Mohon tunggu...
Adi Prayuda
Adi Prayuda Mohon Tunggu... Dosen - Seorang dosen, penulis, dan murid meditasi

Seorang Dosen di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Islam Al-Azhar, yang juga merupakan pemandu meditasi. Penulis berbagai buku self development dengan pendekatan meditasi (Jeda).

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Drama Hidup yang Terus Berulang karena "Belum Dilampaui"

31 Oktober 2022   11:36 Diperbarui: 31 Oktober 2022   11:56 440
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lukisan Rama dan Shinta karya Heno Airlangga, 100cm x 143cm, Acrylic on canvas, 2018 

Saya kutip penggalan cerita dalam epos Ramayana untuk memulai tulisan ini. Bagi yang akrab dengan dunia pewayangan, tentu tidak asing lagi dengan nama-nama tokoh dalam cerita ini.

***

Konon, Rama dan Shinta akan menyelenggarakan acara pernikahan mereka minggu depan. Ayah Rama, Raja Dasarata, memanggil Laksmana, adik tiri Rama, dan memintanya untuk mengundang seorang guru untuk hadir dalam acara pernikahan anaknya itu. Guru tersebut adalah guru yang mengajarkan Rama banyak hal, termasuk memanah. Raja Dasarata memberikan sebuah cincin kepada Laksmana sebagai tanda dari adanya titah seorang Raja.

Laksmana pun pergi ke puncak bukit, tempat sang guru ini tinggal. Selang beberapa jam, sebuah gubuk sederhana terlihat tidak jauh di hadapan Laksmana. Gubuk ini cocok dengan ciri-ciri yang digambarkan oleh ayahnya, Raja Dasarata, sebagai tempat sang guru bermukim. Dan ia pun memelankan lari kudanya.

Di teras gubuk itu, tampak seorang tua sedang duduk bermeditasi. Mendengar langkah kaki kuda, Sang Guru pun perlahan membuka matanya.

"Aku Laksmana. Aku diperintahkan Ayahku, Raja Dasarata, untuk mengundang Anda ke acara pernikahan Kakanda Rama yang akan belangsung minggu depan di istana."

Sang Guru hanya terdiam dan tersenyum kepada Laksmana yang masih duduk di kudanya.

"Aku membawa cincin pemberian ini sebagai bukti adanya titah dari Raja," lanjut Laksmana.

"Di atas pintu ada ember hitam kecil, silakan Kau letakkan saja cincinnya di sana," kata Sang Guru dengan lembut.

Tanpa turun dari kuda, Laksmana menuju ember yang tidak jauh dari posisinya, dan memasukkan cincin pemberian ayahnya itu ke dalamnya.

Ketika cincin itu lepas dari tangan Laksmana, terdengar seperti suara logam beradu. Karena penasaran, Laksmana melihat isi dari ember hitam kecil itu. Sungguh terkejutnya ia karena di dalam ember itu terdapat banyak sekali cincin. Dan yang lebih mengejutkan lagi, semua cincin itu identik! Bahkan Laksmana tidak tau mana cincin yang baru saja dia masukkan.

"Sssiiiapa yang memberi cincin-cincin ini?" tanya Laksmana dengan gugup karena takut dan bingung.

Sang Guru dengan tenang menjawab, "Engkau yang meletakkannya, Laksmana."

"Tidak mungkin! Aku baru pertama kali ke sini dan bertemu Anda. Tidak mungkin Aku yang meletakkannya. Baru pertama kali pula Ayahku memberikan cincin bermata merah itu padaku," seru Laksmana tidak percaya.

Sang Guru terdiam sejenak, kemudian menjawab, "Sudah banyak kehidupan yang Kau lalui, dan sudah berulang kali Engkau melakukan hal yang sama. Meletakkan cincin itu di tempat yang sama. Kehidupan selalu menyajikan hal yang sama, sampai Engkau benar-benar telah memahami pelajarannya."

"Jadi, Aku sudah pernah melalui kejadian ini sebelumnya?" tanya Laksmana. "Kau sudah berulang kali melaluinya, namun belum pernah sekalipun melampauinya."

"Ba..ba..bagaimana Aku bi..bisa melampauinya?" tanya Laksmana dengan kegugupan yang tidak bisa dia sembunyikan.

"Turun dari keangkuhanmu. Turun dari kudamu. Dan letakkan kepalamu di hatiku."

***

Cerita ini tentu bermuatan filsafat. Perlu perenungan untuk memahami hikmah di balik ceritanya. Sebatas pemahaman saya, merenungi kisah ini, kita semua diajak untuk menyadari keangkuhan (turun dari kuda) dan menerima kondisi apapun yang terhampar dalam hidup kita saat ini (tanpa resistensi/meletakkan kepala di hati). 

Segala penolakan atau resistensi kita terhadap apa yang berlangsung saat ini biasanya berasal dari "kepala" yang penuh dengan perhitungan dan pengkondisian. Bukan bermaksud menyalahkan. Bukan berarti juga tidak boleh menggunakan "logika kepala" dalam menjalani peran apapun dalam hidup. Namun, ini lebih kepada ajakan agar kita tidak mengalami "hal-hal yang itu-itu saja", "drama yang sama", karena bereaksi dengan cara yang sama, dengan emosi yang sama. 

Pernahkah pembaca merenung-renungi kejadian dalam hidup, kemudian bertanya, "Kok saya mengalami hal yang seperti ini terus?", "Kenapa kejadian seperti ini sering menimpa saya, apa salah saya?", "Kenapa saya selalu didatangi oleh orang dengan karakter seperti ini?", dan lain-lain? Ada kejadian-kejadian yang polanya seperti sebuah siklus, berulang dalam hidup. Tidak tahu juga kenapa bisa demikian. Yang bisa dilakukan akhirnya hanya mengeluh, menyalahkan kondisi, menyalahkan diri sendiri, bahkan menyalahkan Tuhan.

Kondisi/kejadian apapun yang masih kita tolak di dalam diri kita berpotensi berulang di waktu yang berbeda dengan mengambil wujud kondisi dan orang yang berbeda, namun polanya sama, sampai kondisi tersebut disadari dan diterima sebagai bagian dari pembelajaran bagi kedewasaan kita sebagai manusia. Selama siklus reaksinya "itu-itu saja", kondisinya akan berulang dengan pola yang "itu-itu juga". Ada pembelajaran yang masih perlu "dialami" karena belum "terlampaui" oleh penerimaan total.

Oleh karenanya, dalam ajaran meditasi, kita berlatih untuk menjadi hanya sebagai pengamat bagi segala pola pikir, perasaan, emosi kita dalam bereaksi terhadap situasi atau kondisi apapun. Memilih untuk menjadi sadar terlebih dahulu sebelum mengambil suatu langkah tertentu, sehingga dorongannya bukan hanya ditenagai oleh emosi, seperti kemarahan, kesedihan, dendam, iri, dan lain-lain, tapi juga ketenangan dan kebijaksanaan yang sangat minimal berbasis ego.

Tidak mudah, tentu saja. Namun, tentu juga tidak ringan untuk terus-menerus "mengalami hal-hal yang polanya berulang, sekalipun waktunya berbeda" dalam hidup ini, kemudian bereaksi dengan cara yang sama. Melalui kisah Laksmana (Lesmana) dalam epos Ramayana ini, kita diajak untuk eling, mengamati dinamika hidup kita, belajar hal-hal baru dengan keterbukaan, melepaskan hal-hal lama dengan keikhlasan, dan bijaksana dalam melangkah dan mengambil keputusan apapun. (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun