Mohon tunggu...
Adisuputra Radjatadoe
Adisuputra Radjatadoe Mohon Tunggu... -

Sedikit Tentang Saya; Saya berasal dari Pulau Savu (Sawu), dibesarkan dari keluarga Radjatadoe -Dodo. Saya anak ke 8 dari 9 orang bersaudara. Mimpi saya menjadi seorang penulis yang dapat memberkati banyak orang melalui tulisan-tulisan saya. Salam,

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Sepenggal Perjalanan di Pulau Sabu "Dara Rae Do Kelara" Tulaika

28 Maret 2014   20:20 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:21 238
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gerbang ini memanggilku kembali untuk menuliskan risalah ini:

Kisah ini menginspirasiku dan sangat mempengaruhi sedikit tidaknya hidupku. Pada medio Maret yang lalu, saat berkesempatan mengunjungi makam leluhur di Tulaika, tepatnya depan gereja GMIT Tulaika (Lih. Gbr 1.) biasa orang Sabu menyebut ‘dara rae do kelara’ beberapa gambar tampilan dari tempat tersebut sempat saya dokumentasikan.

Saya sempat terkesima beberapa saat lamanya, saat menghitung jumlah bangunan yang masih tegak berdiri serta tertegun yang saya dapati saat itu saat menginjakkan kaki di depan gerbang utama tepatnya di bagian Tenggara dari letak geografis pulau Sabu, sebuah bangunan yang sudah hampir roboh, karena kayu-kayu untuk penyangga rumah tersebut sudah tidak dapat diharapkan lagi untuk menopangnya, sempat berguman dalam hati kecilku, sayang yah bangunan ini hampir roboh.

1395987101317527472
1395987101317527472

Beranjak dari tempat tersebut, tepatnya beberapa langkah dari bangunan yang pertama tersebut, tepatnya di tengah-tengah lokasi tersebut, berdiri cukup kokok sebuah rumah yang cukup besar dan saya menafsirkan rumah tersebut sebagai rumah induk dari ‘dara rae’ yang saya sebutkan di atas. Rumah tersebut di bandingkan dengan rumah pertama yang saya kunjungi agak tertata dengan rapi, dan masih cukup bagus jika di huni. Tetapi sayangnya bangunan tersebut tak berpenghuni

Masih berdiri di dekat bangunan tadi, mataku tertuju pada kolong dari bangunan tersebut, karena tekstur dari bangunan tersebut memiliki semacam panggung seperti umumnya rumah di Sabu (yang masih mempertahankan kebudayaan khususnya mengenai bangunan) jika disebut dalam bahasa daerah “kelaga”. Di bawah panggung tersebut ada beberapa onggokan batu, cukup banyak sih, ada yang terdapat di bagian Barat dan bagian depan dari rumah tersebut. Dan disinilah leluhur kami di makamkan, ada Kakek, Nenek, Kakak dari papa saya, dan adik dari papa saya yang masih ada dan masih sempat merasakan dan melakukan ritual keagamaan yang di percayai di sana pada waktu itu.

Onggokan batu tersebut sayangnya tidak seperti batu nisan di kuburan yang meninggalkan nama, dan tahun, sehingga sayapun cukup sulit mengidentifikasi makam siapakah ini, dan makam siapkah itu. Akupun membungkukkan diri, sambil tangganku mencabuti beberapa rumput liar yang hidup di sela-sela batu tersebut. Sambil berguman dalam hati, mereka adalah peletak dasar dari kami generasi penerus nya. Darah mereka telah mengalir juga dalam hidup kami generasi penerus di bawah mereka.

Aku pun berdiri dan beranjak ke bagian Barat dari bagunan besar tadi. Dan aku mendapati sebuah bangunan lain, memang kecil, tapi cukup rapid an masih perpenghuni sepertinya. Setelah mendapat penjelasan, ternyata rumah tersebut, pernah di huni oleh juru kunci (penjaga) ‘dara rae’ tersebut, yang beberapa tahun yang lalu sudah meninggal. Seperti tradisi kami dulunya, sebagai penghormatan kepada leluhur biasanya membawa irisan bunga-bungan serta beberapa daun bunga yang telah di beri sedikit wewangian, ku tebarkan ke arah tumpukan batu yang merupakan kuburan dari orang tersebut. Sering di sapa “Opan Maen Mulun” sapaan tersebut mengingatkanku saat masih duduk di bangku SMU, sesering pulang dari les sore di Sekolah, saya memampirkan diri mencicipi tuak (minuman yang dihasilkan dari pohon lontar) yang beliau ambil dari pohon Lontar di dekat ‘dara rae’ tersebut. Tetapi yang membuatku agak geli ada peraturannya, barangsiapa yang mau minum tuaknya bersedia untuk tidak meminumnya dalam keadaan berdiri, kalau syarat itu di tepati maka dia boleh meminumnya. Tanpa tedeng aling-aling akupun menyanggupuinya dan meneguk tuak yang di berikan di tempat “haba due” yang ukurang kecil, dan tetes demi tetespun ku teguk sampai tuntas, dan akhirnya aku pamitan dan meninggalkan beliau.

Ingatan tersebutpun buyar saat mataku memandang ke arah Timur Laut dari letak pulau Sabu itu. Mataku menatap dan tak berkedip untuk beberapa detik lamanya. Bangunan yang hampir sama dengan bangunan yang pertama saat masuk tadi, kondisinya cukup memprihatinkan. Masih ingat tahun 1996 yang lalu, bangunan tersebut masih cukup bagus, dan masih sempat tubuhku tidur di bale-bale rumah tersebut. Di sana ku bayangkan, ada papa, kakek, nenek dan om serta tante-tanteku berkumpul bersenda gurau dan lain sebagainya, kini rumah tersebut tinggallah kenangan. Kondisi hampir roboh dan atap yang sudah porak-poranda menjadi profil yang sangat memiriskan hatiku.

Setelah cukup berkeliling di ‘dara rae’ tersebut sambil menebarkan irisan bunga-bungan yang di perciki wewangian, sayapun bersiap meninggalkan tempat tersebut. Sebelum meninggalkan tempat tersebut saya sempat mengeluarkan sebuah kalimat refleksiku yang masih ku ingat sampai hari ini: “terkadang aku berusaha mengikuti serta mencoba membendung setiap apa yang telah menjadi sejarah masa lalu, dan tanpa disadari aku terhanyut serta membuat alasan dalam diriku untuk untuk tetap tinggal terpaku dalamnya, dan sangat sulit lagi, saya merasa saya adalah ahli dari masa lalu tersebut, dengan memaparkan beberapa klaim atas peristiwa-peristiwa tersebut yang pernah hadir sebelumku”

Begitulah sepenggal refleksiku, dan merupakan koleksi pribadi jika ada apresiasi dari pembaca, sekali lagi ini refleksi pribadi. Salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun