Mohon tunggu...
Adirama Gemmy
Adirama Gemmy Mohon Tunggu... -

A pacifist who loves words an music

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Audiens Snob

17 Mei 2015   17:23 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:53 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam sebuah obrolan santai tentang tren industri pertunjukan Indonesia dengan Toto Arto, saya kepatil sama pernyataan dia bahwa pasar industri pertunjukan Indonesia sekarang didominasi oleh konsumen yang snobbish. Toto membocorkan kenapa akhirnya lalu pertunjukan Matah Ati yang ‘sangat Jawa’ itu justru pertama kali diselenggarakan di Esplanade Theatre, Singapura. Dia bilang, dengan strategi itu, orang Indonesia kemudian akan merasa penting dan merasa wajib menjadi bagian dalam event bercitarasa global.

[caption id="attachment_418121" align="aligncenter" width="380" caption="Pertunjukan Matah Ati"][/caption]

Hal yang sama juga dialami oleh pertunjukan sendratari Tusuk Konde. Sebelum akhirnya berlabuh di kampung halamannya, pertunjukan ini mesti ‘ngamen’ di Eropa terlebih dahulu untuk mendapatkan label sebagai ‘tontonan luar negeri’ yang cocok dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia dengan gaya hidup modern. Seperti yang diungkapkan sang artistik panggung Tusuk Konde, Jay Subiakto, “Kita harus bermain pertama kali di luar negeri dulu. Itu memang taktiknya. Karena, apapun yang berasal dari dalam negeri nggak akan dihargai.”
Toto dan Jay tentu sah saja menggunakan taktik pemasaran seperti itu. Sebagai orang seni pertunjukan, mereka pasti sadar betapa pentingnya konsumen (penonton) sebagai motor penggerak proses kreatif mereka selanjutnya. Yang mereka lakukan adalah coba mendekati pasar Indonesia berdasarkan realitas yang sedang terjadi di dalamnya: snobbish!
Menurut kamus Oxford, ‘snobbish’ punya pengertian A person with an exaggerated respect for high social position or wealth who seeks to associate with social superiors and looks down on those regarded as socially inferior. A person who believes that their tastes in a particular area are superior to those of other people.
Sayangnya, ‘taste’ (citarasa) yang seharusnya merupakan nilai unik yang dimiliki masing-masing individu, menjadi terlembaga oleh budaya konsumen yang imajiner sehingga menjadi satu-satunya acuan untuk apa yang kemudian disebut dengan ‘citarasa tinggi’. Seolah-olah, ada kesepakatan yang bilang bahwa produk A merupakan produk bercitarasa tinggi. Oleh karenanya, jika kalian mau dilihat sebagai orang yang berkelas sosial tinggi, kalian tidak boleh tidak menggunakan produk A. Sebaliknya, orang yang tidak menggunakan produk A akan dicap sebagai orang berstatus sosial rendah dengan citarasa yang jelek.
Oleh karena itu, banyak kemudian para penonton Matah Ati dan Tusuk Konde di Indonesia yang berbondong-bondong memenuhi bangku pertunjukan teater untuk sekadar dilihat sebagai individu bercitarasa tinggi. Gila, lo mesti nonton, bok. Eropa aja ngakuin!
Di sini, saya tidak bermaksud bilang bahwa kedua pertunjukan itu jelek. Justru sebaliknya, saya sangat bangga kita punya pertunjukan sefantastis itu. Tapi sayangnya, ‘nilai’ kedua pertunjukan itu mesti terlebih dahulu dilegitimasi oleh Barat untuk kemudian baru bisa diterima sebagai karya layak tonton. Tidak sedikit juga orang bela-belain nonton dua pertunjukan itu supaya diterima di kelas sosial yang tinggi. “Eh, gue ada lho waktu itu. Liat aja di Instagram gue. Gue foto kok di wall of fame-nya.”

14318580751544339712
14318580751544339712

Ada hal mendasar yang hilang dari dunia pertunjukan Indonesia. Kita nggak mampu lagi menangkap esensi dari pertunjukan itu sendiri dan justru lebih terpukau oleh pelabelan tertentu demi memuaskan dahaga akan pencapaian status sosial yang lebih tinggi.
David Chaney dalam bukunya yang berjudul Lifestyles membagi tiga jenis penonton konser modern: (1) penonton berdasarkan pilihan pribadi, (2) penonton berdasarkan pilihan kultural, dan (3) penonton berdasarkan nilai karakteristik struktur sosial. Jika berkaca pada fenomena penonton Indonesia sekarang, tampaknya kita termasuk jenis penonton yang ketiga.
Akhirnya, saya bisa bilang kita sudah sampai di era yang pada akhirnya semua merupakan budaya tontonan, termasuk citarasa dan kelas sosial kita. Kita selalu ingin menonton sekaligus ditonton. Ingin melihat sekaligus juga ingin dilihat. Di sinilah ‘gaya’ mulai jadi acuan eksistensi kita. Kalo lo ‘gaya’, maka lo ada. Kalo lo nggak gaya, siap-siap aja dianggep gak ada. Jadi jika kalian mau nonton konser atau apapun itu, pastikan kalian memang benar-benar mau dan tertarik sama tontonan itu. Kalau sekadar cuma biar dibilang eksis, ya, kalian bisa jawab kira-kira how snobbish are you?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun