Mohon tunggu...
Adisti Zakia Putri
Adisti Zakia Putri Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa S1 Hukum, Universitas Diponegoro

Seorang mahasiswi tingkat 1 yang sedang dilema untuk pemilu pertamanya di tahun 2024 mendatang

Selanjutnya

Tutup

Politik

Menilik Legal Standing Putusan MK: Syarat Capres-Cawapres Pernah Jadi Kepala Daerah

27 Oktober 2023   10:44 Diperbarui: 27 Oktober 2023   11:08 252
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Setelah beberapa gugatan tentang usia minimal capres-cawapres dari berbagai partai dan kepala daerah sebelumnya, MK pada akhirnya mengadili Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh Almas Tsaqib Birru Re A, seorang mahasiswa Universitas Surakarta yang telah lulus meraih gelar sarjana hukum.

MK menyatakan dalam putusannya terdapat dua syarat seseorang yang hendak maju menjadi capres atau cawapres yang salah satu syarat tersebut harus dipenuhi. Pertama, berusia minimal 40 tahun. Kedua, pernah/sedang menjabat jabatan yang melalui pemilu, termasuk menjadi kepala daerah.

Putusan MK ini menjadi sorotan publik dikarenakan MK sendiri telah menolak sebanyak 3 perkara uji materiil soal batas usia capres-cawapres.

Pertama, Perkara Nomor 29/PUU-XXI/2023 yang telah diajukan oleh Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang menginginkan MK mengubah batas usia minimal capres-cawapres menjadi 35 tahun. Berdasarkan pertimbangannya, MK memandang syarat batas usia capres-cawapres bukan menjadi ranah MK untuk memutuskannya, melainkan kewenangan Presiden dan DPR sebagai pembentuk undang-undang.

Kedua, Perkara Nomor 51/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh Partai Garuda yang menginginkan perubahan batas usia minimal capres-cawapres menjadi 40 tahun atau memiliki pengalaman sebagai penyelenggara negara. Namun, MK menolak gugatan dari Partai Garuda dengan mayoritas suara, meskipun ada dua hakim yang memiliki pandangan berbeda.

Ketiga, Perkara Nomor 55/PUU-XXI/2023 diajukan oleh beberapa kepala daerah, yaitu Wali Kota Bukittinggi (Erman Safar), Wakil Bupati Lampung Selatan (Pandu Kesuma Dewangsa), dan Wakil Gubernur Jawa Timur (Emil Elestianto Dardak). Mereka meminta perubahan usia minimal calon presiden dan calon wakil presiden menjadi 40 tahun atau memiliki pengalaman sebagai penyelenggara negara. MK juga menolak gugatan ini dengan mayoritas suara dan pendapat yang berbeda dari dua hakim.

Sebagai pemohon, Almas memiliki pandangan bahwa tokoh yang paling ideal untuk memimpin bangsa Indonesia adalah Gibran Rakabuming Raka, Wali Kota Surakarta yang merupakan anak dari Presiden Joko Widodo. Almas mengidolakan Gibran karena mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi Kota Surakarta yang pada awal Gibran menjabat sedang minus 1,74 persen menjadi 6,23 persen.

Almas Tsaqib Birru Re A menganggap Gibran sebagai Wali Kota Surakarta sudah memiliki pengalaman membangun dan memajukan Kota Surakarta dengan kejujuran, integritas moral, dan taat serta patuh mengabdi kepada kepentingan negara dan rakyat.

Namun, ia tak mengakui bahwa pengajuan gugatan ke MK dikhususkan untuk mensyaratkan Gibran maju dalam pemilihan capres-cawapres 2024 mendatang. “Sebenarnya saya enggak ada maksud melanggengkan hal itu. Saya murni ingin memberikan kontribusi saya kepada hukum di negara ini selama masih berdiri. Dalam mengajukan gugatan ini saya enggak ada keinginan bahwa Gibran maju, kalau mau ya terserah Gibrannya aja gitu. Gugatan itu kan diajukan enggak merujuk pada Gibran saja,” pungkas Almas.

Almas mengaku senang saat hasil putusan MK memenangkan gugatan darinya. Pengabulan dari MK yang telah dibacakan pada Senin (16/10/2023) itu pun cukup memuaskan dirinya. Almas mengatakan “Apapun kan ini kerja saya dan rekan-rekan kuasa hukum juga. Ini juga hasil dari menguji ilmu yang saya dapat dalam perkuliahan,"

Menurut penuturannya, pengajuan permohonan terhadap MK dilakukan agar para anak muda di Indonesia diberi kemudahan untuk bisa maju dalam kontestasi politik tingkat nasional. Ia menyebut banyak anak muda yang berpotensi untuk menjadi pemimpin negara. “Ini lebih ke prihatin kepada orang-orang yang memiliki potensi untuk maju tapi masih terhalang batas usia. Kan banyak sekarang anak-anak muda ya mungkin kedepannya bukan tahun 2024 saja, mungkin pemilu selanjutnya bisa berpotensi. Memberi jalan alternatif saja sih,” tuturnya.

Tertulis dalam permohonan Almas bahwa pemohon adalah WNI yang dibuktikan dengan KTP, pekerjaan mahasiswa, dan bercita-cita ingin menjadi presiden atau wakil presiden. Selanjutnya merujuk pada putusan MK, Almas tidak menjelaskan lebih rinci mengenai korelasi kerugian konstitusional dirinya yang bercita-cita ingin menjadi presiden atau wakil presiden dengan batas usia capres-cawapres.

Legal standing (kedudukan hukum) Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 dapat dipertanyakan. Dua mantan hakim konstitusi senior yaitu Jimly Asshiddiqie dan I Dewa Gede Palguna menyatakan ketidaksepakatannya dengan putusan MK tersebut. “kalau saya jadi hakimnya, belasan permohonan itu akan ditolak dan akan ada yang NO (tidak dapat diterima)”. Ujar Jimly Asshiddiqie. Mantan hakim MK itupun menilai cita-cita Almas baru menjadi potensial dan belum nyata.

Sedangkan Palguna masih mempertanyakan untuk apa Almas memberikan embel-embel sebagai pengagum Gibran Rakabuming Raka. “Bagi saya yang menjadi pertanyaan, untuk apa dia memberikan embel-embel sebagai pengagum salah seorang Walikota? Apa urusannya itu dengan kerugian konstitusional. Kalau saya yang memeriksa permohonan dipemeriksaan pendahuluan, akan saya kejar apa maksudnya. Apakah itu bagian dari integral legal standing?” Ia merasa legal standing Almas tidak dijelaskan dalam pertimbangan hukum putusannya.

Terlebih lagi Koalisi Masyarakat Sipil menilai MK inkonsisten dengan putusannya sendiri “Hal ini tentu inkonsisten dengan putusan MK Nomor 006/PUU-III/2005, yang menegaskan kerugian konstitusional harus dialami langsung serta bersifat spesifik dan aktual,” tutur perwakilannya.

Koalisi yang mengkritik keputusan MK ini terdiri dari Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Indonesia Corruption Watch (ICW), Network for Democracy and Electoral Integrity (Negrit), Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), dan Pusat Studi Konstitusi (Pusako).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun