Mohon tunggu...
Adi Prayuda
Adi Prayuda Mohon Tunggu... Dosen - Seorang dosen, penulis, dan murid meditasi

Seorang Dosen di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Islam Al-Azhar, yang juga merupakan pemandu meditasi. Penulis berbagai buku self development dengan pendekatan meditasi (Jeda).

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Yang Kita Cari-cari Ada di Dalam Diri

10 November 2022   10:51 Diperbarui: 10 November 2022   10:56 195
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketika kita sedang mencari sesuatu, berarti sesuatu itu sedang tidak ada di sekitar kita atau sedang tidak di tempat biasa kita menemukannya. 

Sesuatu itu luput dari penglihatan kita, pendengaran kita, penciuman kita, kecapan kita, dan sentuhan kita. Bagaimana dengan kebahagiaan? Apakah kebahagiaan itu bisa dilihat? Bisa dicium? Bisa didengar? Bisa dikecap? Bisa disentuh? Kebahagiaan tidak terdeteksi oleh panca indera kita. Kebahagiaan itu terasa oleh hati kita sendiri. Hanya kita yang bisa merasakannya. Richard Carlson, seorang psikoterapis dan penulis dari Amerika, menjelaskan makna kebahagiaan dengan cantik sekali,

"Kebahagiaan bukanlah serangkaian keadaan. Kamu tidak akan pernah menemukan kebahagiaan dengan "mencari", sebab saat Kamu melakukannya, Kamu percaya bahwa kebahagiaan bisa ditemukan di luar diri Kamu. Kebahagiaan bukan berada di luar diri Kamu. Ketika Kamu memahami bahwa kebahagiaan tidak lebih dari sebuah perasaan, maka Kamu bisa membantunya untuk tumbuh dan mempertahankan dirinya ketika Kamu merasakannya. Kebahagiaan tidak memerlukan usaha sama sekali. Sesungguhnya kebahagiaan adalah membiarkan ketidakbahagiaan pergi, bukan memperjuangkan kebahagiaan itu sendiri."

Kebahagiaan sudah ada di dalam hati kita, hanya saja seringkali tertutup oleh tirai kebencian, amarah, dendam, rasa iri, rasa bersalah, dan sebagainya. Ketika tirai-tirai itu bisa kita sibak, kebahagiaan muncul dengan sendirinya. Letaknya kebahagiaan di dalam hati kita, tapi tidak semua orang nyaman melakukan perjalanan menyusuri hatinya sendiri. Kenapa? "Tempatnya gelap!" Untuk menyusuri hati kita sendiri, kita harus melakukan perenungan. Kita, termasuk saya, lebih senang "mencari" sesuatu di tempat yang "terang". Bisa terlihat, nyata bentuknya, nyata aromanya, nyata rasanya. Seperti Paijo, dia tahu bahwa kunci motornya ada di dalam kamarnya sendiri, namun karena mati listrik, sehingga kamarnya gelap, dia malas mencarinya disana. Paijo malah mencarinya di teras rumahnya, di tempat yang lebih terang.

Richard Carlson memaparkan definisi kebahagiaan yang membuat kata "mencari" menjadi tidak relevan. Untuk apa kita mencari sesuatu yang sudah kita miliki? Lantas, apakah menginginkan sesuatu yang ada di luar diri kita itu salah? Tentu tidak salah. Namun, akan lebih baik bila ada "energi pengimbang". Apa itu? Rasa syukur terhadap apapun yang telah kita miliki saat ini, terhadap apapun yang telah dianugerahkan-Nya kepada kita saat ini disini.

Mengapa butuh "energi pengimbang"? Supaya keinginan kita tidak menjadi monster penguras tenaga. Banyak orang, termasuk saya, mengejar ini dan itu, mengupayakan banyak cara, mencurahkan tenaga & pikiran, dan akhirnya mendapat apa yang diinginkan. Tanpa rasa syukur dalam proses pencapaian tersebut, perjalanan akan kering makna. Ketika kita berhasil mendapat apa yang kita upayakan selama ini, kita senang, namun hanya beberapa saat saja, kemudian kita akan bergelut dengan keinginan yang lebih besar lagi. Kita menganggap tercapainya keinginan yang lebih besar membuat kita lebih bahagia. Apa benar? Iya, untuk sementara waktu. Tercapainya keinginan memang membuat kita bahagia, namun rasa bahagia jenis itu akan segera lenyap ketika keinginan yang lebih besar muncul. Itu kalau keinginan kita terwujud, kalau tidak?? Tanpa rasa syukur dalam prosesnya, kekecewaan tidak bisa dihindari. Kelelahan sudah pasti.

Agar konsep ini semakin jelas, coba sesekali bersihkan rumah atau kamar pribadi. Bukan hanya sekedar menyapu lantainya, tapi membersihkan semua barang, pintu, atau jendela yang berdebu, menata kembali barang-barang yang posisinya terlihat tidak bagus, dan membuang barang-barang yang sudah tidak diperlukan lagi. Kalau kita benar-benar melakukan aktivitas itu, kita akan berjumpa satu hal. Kita akan berjumpa dengan barang yang dulunya sangat kita inginkan, tetapi saat ini sudah tidak terlalu mendapat perhatian. Buktinya sederhana; banyak debunya dan posisinya tersembunyi. Itulah kita, dulunya ingin, akhirnya dapat, muncul keinginan baru, keinginan lama yang sudah terwujud dibiarkan begitu saja. Disini loh pentingnya syukur itu. Syukuri apa yang telah kita miliki. Dengan begitu kita menghargai jerih payah kita sendiri.

Kita cenderung menghargai apa-apa saja yang selama ini sudah kita upayakan dan dapatkan. Keinginan kita itu tidak ada habis-habisnya bila dituruti terus, dan rasa syukur itulah pengimbangnya. 

Pada saat kita bersyukur, pada saat itulah kita memfokuskan perhatian kita ke dalam diri kita sendiri, bukan ke luar diri kita. Bukan kepada "pencarian" dan "pengejaran" terhadap keinginan-keinginan kita. Perhatian yang terfokus ke dalam diri itulah yang akan mempertemukan kita dengan ruang kebahagiaan. Jadi jelas bahwa kebahagiaan itu letaknya di dalam diri, bukan di luar diri. Bukan di teras rumah Paijo, tapi di dalam kamarnya sendiri.

Pilihan selalu ada di tangan kita masing-masing. Dengan mencari kebahagiaan berarti kita telah sepakat bahwa kebahagiaan tidak sedang kita miliki. Namun, bila kita yakin bahwa kebahagiaan telah lama bersemayam di hati kita masing-masing, kata "mencari" menjadi sebuah kata yang tidak masuk akal. Mengutip sebuah kalimat dari Paul H. Dunn tentang kebahagiaan, "Happiness is a journey, not a destination; happiness is to be found along the way, not at the end of the road, for then the journey is over and it's too late. The time for happiness is today, not tomorrow." 

Melalui kalimat itu, Paul H. Dunn ingin mengingatkan kita bahwa kebahagiaan bukanlah suatu tujuan, bukanlah suatu hal yang kita cari di luar diri kita, tapi merupakan perjalanan itu sendiri. Kebahagiaan adalah cara kita mencapai tujuan-tujuan itu, tapi bukan tujuan itu sendiri. Dan satu-satunya waktu untuk mengakses kebahagiaan itu adalah saat ini. Masa lalu sudah berlalu, masa depan belum datang dan belum tentu sesuai dengan yang kita pikirkan. Berapa banyak dari kita yang sering mengatakan bahwa "saya baru akan bahagia setelah ..."? Kalau kita bisa mengaksesnya sekarang, kenapa harus nanti? Banyak orang ingin hasil yang cepat, namun mereka tidak sadar telah memberikan batasan bagi kebahagiaan mereka sendiri. Nikmati setiap proses, syukuri apa yang ada, kebahagiaan sedang menunggu kita di dalam hati kita masing-masing. Masih mau mencari?? (*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun