Mohon tunggu...
Adi Prasetyo
Adi Prasetyo Mohon Tunggu... -

An educator, tukang kompor, and education enthusiast.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bapak Saya Pasti Sedang Bersenang-senang di Sana

26 Maret 2017   18:52 Diperbarui: 27 Maret 2017   03:00 298
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Blog #10

Sabtu kemarin saya menyempatkan diri berziarah ke makam bapak saya. Agak lama saya duduk disamping pusara beliau. Pagi itu entah kenapa tiba tiba saja saya ingat beliau.

Tidak terasa sudah hampir 6 tahun beliau meninggal. Kejadiannya sungguh cepat. Beliau yang awalnya masuk RS karena kecapaian tiba tiba kondisinya drop dan harus masuk ICU.  Belum genap 24 jam di ICU, beliau menghembuskan nafas terakhir. Beliau meninggalkan saya, adik dan ibu saya beberapa saat sebelum adzan Maghrib di hari Jum’at pada awal bulan Oktober 6 tahun silam.

Sejauh yang saya ingat, Kemana ayah saya pergi, senyum tak pernah lepas dari bibirnya. Walaupun menjelang akhir hayatnya gigi beliau banyak lepas hingga ompong namun beliau tetap saja tersenyum. Dengan tangan yang menutupi bibirnya. hehehe.

Ada banyak hal yang membuat saya mengagumi beliau. Salah satunya adalah kebaikan hatinya. Mungkin karena dari kecil beliau hidup susah, maka hingga akhir hayat pun beliau tak pernah mau melihat orang lain susah. Bahkan seringkali di masa hidupnya beliau sendiri yang akhirnya kesusahan karena harus menolong orang lain.

Dan anehnya, beliau tetap positif thinking. Beliau meyakini bahwa menolong orang lain itu akan selalu menguntungkan. Pasti itu. Dan memang terbukti. Beliau selalu bilang sama saya kalau hidupnya pas-pasan. Pas butuh, pas ada. Pas pingin sesuatu, pas bisa dapet. Pas butuh pertolongan, pas ada yang nolongin. Hehehe. Ada aja rejekinya.

Satu lagi yang saya berusaha tiru dari beliau adalah kelurusan dan kejujurannya. Disaat banyak orang-orang menjadi kaya raya melalui jalan yang kurang baik, bapak saya tetap kukuh menjadi orang sederhana dan biasa saja. bahkan beliau pernah bercerita jika dulu pernah diimingi jabatan tertentu namun mengharuskan beliau untuk tembak sana sini. Beliau menolak. Namun anehnya, beberapa bulan kemudian beliau malah mendapatkan jabatan itu tanpa mengeluarkan uang sepeser pun.

Saya masih ingat di suatu malam, kala itu saya masih SMP. Kami sekeluarga duduk di teras dan beliau bertanya kepada saya:

“Kamu malu hidup seperti ini? Kamu malu kemana mana naik sepeda kayuh? Nggak seperti kawan kawanmu yang bersepeda motor itu. Malu juga kalo tiap pulang sekolah mbantuin ibukmu jagain penggilingan beras dan kopi ini?”

“Enggak pak. Saya biasa saja kok pak. Lha wong punyanya Cuma ini.” Jawab saya. Sebenarnya ada sedikit kebohongan di jawaban saya kala itu. Saya memang tak malu, hanya kadang merasa iri. Namanya juga remaja. Itu saja. Dan rupanya bapak saya tau.

“Sebenarnya kalau mau, bapak bisa saja membelikan kamu mobil nak, tapi kamu mau makan uang haram? Selain itu, daripada untuk beli macem macem lebih baik uangnya ditabung untuk sekolahmu besok. Bapak pingin kamu kuliah. Biar tidak seperti bapak yang pendidikannya Cuma sampe STM.”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun