau robekan tiba-tiba dua blok batuan atau lempeng bumi relatif terhadap satu sama lain. Bidang permukaan tempat gerakan atau robekan terjadi disebut sebagai sesar dan titik lokasinya disebut sebagai episenter, sedangkan titik lokasi dimana gempa bumi terjadi di bawah permukaan bumi disebut sebagai hiposenter. Terkadang, gempa bumi juga memiliki hal-hal yang dinamakan foreschock dan aftershock, berupa rangkaian kejadian gempa-gempa kecil yang mengiringi gempa utama, baik sebelum (fore) maupun sesudah (after) gempa utama.

Pada tanggal 26 Desember 2004, USGS mencatat gempa bumi besar terjadi di wilayah Provinsi Aceh berkekuatan MW 9.1 yang memicu tsunami dengan korban jiwa lebih dari 200 ribu orang. Hiposenter gempa bumi berada 30 km di bawah permukaan laut lepas pantai Sumatra. Menurut teori lempeng tektonik, Lempeng Indo-Australia bergerak menabrak Lempeng Eurasia dengan kecepatan 8 cm/tahun, kemudian karena Lempeng Indo-Australia memiliki massa jenis yang lebih berat daripada Lempeng Eurasia maka Lempeng Indo-Australia bergerak menunjam ke bawah Lempeng Eurasia, fenomena ini dikenal dengan istilah subduksi yang menghasilkan gempa-gempa megathrust. Mengutip hasil penelitian para ahli gempa dari Jepang, tiga bulan setelah terjadinya gempa Aceh 2004, pada tanggal 28 Maret 2005 di wilayah Nias-Simelue gempa berkekuatan MW 8.6 dengan kedalaman hiposenter mencapai 30 km menimpa wilayah tersebut. Mekanisme gempa ini cukup mirip dengan gempa Aceh 2004. Gempa ini juga memicu tsunami namun tidak separah gempa Aceh 2004. Beberapa catatan sejarah kegempaan dan tsunami yang melanda Pulau Sumatra di awal abad 21 ini tentunya menjadi pengingat bagi kita semua untuk selalu siap dan waspada terhadap ancaman gempa yang mengancam Pulau Sumatra, bukan untuk ditakuti. Sehingga, rencana mitigasi bencana yang akan dibuat dapat berjalan dengan efektif dan maksimal.

Analisis Bahaya Gempa di Kota Padang dan Kota Bengkulu

Pada tahun 2020, Wahyu Triyoso, Ph.D., selaku peneliti kegempaan dari ITB melakukan studi dan analisis terkait bahaya seismik atau kegempaan di Kota Padang dan Kota Bengkulu. Dosen sekaligus peneliti lulusan The University of Tokyo tersebut mengevaluasi dan memetakan fungsi bahaya seismik di Kota Padang dan Kota Bengkulu menggunakan data deformasi permukaan bumi dari GPS sebelum gempa bumi terjadi. Selanjutnya, sumber bahaya gempa dipilih dengan skema rentang magnitudo MW 6.0 – MW 9.0 dan radius ≤ 100 km dari Kota Padang dan Kota Bengkulu di sepanjang zona subduksi Sumatra. Terakhir, evaluasi dilakukan dengan menghitung percepatan pergerakan tanah (PGA) saat gempa terjadi pada 10% peluang kejadian terlampaui (probabilitas eksedansi) selama 50 tahun.

Percepatan pergerakan tanah diukur dalam satuan gal (percepatan gravitasi), sedangkan probabilitas eksedansi dinilai dalam rentang 0 (tidak mungkin terjadi) hingga 1 (pasti terjadi). Sebagai analogi, kekuatan guncangan 0.2 g sama halnya seperti ketika kita sedang berada di dalam mobil yang tiba-tiba berbelok tajam. Guncangan ini cukup untuk membuat orang kehilangan keseimbangan jika tidak berdiri dengan kuat dan mungkin menyebabkan kerusakan ringan pada bangunan yang tidak dirancang untuk menahan gempa. Tentunya, semakin besar nilai PGA atau kuat guncangan maka probabilitas eksedansi atau kemungkinan terjadinya akan semakin kecil.

Gambar tersebut menunjukkan peta bahaya seismik di zona subduksi Sumatra. Analisis bahaya seismik dilakukan untuk Kota Padang dan Kota Bengkulu yang dinyatakan sebagai nilai percepatan pergerakan tanah (PGA) di lapisan keras batuan bawah permukaan saat terjadi gempa dengan peluang kejadian nilai PGA terlampaui sebesar 10% dalam 50 tahun. Dapat dilihat bahwa PGA yang tinggi terjadi di wilayah pesisir Sumatra yang dekat dengan Kota Padang dan Kota Bengkulu. Apabila dibandingkan, Kota Bengkulu akan memiliki nilai PGA yang lebih tinggi daripada Kota Padang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun