Mohon tunggu...
Adi Setiawan
Adi Setiawan Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Ilmiah

Menyalurkan Karya Tulis

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Puskohis UIN R.M. Said Kupas Tuntas Permendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021, Benarkah Bisa Melegalkan Seks?

22 November 2021   17:51 Diperbarui: 22 November 2021   18:16 213
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Jumat, 19 November 2021 Melalui Diskusi Publik Nasional bertajuk "Diskusi Publik: Kupas Tuntas Permendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021, Pusat Studi Konstitusi dan Hukum Islam (PUSKOHIS) berdiskusi bersama dengan para Dosen, Pengacara, Konsultan Hukum, Pendamping Korban Kekerasan seksual dan para mahasiswa dari berbagai macam universitas di Indonesia. 

Dalam diskusi publik ini PUSKOHIS menghadirkan narasumber dari STAIN Sultan Abdurrahman Kepulauan Riau yang diwakili oleh Abd. Rahman, M.Sos. selaku dosen. 

Narasumber lain yang kami hadirkan juga dari kalangan advokat yang diwakili oleh Suroso, S.H., M.Kn selaku Advokat dan Konsultan Hukum. Dalam diskusi public ini PUSKOHIS juga mengundang Chintami Budi Pertiwi yang merupakan Pendamping Korban Kekerasan Seksual dilingkungan kampus dari Universitas Sebelas Maret (UNS).

Acara ini diawali dengan pembukaan dan dilanjutkan dengan opening speech oleh direktur Puskohis, R. Ahmad Muhamad Mustain Nasoha, SH, M.H., Dosen yang fokus dalam keahlian Hukum Tata Negara dan Fiqih Perbanidngan Madzhab Fiqih mengatakan bahwa saat ini Permendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021 menjadi perdebatan diberbagai kalangan dan media elektronik. 

Banyak hal yang menjadi sorotan dalam peraturan ini, sehingga diperlukan kajian dan rekomendasi secara akurat dan ilmiah terkait pro dan kontra isu legalitas seks dalam peraturan ini. 

Lebih lanjut direktur PUSKOHIS mengucapkan selamat datang kepada para narasumber dan hadirin yang sudah berkenan memberikan kontribusi dalam diskusi public ini. Beliau menambahkan acara ini terselenggara berkat kerjasama Panitia, UIN Raden Mas Said, STAIN Sultan Abdurrahman, dan Universitas Sebelas Maret.

Kemudian acara diskusi publik ini memulai pembahasan dari perspektif Advokat dan Konsultan hukum. Suroso mengawali pembahasan dengan menyampaikan pemahaman hokum dalam memahami Pasal 5 Permendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021 yang menyebutkan beberapa kata "tanpa persetujuan Korban". 

Kalimat tanpa pesetujuan korban dalam Permendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021 seharusnya dipahami dengan mempergunakan perspektif hukum. Dalam pandangan ilmu hokum kata ini diartikan sebagai bentuk hokum di ranah privat, oleh karenanya sifat perturan ini lebih kepada delik aduan. 

Suroso menambahkan dengan masih banyak koreksi mengenai frasa dalam peraturan ini yang belum ada indicator untuk mendefinisikan kata-kata atau istilah kekerasan seksual. Seharusnya peraturan ini tidak disikapi secara berlebihan karena sanksi dari pelanggaran peraturan ini adalah sanksi administrasi. 

Dalam memahami peraturan ini, kita harus berpandangan bahwa hukum tidak hanya sekedar peraturan ini saja, akan tetapi norma agama, adat, dan budaya itu juga termasuk hukum. Selanjutnya Suroso menjelaskan mengenai cakupan kekerasan seksual. 

Diakhir penyampaian pembahasan beliau memberikan rekomendasi atas Permendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021, diantara rekomendasi beliau untuk perbaikan peraturan ini yang pertama perlunya penjelasan secara detail mengenai pasal 5 ayat 2 bagain d yaitu berupa tolak ukur dan penafsiran kata "menatap Korban dengan nuansa seksual dan/atau tidak nyaman" karena ini rentan disalah artikan. Kedua, perlunya pembentukan Satgas yang berintegritas sebagai bentuk pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan kampus. 

Ketiga, perlunya ada tindakan nyata dari kampus untuk memulihkan korban. Akhirnya Suroso berpesan bahwa Permendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021 ini bukan melegalkan seks bebas, tapi ini hanya ranah publik dan privat karena menggunakan delik aduan sehingga hanya korban yang bias mengadukan.

Dalam pembahasan Permendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021 ini, dilanjutkan narasumber kedua yaitu Abd. Rahman. Beliau menjelaskan permasalahan peraturan ini terdapat pada konten dan kekentuan pasal karet sehingga menyebabkan kerancuan dalam tataran pengaplikasian.

 Belum lagi kata " persetujuan korban" menjadi dilema ketika dihadapkan dengan konteks mahasiswa kedokteran yang identik dengan praktik medis yang mempergunakan kontak fisik. Lebih lanjut, Abd. Rahman menjelaskan beberapa pasal dalam peraturan ini akan bertambah masalahnya ketika korban setuju. 

Abd. Rahman diakhir pembahasannya merekomendasikan kepada pihak terkait untuk lebih memperinci konten dan katagori kekerasan seksual dalam peraturan ini. 

Acara diskusi Publik dilanjutkan pemaparan materi dari Chintami Budi Pertiwi atau yang biasa dipanggil Cinta. Pertama, Cinta menjelaskan data kekerasan berbasis gender dari komnas perempuan di Tahun 2020 sejumlah 299.911 kasus. Menurut Cinta, data ini tidak mencerminkan semuan bentuk kekerasan seksual. Kekerasan seksual merupakan fenomena gunung es yang menyiratkan kasus-kasus yang terlihat hanya sebagai kecil saja.

Cinta mengkritik penanganan kekerasan seksual yang masih belum maksimal dan hanya sebatas kode etik saja. Keadilan sering dikorbankan demi kepentingan kampus sehingga banyak logika sesat yang mengkaburkan pemenuhan keadilan kepada korban. Cinta menambahkan banyak sex jokes yang diaggap biasa. 

Penyebab meningkatnya kekerasan seksual dikarenakan kuatnya relasi kuasa, adanya victim blaming (Menyalahkan korban), dan pelaporan ke polisi yang berbelit-belit. Diakhir pembahasan Cinta menjelaskan mengenai kunci memahami kekerasan seksual berdasarkan kriteria yang disebut dengan singkatan FRIES:

F: Freely given => Hanya berlaku dalam keadaan sadar dan tidak dibawah tekanan (punishment vs rewards)

R: Reversible => Dapat dibatalkan kapanpun. Memaksa seseorang untuk kembali memberikan consent adalah kekerasan.

I: Informed => Kita hanya dapat menyetujui sesuatu bila mengetahui dampak, resiko, konsekuensi dari tindakan tsb.

E: Enthusiastic => Pastikan consent diberikan karena ingin, bukan karena terpaksa -- Relasi Kuasa

S: Specific => Hanya terbatas pada kegiatan/hal yang ditanyakan -- "disposable". Beda aktivitas, perlu tanyakan lagi.

Acara diskusi public ini dihadiri 118 peserta baik dari dosen, mahasiswa, pakar hukum dan masyarakat umum dari seluruh Indonesia, acara ini ditutup dengan 2 rekomendasi kepada pemerintah, yakni:

1. Puskohis berharap Permendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021 ditambahkan penjelasan mendetail mengenai cakupan kekerasan seksual, penjelasan pada pasal-pasal multi tafsir, membuat regulasi mengenai pemutasusan relasi kuasa, membuat program penghapusan victim blaming, memperjelas tolak ukur kekerasan seksual dan mempermudah proses pengaduan kekerasan seksual.

2. Puskohis mengajak kepada seluruh mahasiswa, pendidik, tenaga kependidikan, warga kampus, dan masyarakat umum untuk bersama-sama mencegah, menangani dan menanggulangi kekerasan seksual. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun