Di lereng Gunung Merapi, ada sebuah bangunan tua yang mengandung seni yang diberi nama Padepokan Tjipta Boedaja. Padepokan ini berada di Dusun Tutup Ngisor, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang sejak 1937, sebelum kemerdekaan Indonesia. Padepokan Tjipta Boedaja berdiri demi mengejar ketertingglan Dusun Tutup Ngisor dari peradaban berupa ketertinggalan pengetahuan karena bertempat di pelosok. Pencetus utama dari padepokan ini bernama Rama Yoso Soedarmo. Beliau membuat tempat untuk berkumpulnya manusia dalam konotasi kebudayaan dan media yang digunakaan dibuat menggunakan seni. Padepokan Tijipta Boedaja berhasil menciptakan  berbagai kesenian seperti seni karawitan, seni tari, ataupun pagelaran wayang sehingga, dapat dikatakan sebagai pencetus kesenian pertama di wilayah Kecamatan Dukun. Padepokan ini  dikelola oleh keluarga secara turun temurun yang melahirkan banyak seniman.
Dibalik Padepokan Tjipta Boedaja ada seniman yang tuakan sejak tahun 1995 sampai sekarang yang bergelut dikesenian. Beliau bernama Sitras Anjilin merupakan putra Rama Yosa Soedarmo, lahir pada 13 September 1959. Usia beliau boleh dikatakan tua, tapi jiwa dan semangat berkesenian layaknya anak muda. Wajahnya dengan kulit sawo matang, rambut lurus tipis, dan kumis yang mulai memutih. Â Kata seni sudah melekat pada dirinya sejak beliau masih kecil. Setiap hari, sedari kecil beliau sudah mendengar alunan musik gamelan dan nyanyian jawa. Beliau tidak mendapat pendidikan formal, namun beliau mendapat pelajaran dan pengalaman kehidupan secara otodidak dari seni. Seni menurutnya sebuah kebiasaan yang dapat mengeluarkan berbagai ekspresi. Seni membawanya dalam bidang penyutradaan dalam sutradara tradisi dan modern, dalang dan mempelajari sastra jawa. Dengan seni yang beliau dapatkan, bisa mebawanya menjadi MC tata cara upacara manten jawa dan beliau juga yang mencetuskannya karena banyak orang yang belum tahu tata cara temanten jawa. Banyak penghargaan seni yang beliau dapatkan salah satunya pada festival walens di negara Inggris. Mahasiswa dari berbagai universitas, menganggap beliau patokan untuk terjun dalam kesenian entah dari seni tari, pelajaran spiritual bahkan dari segi manajemennya.
Pagelaran kesenian yang beliau gerakkan dilakukan secara mingguan, saparan dan beberapa pentas yang dilakukan dalam setahun. Pentas seni tidak harus ditampilkan saat diundang, tapi bisa diekspresikan dimanapun menurutnya. Bapak Sitras Anjilin menciptakan berbagai karya tanpa disengaja, contohnya wayang waton yang berisi mahasiswa yang ingin berkecimpung di dunia seni tetapi belum mahir di bidangnya. Kemudian seni tari yang terkenal di zaman sekarang yaitu gedruk dan grasakan yang dimulai ketika beliau belajar tari raksasa. Lalu seni musik gamelan yang diberi nama gamelan waton sero para penabuh hanya belajar singkat, tidak memiliki keterampilam namun juga ingin ikut berkesenian. Gabungan Kota Yogyakarta dan Solo juga menjadikan beliau berkarya dalam seni musik berjenis akapela membentuk tim paduan suara dan menyanyikan nyanyian jawa berupa dasar tembang-tembang jawa.
Di balik perjalanan beliau sebagai seniman, banyak peristiwa yang beliau alami. Di era orde baru, Padepokan Tjipta Boedaja banyak intel yang bersembunyi di sekitaran padepokan. Bapak Sitras selalui diawasi oleh polisi, karena padepokannya menjadi tempat berkumpul para mahasiswa yang ingin belajar kebudayaan. Karena pada masa itu masa reformasi yang mempelopori mahasiswa, jadi dikhawatirkan adanya pergerakan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H