Penulis sedang tertarik membahas sistematika dan kekakuan produk hukum yang bersumber dari dinamika yang dinamis. Dari seorang teoritis hukum om Hans Kelsen yang mengusung teori jenjang norma (stufen theory) serta si om Hans Nawiasky dengan teori jenjang norma hukum, (die Theorie Vom Stufentordnung der Rechtsnormen).Â
Kita mulai bahwa adanya sesuatu yang disebut "Grundnorm" (norma tertinggi) sampai pada turunannya "Norm" (norma) yang berada pada kekuatan dibawahnya.
Urutan Grundnorm hingga Norm :
A. Pancasila, Pembukaan UUD 1945 (Staatsfundamental norm)Â
B. Batang tubuh UUD 1945, TAP MPR, dan Konvensi Ketatanegaraan. (Staatsgrundgesetz)
C. Undang-Undang (Formell gesetz)
D. (Verordnungen autonome satzung) hierarki produk hukum pada terapan yang berupa uraian terbawah sebagai peraturan yang berasal dari Pemerintah Pusat hingga sampai pada Keputusan Bupati atau Walikota yang berada dibawahnya.
Sudah tentu sangat erat kaitannya dengan tupoksi setiap jenjang tingkatan hukum dan produk yang dihasilkan sebagai juklak juknis (petunjuk pelaksana dan petunjuk teknis),Â
Makadari itu sebagai pengujian baik secara formil atau material, adanya Pemberlakuan asas "lex superiori derogat legi inferiori" yang bermakna bahwa "hukum yang derajatnya lebih tinggi mengesampingkan hukum yang derajatnya lebih rendah". Hal ini berkaitan dengan praktik apabila terjadi peristiwa pertentangan dalam pelaksanaannya.
Sehingga setiap orang dapat membedakan status dalam setiap jenjang hukum, dalam merepresentasikan dan menafsirkan setiap produk hukum berdasarkan jenjang, mengetahui prioritas dalam pola penerapan kehidupan masyarakat dalam hukum.Â
Kemudian ada juga hal-hal yang dapat mempengaruhi dinamika hukum menjadi sesuatu yang dinamis pada Kepastian Hukum (rechts sicherheit), akibat dari perbedaan nalar dan tafsir setiap individu berdasarkan tingkat dan kemampuan berpikir serta budaya dan lingkungan yang dapat mempengaruhinya, sehingga menjadi progresifitas hukum berdasarkan penafsiran hukum dianggap secara sah karena ada dalam suatu lembaga atau mahkamah tafsir hukum yang diklaim sebagai proses finalisasi (Legitimate interpreter of Constitution), tidak berhenti disitu saja, di dalam sebuah perjalanan hadirnya "konflik" tidak sedikit menghasilkan Penemuan Hukum (rechvinding), yang dapat menstimulus suatu kondisi Perubahan Hukum dan menjadi putusan bersyarat (Revolution Conditionally constitution of Law), ranahnya tertuju pada suatu asas manfaat dalam hukum (zweckmassigkeit), sehingga terjadinya Penciptaan Hukum (Rechts schepping) dalam konsep pembaharuan hukum yang menyesuaikan ruang dan waktu dalam budaya harian yang membentuk sistem dan tata hukum penyesuaian, dikarenakan adanya unsur "behavioral system of the law" dalam pranata hukum. Selanjutnya adanya proses upaya pendayagunaan manfaat tersebut dalam suatu Penegakan keadilan Hukum (Gerechtigkeit) hingga menjadi tahapan pencapaian Cita (Staatide) bersama para masyarakat pengguna hukum, yang berhukum dan yang dihukum.
Untuk dapat dikembalikan kepada masyarakat (Respublic) sebagai sebuah pendiktean dan penekanan hukum (intervensi and pressure of law) pada kepentingan khalayak ramai (public) dengan cara lemah lembut dan memaksa serta disampaikan dengan cukup halus agar dapat diterima khalayak, penulis menyebutnya sebagai sosialisasi hukum.
Nahh, separagraf panjang hanya baru membahas Faktor-faktor pengaruh dalam sistematika hukum dan produk yang penulis anggap hanya sebagai akumulasi dari penyusunan puzzle menjadi benang merah saja, sebagai kronika dan dinamika hukum beserta antek-antek teori yang menjadi turunannya.
Kalau kita bergeser dan berpikir sedikit pada suatu penalaran ideologi sebagai pabrikasi penghasil sekumpulan nilai dan norma yang dapat terproduksi secara massal untuk dapat dipahami dan dimengerti sebagai metodologi multipolar dan pandangan hidup universal,
Sekaranhbkita bisa membayangkan bahwa saat diterapkan pada khalayak ramai, dapat terealisasi dalam bentuk, agar dengan mudah untuk diserap dan diterap, semisal membuat sebuah konsep yang beranjak dari nilai-nilai ideologis menjadi wujud yang nyata.
Makadari itu Penulis mencoba untuk merumuskan suatu konsep "Pancasila Agrotechnofarm" yang ditujukan bukan hanya sebatas prinsip teori nilai, melainkan kegiatan yang berbasis Nilai tanpa memandang kelas. Seperti halnya ulasan rangkaian dan sistem hukum yang anda baca barusan, dari yang tertinggi hingga yang paling rendah, untuk lebih dalam memahami maksud saya, Silahkan cek karya tulis saya pada Artikel sebelumnya tentang pertanian dan peternakan, bahwa ideologi mampu menghasilkan kekaryaan dalam penerapan nilai-nilainya, Terima Kasih
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H