Mohon tunggu...
Astaswara
Astaswara Mohon Tunggu... Lainnya - warga masyarakat

Warga Setempat

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pesan untukmu, untuk yang biasa bersyafari di gedung DPR

10 Oktober 2014   19:49 Diperbarui: 20 Januari 2017   13:51 129
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik


Ketika melihat wakil rakyat sedang berdiskusi di gedung yang mewah, tak sering melihat kericuhan isinya,tak berpendidikan di contohnya, tak sering juga melihat kursi kosong di baris meja rapat, bekerja bukan hanya menggunakan mimpi, gunakan mata, telinga, dan hati rakyat, jangan kotori fasilitas mewah dengan setetes air liur berbau busuk, sampaikan suara rakyat dengan tangguh wibawah.

Apa yang terjadi hari ini dan lusa nanti ? rakyat hanya mendapat suara tanpa tindakannya, seakan memikirkan entah apa nama negara ini, sewaktu rakyat bersuara lantang, wakil rakyat malah mengeluh rakyatnya bisu. Keluhan wakil rakyat di terima dan belas kasihan dari pihak sekretariatmembelikan pita suara untuk rakyat dengan anggaran miliaran, yangkabarnya cukup untuk penyediaan jutaan pita suara rusak rakyat.

Belum lagi suara keluhan yang terdengar ingin memperbaiki kursi rapat, seolah berwibawa menangani masalah, kucuran-kucuran dana perbaikan ajaib pun bermunculan dari segala penjuru, tatkala rakyat sering mendengar dengkuran rapat anggota DPR dan kursi kosong yang entah kemana pemiliknya. Tak salah rakyat bertanya untuk apa kemewahan ruang rapat itu ?.

Ketika mengingat beberapa waktu yang lalu, Tak lama berselang setelah Pemilu, banyak caleg diserang penyakitnya politik, seperti halnya penyakit yg banyak di derita politikus adalah depresi, stres, bahkan gila. Hanya beberapa saja yang bisa berlapang dada menerima kegagalan, lebih banyak yang tak siap menerima kenyataan. Ada yang tak berani lagi berbaur dengan rakyat sekampung karena beban malu tak tertanggung, ada yang harus dilarikan ke Rumah Sakit Jiwa, ada yang harus berurusan dengan orang pintar, Ada juga yang marah-marah menagih segala yang telah dikorbankan.

Cukup jelas yang duduk di sana adalah pilihan rakyat, di pilih rakyat dan seharusnya untuk rakyat, sebagai orang yang di pilih rakyat tak perlu khawatir, tak usah takut untuk di tamu rakyat, sebagaimana semestinya kalau perlu mengajak rakyat masuk ke dalam ruang rapat yang mewah untuk menyampaikan pikiran dan perasaan rakyat. Lucunya, saat rakyat berbondong-bondong datang untuk menyampaikan bertamu,yang menemui biasanya malah polisi dengan pentungan karet, gas air mata, bom asap, atau peluru karet

Negara ini membutuhkan kemajuan pendidikan untuk hak memilih, jika rakyat di paksa memilihpilihan wakil rakyat dengan lembaran uang, kapan ada pendidikan yang akan di dapat rakyat agar lebih pintar, wakil rakyat seharusnya tahu batas pikir yang di peroleh rakyat negara ini, bukan malah membodohkan dengan persetan kelakuan, ajarkan pendidikan dengan kewibawaan yang sebagaimana wakil rakyat mencontohkan.

kekejaman politik di negara kaya suku ini sama halnya mendapatkan kekejihan seperti di kandang macan, wakil rakyat hanya memerdekakan kepentingan pribadi, tak ingin terbang untuk melihat nasib rakyat, tak menjadikan nyata titipan masa depan rakyat. Suara rintihan negara yang tak di dengar oleh telinganya, mari kita bawah telinganya untuk mendengarkannya.

didasarkan pada hasil kerja seorang wakil rakyat yang dinilai masyarakat kurang memasyarakat, realita sosial tersebut di jadikan wacana di kalangan masyarakat. Sehingga, harapan dari masyarakat adalah seimbangnya antara apa yang rakyat inginkan dan wakil rakyat sebagai “jembatan penghubung” yang dapat mendengar aspirasi rakyat. Sehingga, rakyat pun akan menilai hasil kerja dari wakil rakyat.

Mereka seringkali mengaku pahlawan reformasi, tapi justru membunuh demokrasi. bukannya mengalami kemajuan, tapi justru jauh berjalan mundur ke belakang. Inilah “wajah” elite politik negeri ini, yang kerjanya hanya bisa “bongkar pasang” aturan tanpa dilandasi kepatutan azas, etika dan mengabaikan aspirasi rakyat, demi tersalurnya nafsu politik yang seolah menginginkan kemajuan negara.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun