Bensin Tanpa Sepeser
"Tolong menolonglah kalian dalam kebaikan dan takwa, dan janganlah kalian tolong menolong dalam perbuatan dosa dan pelanggaran" QS. Al Maidah (5) ayat 2.
Entah apa yang terbersit di benaknya sehingga niat begitu tulus dan ikhlas seseorang petugas parkir itu aku rasakan ketika aku lagi berjuang bersusah payah mendorong dengan sekuat tenaga sepeda motor metik yang kehabisan bahan bakar pada perjalanan pulang kerjaku sore itu dengan sinar matahari yang mulai redup menyisakan bayangan dedaunan pohon penghijauan oleh pemerintah kota tempatku tercatat sebagai warganya.Â
Seketika dia kutanya di mana yang menjual bensin eceran terdekat, dijawabnya masih jauh. Harapku putus untuk sampai ke rumah dengan cepat. Aku sempat menyerah, ya sudahlah, ini nasib yang harus kutanggung karena ketelodoranku tidak mengisi bensin ketika jarum meter sudah menunjukkan ke bawah melewati huruf E.
Pakaiannya lusuh bahkan kusam karena seringnya kena paparan panasnya sinar matahari. Pria itu memakai topi pet dan peluit tergantung di lehernya dengan postur tubuh sedang tidak tinggi, memakai celana warna cokelat sampai pergelangan kaki namun tidak memakai rompi seperti petugas parkir lainnya.Â
Dia mangkal di deretan ruko roti, mini market dan sebuah perbankan. Dari logatnya menyapaku, aku familiar seperti logat yang dipakai orang-orang sekampung tempatku berasal. Apa mungkin karena plat nomor kendaraanku berakhiran huruf D sehingga ia tertarik menolongku? Atau dia ingin mengambil keuntungan dengan berdalih menawarkan bantuan?
Sempat pikiranku menerawang ke batas yang tidak seharusnya dilewati oleh seorang muslim dengan muslim lainnya, ya prasangka buruk kepada orang yang memberi bantuan dengan motif tententu. Astagfirullah aku sudah berprasangka yang tidak seharusnya aku sangkakan kepadanya?
Sungguh di luar dugaan, dia menyuruhku menunggu dan bergegas mengambil gelas bekas air mineral kemudian menuju sudut tempat parkir yang sedari pagi dijaganya. Aku lihat dari kejauhan dia mendatangi sepeda motor miliknya. Aku yakin sekali itu miliknya, dari bahasa tubuhnya dia mengerti betul dengan kondisi kendaraan roda dua itu yang terparkir rapi dipojok sebuah ruko dengan tutup jas hujan hitam.Â
Di tangannya ada sebuah selang kecil tidak terlalu panjang dimasukkannya ke dalam tangki sepeda motor, sebuah sepeda motor butut yang saat ini tidak diproduksi lagi.
Pelan dia isap selang kecil itu lalu diarahkannya ke dalam gelas bekas. Segelas bensin disuguhkannya ke aku bahkan dia bantu memasukkannya ke tangki sepeda motorku sambil berujar bahwa segelas minyak ini mampu mengantarkanku ke pom bensin yang jauhnya sekitar 2-3 kilometer di depan. Aku langsung buka dompet bermaksud membayar segelas bahan paling berharga itu.Â
Apa jawabannya? Tidak usah ! Aku tetap berusaha untuk memaksanya mengambil uang yang aku sodorkan bahkan dengan memaksa memasukkan ke kantong celananya, dia menghindar dan berlalu menjauh dariku.
Mungkin seperti ini gambaran ikhlas yang pernah aku dengar dari seorang ustadz, lakukan kemudian lupakan. Sembari memacu laju kendaraanku, aku masih terkagum-kagum dengan sifat mulianya tukang parkir sekaligus malu dengan pelitnya sifat seperti itu pada diriku.Â
Aku mencoba menghitung-hitung keuntungan yang didapatnya, melihat lahan parkir yang ia jaga tidak bisa leluasa mengingat pinggir jalan trotoar yang tergolong padat, belum lagi kalau misalnya dia harus berbagi penghasilan dengan teman seprofesinya. Tentu penghasilan yang tidak bisa ditebak, karena tergantung kunjungan dan keperluan orang-orang dengan ruko di sekitarnya.
Sekilas bensin satu gelas tentu tidak seberapa harganya tapi bagi yang berpenghasilan tidak menentu seperti tukang parkir--walau mungkin sebagian tukang parkir lainnya masih berpenghasilan cukup- sangat berarti baginya, ketulusannya membantu tanpa balasan tentu perlu dapat apresiasi yang luar biasa tidak sekedar terima kasih tapi juga doa.Â
Baginya, membantu sesama adalah panggilan jiwa, panggilan kemuliaan, menambah kebahagiaan, menjadikan hidup lebih bermakna, menjadi manusia terbaik dengan menjadi manfaat bagi sekitarnya. Dia menjadi salah satu aktor di muka bumi sebagai "sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya". (HR. Thabrani dan Daruquthni).
Dia cekatan memanfaatkan momen sedekah segelas bensin dengan mengamalkan Al Maidah ayat 2 tolong menolong dalam kebaikan dan ketakwaan. Aku disentakkan dengan pengalaman berharga di atas, belajardari tukang parkir, belajar dengan segelas bensin tanpa seperserpun. Hal-hal kecil yang dibagikan dengan ikhlas akan menyentuh sanubari yang dalam.
Bukankah naluriku sering disinggung oleh "Maka barangsiapa mengerjakan kebaikan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya, dan barangsiapa mengerjakan kejahatan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya" (Qs. al-Zalzalah: 7-8).
Kepekaan dengan hal-hal kecil, menyingkirkan duri di jalanan, meratakan lukisan yang terlihat miring di dinding, merapikan keset di lantai yang bergeser posisi dari sebelumnya bahkan mungkin ada tisu bekas yang tak sengaja jatuh dilantai habis dipakai kemudian dimasukkannya ke tong sampah.Â
Orang-orang yang diberi kepekaan seperti ini tidak lain hanya ingin melihat nyaman situasi di sekitarnya dan dinikmati kebahagiaan oleh orang lain yang merasakannya. Â Apalagi kepekaan yang dilakukan oleh tukang parkir di atas,ia hanya ingin merasakan kebahagiaanku ketika doronganku mulai lunglai dibayar lunas oleh segelas bensin.
Kebahagiaan tidak selalu dari hati kita yang berbunga-bunga, tetapi kebahagiaan juga bisa dirasakan oleh orang lain dengan keterlibatan dan kehadiran manfaat kita di dalamnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H