Mohon tunggu...
Adi Supriadi
Adi Supriadi Mohon Tunggu... Lainnya - Berarti Dengan Berbagi, Sekali Berarti Sesudah Itu Mati. Success by helping other people

Activist, Journalist, Professional Life Coach, Personal and Business Coach, Author, Counselor, Dai Motivator, Hypnotherapist, Neo NLP Trainer, Human Capital Consultant & Practitioner, Lecturer and Researcher of Islamic Economics

Selanjutnya

Tutup

Politik

Mengapa PKS Begini Begitu, Ini Jawabanya

10 April 2012   04:03 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:48 2367
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_173710" align="aligncenter" width="570" caption="Aktivitas Sosial PKS Karanganyar (pkskaranganyar.blogspot.com)"]

1334030231245411795
1334030231245411795
[/caption]

Selanjutnya, karena SBY tidak pernah merespon usulan PKS, maka PKS pun tidak menerima alasan yang dapat dipertanggungjawabkan untuk mengubah pendiriannya. Alhasil, sikap PKS dalam Sidang Paripurna 30 Maret 2012 tetap dalam posisi semula, yaitu menolak kenaikan harga BBM. Dalam hal ini, SBY seharusnya memahami komitmen politik PKS terhadap kontrak politik yang dahulu ditandatanganinya. Demi mewujudkan good governance, PKS menyurati Presiden untuk menawarkan solusi, namun demi tujuan yang sama pula PKS terpaksa berseberangan dengan pemerintah dan rekan-rekan koalisinya.

Dalam sebuah orasi politiknya yang disampaikan di Bogor pada bulan Oktober 2011 yang lalu, Sekjen PKS, Anis Matta, telah menyatakan optimismenya akan masa depan PKS. Salah satu alasannya, menurut penuturannya, karena PKS adalah partai yang paling siap menghadapi kultur politik baru yang menghendaki adanya dialog, bukan sekedar instruksi. Kerja sama antar unsur-unsur penting di negeri ini harus dibangun dalam kerangka dialog, termasuk juga dalam hal koalisi. Pernyataan ini menunjukkan bahwa PKS sejatinya memang menghendaki koalisi yang ‘bermartabat’, yaitu koalisi yang tidak menghilangkan kepribadian partai anggota koalisi hanya karena jumlah suaranya lebih sedikit.

Pandangan miring lainnya yang beredar seputar keberadaan PKS dalam koalisi menyatakan bahwa PKS telah menjadi ‘partai amfibi’, karena menjadi anggota koalisi namun rajin mengkritisi pemerintah. Sebagian lagi memandang PKS sebagai partai yang hanya mencari keuntungan, sebab tidak mau menarik menteri-menterinya dari kabinet atau menarik diri dari koalisi, sedangkan sikapnya seringkali berlawanan dengan pemerintah. Opini-opini semacam ini tentu sah belaka, namun agaknya tidak perlu ditanggapi secara berlebihan. Sebab, sebagaimana sikap PD mencerminkan pandangan PD terhadap koalisi, opini ini pun mencerminkan cara berpikir pemiliknya. Dengan mengatakan bahwa PKS hanya mencari keuntungan dengan tidak menarik menteri-menterinya, itu artinya sang pemilik opini justru berpikir bahwa keberadaan menteri-menteri dari parpol hanyalah sebagai ‘mesin uang’ atau sarana untuk mengeruk kepentingan parpol belaka. Jika PKS memiliki pandangan yang sama, tentu konflik yang cukup tajam antara SBY dan PKS sudah terjadi sejak Suharna dicopot dari jabatannya. Meskipun tidak dipungkiri bahwa kemungkinan besar ada parpol-parpol yang menganggap menteri sebagai ‘mesin uang’, namun cara berpikir yang demikian sudah semestinya dihentikan.

PKS, Natsir dan Hamka

Sebagian kalangan aktivis Muslim hingga detik ini masih sulit menerima keputusan PKS untuk berkoalisi dengan SBY. Dalam pandangan mereka, sikap ini menunjukkan ketidakmurnian perjuangan PKS, karena berkoalisi dengan parpol-parpol yang dianggap lemah komitmennya terhadap Islam. Meski demikian, kebanyakan di antara mereka tidak dapat mempertahankan konsistensi hipotesisnya tersebut ketika menyaksikan bagaimana PKS secara sistematik terus melancarkan kritik yang konstruktif kepada pemerintah.

Dalam sejarah politik Islam, PKS bukanlah yang pertama mendukung pemimpin yang tidak dikenal karena komitmen keislamannya. Moh. Natsir, ulama-negarawan yang pernah menjabat sebagai Perdana Menteri Republik Indonesia (RI), juga bekerja di bawah kepemimpinan Soekarno yang dikenal sekuler. Dalam biografi M. Natsir, Ajip Rosidi mengungkapkan betapa tajamnya perbedaan pandangan antara Soekarno dan Natsir yang terwujud dalam penulisan artikel. Peristiwa saling berbalas artikel itu terjadi sebelum kemerdekaan RI. Artinya, ketika Natsir menerima amanah sebagai Perdana Menteri, ia telah lama bersilang pendapat dengan Soekarno.

Moh. Natsir menunjukkan komitmennya terhadap tugas. Tidak main-main, ia kemudian menjadi orang kepercayaan Soekarno yang dianggapnya pasti mampu menstabilkan pemerintahan. Kepemimpinan Natsir tidak hanya mengundang simpati dari masyarakat Indonesia, melainkan juga mendapat perhatian dari banyak jurnalis luar negeri. Di dunia Islam, nama Natsir dikenal sebagai representasi dari Indonesia. Konsistensi Natsir dalam bekerja tidak bersumber dari komitmennya kepada pribadi Soekarno, melainkan demi kepentingan umat. Natsir memandang amanah yang diterimanya sebagai kesempatan emas untuk menolong umat memperoleh kesejahteraannya. Oleh karena itu, meski harus rela dipimpin oleh Soekarno yang dalam banyak hal berbeda seratus delapan puluh derajat dengan dirinya, Natsir tetap menjalankan tugasnya semaksimal mungkin.

[caption id="attachment_173712" align="alignright" width="300" caption="Sepertinya PKS Ingin Seperti M. Natsir, Bekerja Untuk Indonesia. Hanya Itu Saja (nurfalah.wordpress.com)"]

13340303471994287523
13340303471994287523
[/caption]

Sahabat Natsir, yaitu Buya Hamka, memiliki pengalaman yang serupa tapi tak sama. Berbeda dengan Natsir, Hamka cenderung tidak memiliki ketertarikan dalam dunia politik, meski kiprahnya di Masyumi sama sekali tak dapat dipandang sebelah mata. Setelah Masyumi dibubarkan secara paksa oleh Orde Lama, Natsir – sebagai politikus – diawasi penuh oleh Orde Lama, dan Orde Baru pun tak mengijinkan Masyumi untuk tampil kembali. Oleh karena itu, Natsir ‘banting stir’ dengan mendirikan Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia (DDII) yang berkiprah dalam bidang dakwah praktis. Nasib Hamka agak berbeda. Meski sempat dipenjara selama dua tahun oleh Orde Lama, namun ia relatif tidak dianggap sebagai politikus oleh Orde Baru. Karenanya, ketika Presiden Soeharto memprakarsai berdirinya Majelis Ulama Indonesia (MUI), ia secara pribadi meminta Hamka untuk menjadi Ketua MUI yang pertama.

Buya Hamka, sebagai ulama yang tidak tertarik dengan dunia politik, tidak terbiasa menjilat pemerintah, namun juga tidak selalu menentangnya. Dalam segala hal yang baik, Hamka senantiasa siap memberikan dukungan. Akan tetapi dalam hal-hal yang buruk, Hamka tidak ragu menolaknya. Puncak dari pertentangan antara Hamka dengan pemerintah Orde Baru terjadi ketika MUI mengeluarkan fatwa yang mengharamkan perayaan Natal bersama. Buya Hamka, yang ditekan habis-habisan karena fatwa tersebut, akhirnya memilih untuk mengundurkan diri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun