Mohon tunggu...
Adis Setiawan
Adis Setiawan Mohon Tunggu... Buruh - Mahasiswa | Penulis Lepas

Ikatlah Ilmu Dengan Tulisan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Lembaga Survai dan Tuan Besar

14 April 2019   10:13 Diperbarui: 15 Agustus 2020   08:43 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Begini penulis sedikit bercerita tentang survai ugal-ugalan, pelan-pelan saja, karena survei penulis bukan di bayar. Jadi, mungkin penuh kadungan kata-kata ke-wahabian dan ke-bid'ahan, jangan penuh emosi untuk membacanya. Beberapa hari ini penulis mendapatkan materi yang perlu untuk di tulis, dari hasil pulang kampung --maklum masih hidup pindah -pindah.

Pertama yang akan penulis hubungkan adalah pernyataan salah satu tuan besar, yang penulis membacanya di media online, mengatakam begini "kalau daging mahal, makan keong saja". Ternyata masih ada lho yang nurut dengan saran tuan besar soal itu.

Suatu ketika penulis lagi jaduman -- nongkrong membahas makanan kracak (tutut), maklum disini wilayah persawahan masih banyak Tutut. Jadi, selain menghasilkan padi juga ada tutut-nya, Tetapi bukan untuk dijual secara besar-besaran, hanya di makan sendiri atau seandainya tetangga yang mau beli boleh membeli-nya. Hal ini termasuk ikut saran tuan besar, walaupun di sawah ada beberapa macam keong --takutnya yang di ambil adalah keong Emas, bisa beracun jadi ingat ya tutut ( kracak) bukan keong Emas yang beracun itu.

Ada pula pernyataan tuan besar yang lain, penulis juga dapat berita dari membaca di media online, yang pernyataanya seperti ini "kalau cabai mahal, ya tanam sendiri". Ternyata ada juga yang masih ikuti saran hebat ini, karena sawah tak hanya di manfaatkan untuk tanaman padi saja, bisa juga di tanami kangkung, bawang merah, malahan kalau musim panas sawah bisa dijadikan kebun sementara --karena tidak ada irigasi yang cukup. Sampai sekarang belum dibangun jalur irigasi di daerah yang berjuluk "lumbung padi nasional". Jadi, ketika tidak ada air, akhirnya di tanam pohon pare, melon, semangka, dan timun, tanaman yang membutuhkan air sedikit --termasuk ikut saran tuan besar.

Karena hal seperti itu penulis melihat sendiri, percaya saja mereka ikut saran tuan besar. Padahal mereka tidak tahu, kalau ada saran tuan besar seperti itu. Yang aneh bagi penulis di Indonesia ini punya daerah yang di namakan "lumbung padi nasional", tetapi tidak di perhatikan. Beras malah import, import, dan import terus. Penulis rasanya kalau bisa mengajak turun gunung Pak Mentri Pertanian, dan Pak Presiden, penulis ingin menerangkan seperti ini, bagi pendukungnya jangan emosi ya, diskusi penulis buka lebar untuk tukar pikiran.

Yang mau penulis berikan saran begini yang pertama "Pak kenapa Bulog bilang tak usah import beras, tapi mentrinya bilang harus import beras ?" Apa bapak sedang melihat mereka berdiskusi, tetapi keputusan tetap ada di tangan bapak-kan, pasti bapak akan menguntungkan petani pribumi, iya kan pak ? Iya, keputusan ada di kami yaitu "Import Beras". Import, Import, dan Import.

Yang kedua begini penulis memberi saran karena sering membaca di media online, bahwa ada bagi-bagi traktor bajak sawah gratis, ke-perorangan atau ke-pemerintahan Desa yang atur kami tidak tahu, intinya sering bagi-bagi traktor buat bajak sawah secara gratis. Tetapi ternyata, penulis juga punya sawah, traktor pun tidak ada yang memberi gratis dari pemerintah atau dari mana kek, tetap saja penulis bayar ke-traktor swasta. Soal bagi-bagi benih padi memang ada.

Yang ketiga begini penulis mau bilang ke-tuan besar "disini --Negara kita, sawah lebar hampir setiap kepala punya lahan sawah, tuan besar sudah tahu belum, kalau panen padi cuma bisa 2 kali, itu saja yang ingin panen kedua harus pakai cara pompa, pompa,bdan pompa air. Kalau yang pertama memang musim hujan, saluran irigasi ada airnya. Kenapa tidak membenahi saluran irigasi saja agar ada airnya untuk petani kami agar lebih berdaulat pangan, dari pada import beras". Kalau daerah potensial lumbung padi bisa menghasilkan gabah dan dengan panen lebih banyak secara terus menerus. Bisa buat mencukupi pangan Nasional, se-tidaknya kalau emang emergency banget, baru import saja.

Kita pompa air malam-malam demi ingin panen, malah pompa airnya yang hilang --revolusi mental macam mana tuan, ini slogan tuan Revolusi Mental. Iya, kalau pompanya tidak butuh bahan bakar --bbm murah donk, masalahnya pompanya butuh bbm, kalau kita punya banyak potensi daerah lumbung padi kenapa tidak di perhatikan tuan. Kalau kita kebiasaan import kita akan ketergantungan jalur import. Apabila jalur import yang sering dilewati untuk kendaraan import sedang ada konflik, terus import tak jalan ke Negara kita, mau pada mencukupi kebutuhan pakai apa tuan yang katanya NKRI harga mati itu. Kuat berapa lama NKRI harga mati kalau tidak ada bahan pagan.

Kalau memang ingin import, tapi tolong hak-hak warga petani pribumi di bantu. Bagaimana agar sawah bisa panen minimal setahun 3 kali, tentunya irigasi ada, bajak pakai traktor bayar tak apa-apa deh. Yang penting bagi kami air irigasi jalan terus, soal benih padi, pupuk subsidi, traktor gratis menyusul tak apa-apa Tuan Besar.

Itu dulu saran dari penulis untuk Tuan, sawah sudah banyak rumput, mau ngoyos(nyabutin) dulu ya. Kalau tuan mau dua periode coba jabatan Mentri Pertanian biar penulis yang pegang ee...aa, itu maunya penulis.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun