Mohon tunggu...
Adira Luthfiyah
Adira Luthfiyah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi Jurnalistik

Language enthusiast

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Begini Potret Anak Muda Zaman Sekarang, Jadi Generasi Penerus atau Pelurus?

23 Desember 2021   20:13 Diperbarui: 23 Desember 2021   20:13 363
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jika melihat kilas balik perkataan Presiden Soekarno, "Beri aku sepuluh pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia". Kata-kata itu menunjukkan harapan bahwa masa depan sebuah peradaban atau bangsa itu ditentukan oleh para generasi muda saat ini. Namun apakah pepatah tersebut masih bisa berlaku sampai sekarang?

Sejak zaman dahulu, pemuda telah banyak berkontribusi pada perkembangan dan kemajuan bangsa. Dari mulai didirikan nya organisasi Budi Utomo yang merupakan cikal dari Sumpah Pemuda di tahun 1928 hingga peristiwa Rengasdengklok dimana golongan muda menculik Ir Soekarno sebelum beliau membacakan teks Proklamasi. 

Pemuda Indonesia memegang peran penting dalam kemerdekaan Indonesia karena saat itu mereka adalah kunci persatuan rakyat.

Pemikiran pemuda pada saat itu adalah perjuangan yang bersifat kedaerahan dan berkubu-kubu tidak akan bisa mengusir penjajah. Maka mereka bersatu tanpa memandang ras dan suku demi membersihkan bumi Indonesia dari pijakan kaki penjajah. 

Mereka memiliki satu tujuan yang sama, saling menjaga, dan tidak meninggalkan yang lainnya. Mereka mempunyai keyakinan kuat bahwa suatu saat Indonesia akan terbebas dari penjajahan.

Berbeda dengan zaman sekarang, anak-anak muda banyak ditemukan sedang mabuk-mabukan, balap liar, berkelahi di tempat umum sambil membawa senjata tajam, memperkosa temannya sendiri, bahkan ada yang dengan bangganya memamerkan kehamilan tanpa suami padahal usianya masih dibawah 20 tahun. Zaman sekarang, anak muda lebih banyak yang bersikap seenaknya.

Seperti contoh yang dilansir dari media internasional Koreaboo, seorang mahasiswi yang menulis AU (Alternative Universe), yakni semacam fiksi penggemar yang diunggah di Twitter berhasil mengangkat ceritanya ke layar lebar.

Namun permasalahannya, ia seperti enggan mengubah salah satu nama yang digunakan sebagai pemeran dalam ceritanya. Ia menggunakan nama seorang artis yang cukup mendunia dan nama nya jarang ditemukan bahkan di negara nya sendiri.

Dengan berdalih bahwa nama tersebut masih terdengar 'lokal', hal ini justru memicu kemarahan dari penggemar dalam negri hingga luar negri. Akhirnya banyak yang mengaku bahwa penulis ini membuat malu Indonesia. Mereka juga menyayangkan bakat menulis nya yang sia-sia karena sifat arogan nya.

Kini anak-anak muda diberatkan tanggung jawab menjadi generasi penerus oleh generasi sebelumnya. Dari menjaga kelestarian alam, mematuhi undang-undang, hingga menegakkan Pancasila. Namun jika kita perhatikan baik-baik, apakah kita harus meneruskan upaya yang dilakukan oleh generasi sebelumnya?

Adapun generasi penerus menurut Agung Junazil Rukmana, founder @santrimillenials sekaligus Jajaka Kameumeut @moka_bogor 2021 adalah generasi yang melakukan program-program yang sudah dilaksanakan dan tidak ingin dipusingkan untuk membuat hal yang baru.

Namun melihat kondisi Indonesia di mana para pejabat kerap melakukan korupsi, penyalahgunaan wewenang, hingga tambang liar yang terjadi di suku pedalaman. Apakah kita harus menjadi penerus untuk upaya bejat seperti ini? Lantas jika menjadi generasi penerus, generasi yang mana yang sebaiknya kita teruskan perjuangannya? Tentu saja kita tidak ingin menjadi penerus dari generasi yang berperilaku buruk.

Banyak pemuda yang menyuarakan untuk menjadi generasi pelurus. Katanya generasi pelurus itu bisa meluruskan kesalahan yang dilakukan generasi sebelumnya.

Agung melanjutkan, bahwa generasi pelurus adalah generasi yang meluruskan dan menimbang kembali apakah suatu program dapat dilanjutkan. Karena generasi pelurus ini adalah generasi yang suka melihat peluang dan juga kesempatan. Bahkan tak jarang mereka berinovasi menciptakan hal baru demi memajukan peradaban.

Kecanggihan teknologi dan berkembang nya ilmu pengetahuan adalah wujud dari generasi pelurus. Mereka berusaha menjadikan Indonesia tidak ketinggalan zaman agar tidak dicap bodoh seperti pada masa penjajahan dulu. Sang penerus mungkin hanya akan meneruskan sistem yang ada, namun sang pelurus akan membuat inovasi baru yang lebih praktis dan efektif.

Adapun salah satu tokoh pemuda pelurus dari Indonesia yang membanggakan adalah Khoirul Anwar. Ia menyelesaikan studi doktoralnya di Nara Institute of Science and Technology, Jepang pada tahun 2008. Ia mengerjakan konsep dasar dengan dua Fast Fourier Transform (FFT) berpasangan, yang dipakai dalam 4G uplink. 

Karena teknik ini, ia mendapat penghargaan dari IEEE Radio and Wireless Symposium (RWS) tahun 2006 di California. Selain bermanfaat bagi orang lain dan dapat memajukan peradaban, hal ini juga mengharumkan nama bangsa.

Sebagai pemuda yang masih belum tahu harus jadi apa kedepannya, hal seperti ini tentu saja berat untuk diikuti. Namun ada beberapa tips mudah yang dikemukakan oleh dua narasumber kali ini.

"Sebagai harapan bangsa, yang semestinya dilakukan adalah adaptif dan dinamis melihat peluang karena zaman terus berkembang. Di zaman sekarang, orang lain tidak bisa selalu menyuapi kita, maka kita harus mengejar apa yang kita inginkan. Dengan begitu pemuda bisa beradaptasi dengan lingkungan dan kondisinya. Karena pemuda adalah harapan bangsa untuk meneruskan estafet kepemimpinan di tanah air ini," ujar Agung Junazil Rukmana

"Generasi muda sebagai harapan bangsa, mereka harus punya keinginan untuk menemukan potensi mereka sehingga mereka bisa berkontribusi dengan apa yang mereka lakukan. Kedua adalah mereka harus sadar bahwa potensi itu harus dibagi dengan adab yang baik. Moral itu tidak bisa disepelekan. Karena banyak orang yang pintar, memiliki akal, kreatif, hingga berprestasi tapi minim adabnya sehingga mereka hanya melakukan apa yang mereka inginkan tanpa memikirkan dampak dan pengaruhnya untuk orang lain," papar Solahudin Al-Ayubi, founder @languagecommunity serta peserta IISMA Glasgow University, UK.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun