Mohon tunggu...
Adipati Rahmat
Adipati Rahmat Mohon Tunggu... Pengajar Pascasarjana di Kajian Pengembangan Perkotaan, Universitas Indonesia -

Pengajar Pascasarjana di Universitas Indonesia, Pengamat Perkotaan, Peneliti Kelautan dan Perikanan, Penulis, dan Petualang. https://twitter.com/thatgarlicguy

Selanjutnya

Tutup

Nature

Tribute to Earth Day

22 April 2014   18:21 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:20 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kesadaran adalah tanpa batasan, kesabaran memberikan ruang, namun pengertianlah yang menjamin keberlangsungan. Dalam keberlangsungan, kita hidup dengan dan waktu yang terus berjalan, namun walaupun sebagai makhluk paling sempurnapun, kita tetap rentan kepada perubahan. Ironisnya, perubahan alam dan lingkungan justru diprakarsai oleh manusia sendiri.

Saat ini tingkat kepunahan spesies telah mencapai satu spesies per hari, bahkan menurut James Luhr dalam Earth (2004) terkadang satu spesies dapat punah setiap rentang dua puluh menit. Dengan kecepatan biodiversitas Bumi yang terus menurun, tingkat kepunahan saat ini adalah tingkat yang paling tinggi dalam 65 juta tahun terakhir, dengan manusia sebagai agen paling depan dalam membangun kepunahannya sendiri.

Konsensus atas dasar inspirasi dan penghargaan terhadap bumi sebagai sebuah kesadaran kolektif, memulai perayaan yang disebut hari bumi. Jatuhnya setiap tanggal 22 Bulan April. Lewat perayaannya kesadaran manusia terus menerus digugah, kemenangan Al Gore sebagai peraih Nobel perdamaian pada tahun 2007 membuktikan hal tersebut. Al Gore berupaya menggalang kekuatan untuk menanggulangi bahaya akibat terus meningkatnya suhu dipermukaan bumi, serta berharap secara luas mampu memberikan dampak bagi perubahan iklim.

Dalam An Unconvenient Truth: The Crisis of Global Warming, Al Gore berupaya memaparkan, bahwa pada dasarnya, bumi sedang berubah dan semua perubahan itu diakibatkan oleh ulah manusia. Bumi, jelas sedang berubah, dan tentunya sudah tidak sekokoh dulu. Populasi manusia yang meningkat, penurunan kualitas tanah, pencemaran berat, perubahan iklim, dan menurunnya keanekaragaman hayati adalah problem global yang berdampak masif.

Martin Rees dalam Our Final Century, pernah menyebutkan bahwa manusia hanya memiliki kesempatan fifty-fifty untuk dapat bertahan hingga memasuki abad baru dalam kehidupannya. Karena dengan kecepatan kita dalam mengkonsumsi sumberdaya, Tahun 2050 akan merupakan saat dimana tak akan ada lagi sumberdaya yang tersisa.

Sadarkah kita, bahwa kemampuan bumi dalam menyerap emisis karbon-dioksida lewat hutan-hutannya semakin berkurang dengan sangat cepat, atau jika persediaan air kita sudah terlalu tercemar untuk bisa dikatakan layak?. Ingat, salah satu liter minyak dapat mengkontaminasi sejumlah 800.000 liter air. Dan setiap tahun kita membuang 3.177 juta liter minyak ke dalam sungat, dan lautan.

Hipotesis gaia, memandang bahwa biosfer dan komponen fisik bumi lainnya (atmosfer, cryosphere, hidrosfer dan litosfer) saling terintegrasi dalam membentuk suatu sistem interaksi yang kompleks, dalam menjaga iklim dan kondisi biogeokimia dalam keadaan yang homeostasis. James Lovelock mengusulkan hipotesis ini dengan melihat bumi sebagai organisme tunggal.

Planet bumi merupakan suatu kesadaran kolektif yang jelas lebih tinggi daripada kesadaran manusia itu sendiri. Indonesia menyebutnya ibu pertiwi. Karena ibu adalah yang melahirkan dan menghidupi anak-anaknya. Sayangnya, ketulusan kasih ibu tersebut tidak sepenuhnya dipahami. Kita, seringkali tidak memahami cara kerja alam, itu yang sulit dan lantas menjadi penyebab timbulnya konflik. Sulit mengerti bagaimana, ajaran-ajaran di masyarakat yang begitu memuliakan alam dimulai. Dialektika dengan alam, seperti yang tersisa di Bali dalam bentuk penghormatan kepada lingkungan, melalui menutupi batang pohon dengan kain serta mendoakannya dan menaburkan bunga. Bumi sendiri tidak membuat batasan, namun manusialah yang membuatnya, walaupun batasan itu adalah dari sekian juta planet yang ada dan hanya satu yang dapat kita tinggali.

Bumi kita sekarang telah tua, umurnya lebih dari 4.65 milyar tahun, sudah tak sekuat seperti dua milyar tahun yang lalu. Namun, bumi tetap berjuang agar dirinya cukup dingin sehingga kita sebagai salah satu bentuk kehidupan yang bergantung kepadanya tetap bisa hidup nyaman. Bumi berupaya mengelola pengaruh panas Matahari yang semakin meningkat dengan sedemikian rupa, namun justru manusia, mendegradasi masa hidup bumi hanya untuk kepentingan dirinya sendiri.

Dikatakan bahwa, Mars dan Venus adalah sauadara-saudara Bumi yang telah lebih dulu mati. Pada saatnya pun Bumi akan berakhir hidupnya. Jika disaat mudanya ia masih kokoh, maka sekarang, kita yang telah menggunakan 140% dari kapasitas Bumi setiap tahunnya, justru cenderung mendorong kehidupan ini kepada akhir ceritanya sendiri.

Pada hari ini, 22 April Tahun 2014, kita perlu berterima kasih kepada ibu yang telah menyediakan rumah bagi kita. Muliakanlah sungguh-sungguh dan kasihilah dengan benar. Karena, kita hanya punya Satu Bumi, tak ada yang lain.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun