Mohon tunggu...
adi sasono
adi sasono Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Di Mana Mahasiswa Harus Menulis?

27 Mei 2016   21:38 Diperbarui: 27 Mei 2016   22:08 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Beberapa hari yang lalu, saya mendapat 'forward' sambatan dari seorang direktur sebuah perusahaan milik daerah. Beliau ini juga disambati bosnya, seorang direktur utama, yang juga disambati anaknya. Jadilah sambatan berantai.

Apa isi sambatannya? Anak si bos direktur itu mendapat tugas dari kampus untuk menulis opini di media massa. Opini sudah dibuat, tapi media mana yang mau memuatnya? Hampir semua media mainstream yang punya rubrik opini punya standard tinggi untuk tulisan opini agar bisa dimuat. Biasanya cuma intelektual atau akademisi atau aktivis dengan perspektif ilmiah yang bisa menghasilkan tulisan dengan standard tinggi media.

Nah.. Sedangkan si mahasiswa baru kuliah dua semester. Menulis artikel pun ia baru belajar. Lantas kepada media mana ia bisa berharap? Mustahil. 

Karena mustahil itulah, si anak sambat ke bapaknya. Lalu si bapak sambat ke anak buahnya, direktur operasional yang ia tahu punya banyak kenalan orang media. Harapannya si direktur operasional ini bisa mendapatkan media yang mau mempublikasikan tulisan sang anak.

Berbekal empati, saya minta copy tulisan si mahasiswa. Ya ampun... mohon maaf sebesar-besarnya. Yang saya baca itu sungguh bukan tulisan yang layak muat. Tapi saya maklum, itu tulisan mahasiswa yang baru belajar menulis. 

Saya membaca tulisan si mahasiswa hanya selang satu jam setelah menerima seorang tamu, kawan yang bekerja sebagai humas perguruan tinggi swasta terkemuka di Surabaya. Ia menyampaikan bahwa acara yang seharusnya digelar esoknya yang melibatkan saya, dibatalkan. "Panitia tidak siap, peserta kurang dari target. Ditunda dua bulan lagi setelah liburan," katanya. 

Acara apa to? DI acara itu, saya diminta melatih sekitar 40 mahasiswa menulis opini. "Rektor lagi galau, karena sangat sedikit mahasiswa yang punya minat menulis. Jadi, sampeyan diminta membantu. Paling tidak ngompori mereka agar mau menulis, tentu menulis dengan benar," kata si mbak itu lagi.

Oalahh.. yang satu sudah mau menulis meski masih ala kadarnya, yang lainnya malah tidak mau menulis. Repot juga..

Itu masih satu masalah. Masalah lainnya adalah "media mana yang mau menampung tulisan opini mahasiswa?" Tidak ada lagi kolom debat mahasiswa yang pernah menjadi ajang adu argumen aktivis kampus. 

Mengapa demikian? Ini satu contoh, semoga mewakili. Koran tempat saya bekerja 17 tahun terakhir terpaksa menutup kolom opini, karena menurut jajak pendapat yang kami adakan, halaman inilah yang paling sedikit pembacanya.  Kalau begitu, mengapa kami harus membayar penulis kalau halaman itu diabaikan pembaca. Mending kami ganti dengan rubrik yang disukai pembaca.

Saya ingin sampaikan pertanyaan retoris itu, karena saya tahu bahwa nyaris tidak ada mahasiswa yang membaca koran. Sekarang mereka menyedot segala informasi dari internet. Jadi sudah bisa dipastikan mereka tidak sudi beli koran. Lalu, sekarang mereka mendadak butuh koran, karena dipaksa kampus. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun