Mohon tunggu...
Adi Supriadi
Adi Supriadi Mohon Tunggu... Lainnya - Berarti Dengan Berbagi, Sekali Berarti Sesudah Itu Mati. Success by helping other people

Activist, Journalist, Professional Life Coach, Personal and Business Coach, Author, Counselor, Dai Motivator, Hypnotherapist, Neo NLP Trainer, Human Capital Consultant & Practitioner, Lecturer and Researcher of Islamic Economics

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Revolusi Tradisi Manusia

30 April 2011   03:30 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:14 400
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_104167" align="aligncenter" width="545" caption="From : Google.com"][/caption]

Penulis sangat memperpercayai bahwa umat manusia itu punya akal pikiran. Tingkat kebutuhan manusia itu berubah dan akan terus berubah sesuai dengan perkembangan waktu, begitu juga manusia semakin berkembang dan berkembang. Untuk berkembang, manusia perlu interaksi antar sesama manusia. Media yang digunakan dalam interaksi tersebut berupa televisi, radio, internet, telephone, koran dan sebagainya. Dampak dari proses interaksi ini adalah ada positif dan ada pula yang negatif, biasanya manusia yang berakal biasanya mengambil yang positif dan membuang hal-hal yang nenagtif.

Nah dalam hubungannya dengan tradisi. Zaman dahulu di tanah Toraza, membunuh seorang manusia sebagai tumbal untuk penguburan seorang dari kalangan bangsawan adalah tradisi. Pertanyanya apakah hanya karena ini tradisi lantas masih harus dipertahankan? Begitu juga dengan tradisi-tradisi lainnya. Zaman dulu di India jika suami meninggal maka sang istri harus ikut mati bersamanya. Apakah ini harus dipertahankan? Artinya perubahan tradisi di dalam kehidupan manusia adalah berkat perkembangan ilmu pengetahuan dan perubahan paradigma berfikirnya. Setahu saya di Ketapang,Kalimantan Barat tanah kelahiran saya ada hajat tahunan untuk membuang iblis, ratusan manusia berduyun-duyun menuju pantai untuk melepas kapal-kapalan yang berisi boneka yang memagang senjata seakan-akan dalam kondisi berperang, selain itu ada yang pergi ke tengah laut untuk melepaskan beberapa ayam. Tradisi inipun sudah tidak layak dilakukan seiring manusia sudah mempunyai akal dan agamasebagai patokan berbuat.

Menurut penulis, jika ada beberapa tradisi yang salah dan tidak sesuai lagi dengan zaman, budaya kehidupan modern dan agama lebihbaik dibuang saja, dan kenapa tidak? saya yakin siapapun dia telah membuang sebagian besar tradisi yang dahulunya dipegang oleh para nenek moyang mereka.

Tradisi Sex bebas misalnya, obat-obat terlarang adalah dampak negatif dari suatu perkembangan zaman dan perkembangan otak manusia. Dan itu bukanlah karena budaya Barat, kebetulan saja barat yang membawanya ke negara-negara timur sehingga kebanyakan kita menyebut bdauaya ini dari barat. Kalo saya analogikan sama seperti kita menyebut kursi yang kita duduki,jika saja dari awal penemuan kursi itu disebut meja maka kursi itu disebut meja, oleh karena dari awal penemuanya disebut kursi maka hingga saat ini kita sebut kursi.

Perkembangan tidak selalu membawa dampak positif. Zaman dahulu, sex bebas itu haram di dunia Barat, dan sampai sekarang sebenarnya keluarga tradisional di Barat itu masih mengharamkan sex bebas, tetapi karena pengaruh waktu, dimana otak manusia berubah dalam memandang sex. Sex dianggap juga sebagai prokreasi dan bukan untuk kegiatan reproduksi semata. Jadi itulah perkembangan negatifnya dari sex bebas, dan sebagai manusia kita diberi kesempatan untuk memilih, mau yang negatif atau yang positif dengan akal yang sudah ALLAH SWT berikan kepada kita. Kita yang harus memberikan filter terhadap diri kita dan keluarga kita dan lebih jauh lagi bangsa yang kita cintai ini. Tradisi sex bebas dan obat-obat terlarang yang sedang berkembang ini merupakan tradisi yang salah dan tidak pantas untuk dilestarikan.

Pemaksaan kehendak untuk tetap menjaga tradisi itu kayaknya terlalu naif. Tradisi yang baik, okelah kita pelihara bersama, tetapi kalau itu salah, biarpun itu namanya tradisi, harus dibuang dan dieliminate. Jangan terlalu buta dengan kata tradisi.

Sebuah permisalan sebelum saya mengakhiri tulisan ini adalah, di zaman dulu suku Batak, menyebut nama orang tua itu adalah haram, itulah sebabnya orang-orang berketurunan batak sampai sekarang tidak pernah tahu siapa nama ompung saya. Nah, apakah ini harus terus dipelihara? Saya tunggu jawaban dan respon Anda di email : adikalbar@gmail.com

Atau HP saya 0858-606-16183

Ditulis pertama kali dan dipublikasikan pertama kali pada tahun 2008, semoga masih bermanfaat untuk sahabat semuanya.

Bandung , 30 April 2011

Ahmad Muhammad Haddad Assyarkhan (Adi Supriadi)

Email : adikalbar@gmail.com/ assyarkhan@yahoo.com

Facebook : adikalbar@gmail.com

Twitter : @assyarkhan

GoogleTalk : adikalbar

Yahoo Massanger : assyarkhan , adikalbar

Mobile : 0858-606-16183

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun