[caption id="attachment_103837" align="alignleft" width="300" caption="Foto : Adi Supriadi / Assyarkhan"][/caption]
Maraknya pemberitaan di media massa tentang jatuhnya korban hingga meninggal dunia akibat kelaparan dan kemiskinan di banyak daerah, membuktikan program anti kemiskinan pemerintah belum begitu efektif. Di sisi lain tampaknya pemerintah tetap mengabaikan dan tidak menganggap hal itu sebagai hal serius yang harus segera dituntaskan.
Melambungnya jumlah penduduk miskin telah menjadi fakta yang tidak terbantahkan. Melonjaknya harga berbagai kebutuhan pokok membuat beban hidup yang membelit sebagian besar rakyat semakin berat. Jatuhnya korban yang meninggal akibat kelaparan atau tidak mampu berobat yang mencuat di media massa, hanyalah fenomena gunung es. Kita tahu persis, di lapangan jumlahnya bisa lebih besar lagi dibandingkan yang terungkap di media massa. Sudah jatuh tertimpa tangga, sudahlah daya beli rakyat sangat rendah, ditimpa lagi dengan kenaikan BBM yang pada akhirnya menaikan harga-harga barang dipasar khususnya harga kebutuhan pokok masyarakat. Semakin rendahlah daya beli masyakarat. Saya sangat yakin, ketika pembagian bantuan tunai langsung (BLT) itu akan banyak menelan korban seperti tahun 2005 yabng lalu. Dan rasa keputus asaan rakyat Indonesia semakin tinggi, hal ini dengan dibuktikan semakin meningkatnya angka golongan putih, dan semakin meningkatnya angka pengangguran karena semangat juang dan semangat bersaing rakyat indonesia semakin rendah, pada akhirnya berita bunuh diri, dan berita kelaparan, gizi buruk akan semakin ramai di media massa. Suatu ketika disaat penulis menumpang becak, sang mang becak menceritakan kondisi keluarganya yang jika kita mendengar, Masya Allah menitiklah air mata. Bayangkana, beras miskin (raskin) yang dihargai pemerintah dua ribu rupiah itu menurut mereka tidak layak makan, setelah dimasak dan kemudian dimakan terasa sakit di tenggorokan, masih menurut mang becak lagi beras miskin itu layaknya untuk umpan ayam. Masya Allah. Tetapi apa daya, ketimbang ketela (ubi) lebih baik beras itu,walaupun untuk mensiasatinya agar enak ditelannya rakyat miskin menjadikan beras tersebut menjadi bubur. Orang-orang yang pernah merasakan makan bubur pastilah dapat membayangkan jika bubur tidak akan dapat bertahan lama menahan lapar. Kondisi inilah yang pada akhirnya membuat rakyat kita hidup dalam keputus asaan.
Seperti diketahui, di Makassar seorang ibu yang tengah hamil tujuh bulan dan anaknya yang masih balita meninggal dunia karena kelaparan. Di Tangerang, seorang ibu muda meninggal dunia karena sakit dan tidak mampu berobat. Di Bekasi, seorang ibu membunuh dua anaknya yang masih balita karena kesulitan ekonomi. Di Nusa Tenggara Timur ribuan balita menderita busung lapar karena orang tua mereka tidak mampu memberi makan. Sebelumnya di Bandung, seorang ibu membunuh tiga anaknya yang masih kecil juga karena tekanan ekonomi. Dan masih banyak daftar panjang lain kejadian serupa karena kemiskinan.
Pemerintah sebagai pemimpin yang bertugas menuntun dan mengayomi rakyatnya mempunyai kewajiban meningkatkan kesejahteraan rakyatnya. Rakyat berhak memperoleh hak-hak dasarnya; seperi pangan, kesehatan, dan pendidikan. Hal itu bisa diwujudkan dengan mengalokasikan anggaran lebih besar lagi untuk mengurangi kemiskinan dan membuka lapangan kerja. Jika itu tidak terjad, maka Azab Allah untuk negeri ini akan terus bertambah.
Pemerintah memang telah menaikan anggaran anti kemiskinan dalam tiga tahun terakhir memang hingga 2,8 kali lipat. Namun demikian, jumlah rakyat miskin bukannya berkurang, melainkan justru terus bertambah. Hal ini menunjukkan dua hal. Pertama, program anti kemiskinan belum efektif karena tidak menyentuh problem yang mendasar. Kedua, banyak kebijakan pemerintah yang pro neoliberalisme ugal-ugalan justru menjadi bagian dari proses pemiskinan struktural.
Dengan kondisi seperti ini masyarakat bisa menjadi lebih kritis dalam menuntut pemenuhan hak-hak dasar mereka. Rakyat bisa jadi akan lebih sering dan konstan menyuarakan tuntutannya kepada pemerintah. Rakyat juga bisa ’menghukum’ pemerintah, dengan cara tidak lagi memilih pemimpin yang sekarang pada Pilpres mendatang.
Sehubungan dengan itu, segenap elemen masyarakat harus merebut kembali proses perubahan yang telah diselewengkan pemerintah. Indonesia membutuhkan Jalan Baru dan Pemimpin Baru yang benar-benar peduli pada peningkatan kesejahteraan sebagian besar rakyat.
Dengan kondisi zaman yang serbasulit seperti ini, tidak ada kata lain yang paling indah untuk bangsa ini selain kata ‘sabar’. Bersabarlah, karena Allah menyukai orang-orang yang bersabar. Teruslah berjuang untuk menjadi yang terbaik, dan berdoalah semoga Allah memberikan pemimpinyang terbaik, di peringatan 100 tahun kebangkitan nasional ini,bangsa indonesia harus benar-benar bangkit, terlepas dari cengkraman global yang dapat mematikan semangat juang bangsa ini, kemardekaan yang hakiki hanya dapat dimiliki dengan kemandirian,selama kita tidak dapat mandiri maka kita tetap menjadi bangsa yang terjajah, untuk itu bangkitlah wahai bangsaku, Insya Allah harapan itu masih ada. Jangan berputus asa karena Allah Swt menyatakan berputus asa adalah perbuatan orang-orang kafir dan dipertegas oleh Allah swt dalam firmannya yang lain “La Tahzanu Wa La Takhaufu” Jangan engkau bersedih dan janganlah engkau takut”.untuk itu bangkitlah Bangsaku,Harapan itu akan selalu ada.Wallahu ‘alam.
*) Artikel ini pernah dimuat pada Harian Pontianakpost di Bulan Mei 2008
Ahmad Muhammad Haddad Assyarkhan (Adi Supriadi)
Email : adikalbar@gmail.com / assyarkhan@yahoo.com
Facebook : adikalbar@gmail.com
Twitter : @assyarkhan
GoogleTalk : adikalbar
Yahoo Massanger : assyarkhan , adikalbar
Mobile : 0858-606-16163
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H