Mohon tunggu...
Adipuja Rahmadinata
Adipuja Rahmadinata Mohon Tunggu... -

Seorang job seeker

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Uji Nyali Pemerintah (Lagi) Vs Perjuangan para Ibu Rumah Tangga

28 Agustus 2014   00:07 Diperbarui: 18 Juni 2015   02:20 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Membicarakan subsidi BBM memang tidak ada habisnya. Pro dan kontra selalu ada. Bak buah simalakama, apalagi bagi para petinggi negeri beserta jajaran 'pembantunya'. Keputusan dilematis mesti diambil atas nama bangsa, bukan hanya untuk saat ini, tapi juga untuk jangka panjang.

Pilihan ini semakin sulit karena berada menjelang periode transisi pemerintahan, tampuk kepala akan segera berpindah. Ditambah lagi pucuk korporasi 'monopoli' bahan bakar minyak di negeri ini pun sudah bersiap meletakkan jabatannya, efektif per 1 Oktober 2014 nanti. Yaa... banyak pengamat bahwa beliau (sang Ibu Pertamina selama 6 tahun) pun akhirnya 'menyerah' juga. Memimpin diatas tekanan dan harapan tinggi tak selamanya membuat orang terpacu tapi bisa membuat seseorang menjadi mengalihkan tujuan dan mulai berpikir rasional. Harvard sudah menunggu. Negeri ini terlalu banyak campur tangan dan penuh prasangka.

Kembali dalam soal subsidi BBM. Subsidi yang menyedot Anggaran Negara mencapai lebih dari 450 Trilliun di 2014 ini menjadi buah bibir setiap rakyat. Bagaimana tidak, pengurangan subsidi tersebut bisa memberikan efek domino bagi sektor yang lainnya. Tapi pemerintah mesti mengambil resiko ini jika tak ingin diakhir tahun nanti APBN jebol dan alokasi sektor lain pun terkuras.

Kita coba pemikiran sederhana sebagai seorang awam dan bukan pakarnya. Subsidi dicabut, maka;

Satu, harga BBM dipasaran pun meningkat, bagi yang memiliki kendaraan pasti akan merogoh kocek lebih dalam agar mesin motor dan mobil nya bisa terus mengeluarkan asap di knalpotnya.

Dua, Ongkos transportasi umum pun ikut naik. Jelas, toh mereka mesti menutupi biaya untuk membeli bensin atau solarnya. Uang saku anak sekolah pun naik, Ibu dan Bapaknya pun mesti membekali uang lebih untuk itu. Bagi para pekerja pun mesti menambah budget untuk sektor ini.

Tiga, hampir dan bisa jadi semua komoditi dagang ikut merangkak naik. Sembako kah itu, barang sandang kah itu, papan bahkan barang tersier pun ikut2n naik. Kenapa ikut naik? Kembali ke pola pikir sederhana. Mmm.. semuanya barang2 itu diangkut oleh para pedagang, distributor menggunakan kendaraan darat untuk bisa sampai ke tangan konsumen. Dan itu butuh BBM. Jadi biaya operasional naik, otomatis harga cabe, bawang, beras, sayuran, daging, handphone (walau makin banyak hp murah ya zaman skrg), pakaian, kosmetik, perlengkapan rumah tangga, dsb semua ikut naik. Lagi-lagi para Ibu rumah tangga mesti cermat dalam kelola keuangan dan makin menyemangati Sang Suami untuk lebih kreatif cari uang...hehe.

Empat, tak sedikit juga akan menyebabkan barang-barang itu naik mulai dari produsennya. Yaa..masih banyak perusahaan yang mengandalkan BBM bersubsidi utk operasional perusahaannya. Mereka pun juga butuh bahan baku untuk produksi, bahan baku pun naik mereka pun mau tak mau juga ikut menaikkan harga jual ke konsumen karena biaya operasional produksinya menjadi naik. Siapa lagi yang mesti putar otak untuk menghemat dan menghemat?

Lima, Kesejahteraan rakyat kecil makin masih dari angan-angan dan kata 'Sejahtera'. Pendapatan perkapita Indonesia saat ini yang 'hanya' (ah...tak usah kita tuliskan), justru kalah dari mantan propinsi NKRI, Timor Leste. Semuanya serba naik dan mahal serta semakin sulit untuk membeli. Membeli apapun semakin sulit, mulai dari ujung kepala sampai ujung kaki. Mahal.

Bagaimana pemerintah? Kami percaya bahwa Bapak-Ibu lah yang disana terus memutar otak untuk memikirkan negeri ini. Bapak-Ibu lah yang lebih mengerti baik dan buruknya kebijakan ini diambil. Tapi sekali lagi, kami hanya melihat sebatas mata kami memandang. Bahwa negeri 'kaya minyak' ini masih susah dari ketergantungan akan minyak. Dan semuanya berawal dari minyak. Kami pun tau produksi perusahaan plat merah negeri ini belum mampu memenuhi kebutuhan konsumsi dalam negeri ini, makanya 'negara minyak' ini masih impor minyak. Hampir semua sektor dan titik potensial minyak pun diakuisisi dan dikelola oleh asing. Yaa.. mau bagaimana lagi.. negara ini masih jauh dari kata mandiri. Banyak alasan untuk menjelaskannya. Tapi jalan keluarnya masih belum tau ada dimana.

Terakhir, apapun kebijakannya. Rakyat tetap menjadi rakyat yang tiap hari mesti berdesak-desakan di atas bus kota. Bunyi klakson akan terus berdering nyaring di setiap persimpangan jalan. Para Ibu akan menjadi 'menteri keuangan' yang sangat hebat di rumahnya masing-masing. Para Bapak akan makin terlecut untuk terus memeras peluhnya, peluh yang akan jauh lebih deras dari biasanya. Dan para Anak-anak, kalian harus mengerti bahwa hidup itu keras bro..hidup itu penuh perjuangan. Ingat terus kerja keras Ayah dan Ibumu untuk memberikanmu hidup yang terbaik. Jangan sia-siakan kerja keras dan harapan mereka.

*di sore hari menyaksikan para rekan kerja salih berganti berpamitan pulang. Selamat Jalan teman-teman semua, semoga selamat tiba di rumah masing-masing. Aamiin. :)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun