Berbicara terkait data, baik itu data spasial (keruangan) maupun data non-spasial, maka tidak terlepas dari siapa pembuat data tersebut, baik secara perseorangan maupun institusi. Hal ini sebagai upaya pertanggungjawaban si pembuat data terkait kemaslahatan umat dan peningkatan kesejahteraan suatu bangsa. Disini, topik pembahasan saya adalah mengenai keterbukaan data spasial untuk publik, dengan fokus tingkat kematangan suatu organisasi dalam willingness (kesediaan) untuk melakukan sharing data spasial.
Baru-baru ini saya membaca 2 artikel yang menggelitik terkait data spasial pada artikel beritasatu, terdapat informasi mengenai Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) yang akan membangun Bank Data Penginderaan Jauh Nasional (beritasatu, 10/09/2014).
sumber:
http://www.beritasatu.com/sains/208905-lapan-akan-bangun-bank-data-penginderaan-jauh-nasional.html
Dan berita mengenai masukan kepada pemerintahan baru Indonesia untuk memberdayakan informasi Geospasial dalam pengambilan kebijakan (beritasatu, 11/09/2014).
sumber:
http://www.beritasatu.com/sains/209196-jokowijk-diharapkan-lebih-berdayakan-geospasial.html
Keduanya berupaya menerapkan keterbukaan informasi publik, seperti yang tercantum dalam UU no. 14 tahun 2008. Namun ada yang perlu diperhatikan secara seksama, bahwa saat ini, para legislator yang berkecimpung dalam bidang geospasial sedang menerapkan program one map one policy yang memiliki arti satu peta, satu kebijakan. Makna dari program tersebut adalah standarisasi data geospasial sehingga kedepan bisa terwujud koherensi atau harmonisasi analisis keruangan dari level tertinggi (nasional) sampai dengan level lokal (unit desa)berjalan selaras, tidak ada perbedaan baik itu dalam sistem koordinat kebumian maupun sistem proyeksi spasial yang digunakan. Untuk itu, kunci daripada kesuksesan pelaksanaan program one map one policy, dimana didalamnya terkandung penerapan Infrastruktur Data Spasial Nasional (IDSN) juga portal bank data spasial, berupa terlaksananya kolaborasi antar institusi/organisasi pembuat data spasial.
Kesediaan organisasi untuk menerapkan penyelenggaraan sharing data ini diperkenalkan pada suatu teori level kematangan organisasi untuk menerima perubahan strukur dan sistem. Teori ini diperkenalkan oleh Kok and Loenen (2005) dalam artikel yang berjudul How to assess the success of National Spatial Data Infrastructure ? . Kok dan Loenen membuat klasifikasi tingkat kematangan organisasi untuk melakukan sharing data dan pertukaran data menjadi 4 kategori, yaitu tingkatan pertama dikenal dengan istilah stand alone (berdiri sendiri); tingkatan kedua diistilahkan sebagai exchange standarisation (adanya standarisasi dalam sharing dan pertukaran data); tingkatan ketiga diistilahkan sebagai intermediary (perantara) dan tingkatan keempat dikenal dengan network (jaringan).
·Tingkatan 1 (stand alone): Pada level ini, perilaku organisasi masih bersifat konservatif (atau masih mempertahankan kebudayaan tradisi organisasinya), self-seeking (orientasi kerja masih mementingkan organisasi-nya) dan less-willingness to transform into a different system ( masih kurang bersedia untuk merubah tradisi perilaku organisasi lama ke perilaku baru, terkhusus pada konsep sharing dan pertukaran data).
·Tingkatan 2 (Exchange stadarization on a technical level ): Pada tingkatan ini, suatu organisasi berinisiasi untuk melakukan kolaborasi sepanjang memiliki common interest (kepentingan yang sama) namun sifatnya masih teraplikasi dalam jangka pendek.
·Tingkatan 3 (Intermediary): Pada tingkatan ini, beberapa organisasi mulai peduli untuk melakukan kolaborasi dalam sharing dan pertukaran data, walaupun masih terbatas dalam kelompok kecil.
·Tingkatan 4 (Network): Merupakan level tertinggi, dimana organisasi-organisasi yang memiliki kewenangan untuk penyelenggara data demi kepentingan publik akan langsung memberikan respon positif dan mendukung sepenuhnya dilakukan sharing dan pertukaran data.
Dari ulasan teori tingkat kematangan suatu organisasi dalam willingness (kesediaan) untuk melakukan sharing data, pertanyaan berikutnya mungkin akan terlintas, bagaimana suatu organisasi akan naik tingkat mencapai kedewasaan dalam hal berbagi data dari level pertama menuju level tertinggi? Hal itu bisa dikaji dari mempelajari institutionalism theory (Teori institusi/organisasi) yang mana tidak mungkin penulis ulas dalam rubrik yang singkat ini.
Sejauh kajian penulis terkait organisasi yang tergabung dalam pengelolaan IDSN di Indonesia hingga hari ini, masih perlu adanya suatu wadah serupa dengan Federal Geographical Data Committee (FGDC) yang menjadi provider, regulator dan controller penyelenggaraan data geospasial. Bagaimana memulainya ? untuk menjawabnya, diakhir artikel ini, penulis memberikan masukan singkat yang mungkin dapat dipertimbangkan:
1.Adanya regulasi yang mengatur tentang pelibatan instansi pemerintah, lembaga atau organisasi swasta dan personal seseorang dalam penyelenggaraan data geospasial.
2.Adanya pengaturan penggunaan metode tata cara penyelenggaraan data geospasial.
3.Adanya pengaturan tentang mekanisme peran serta organisasi atau perseorangan dalam lingkup Jaringan Informasi Geospasial Nasional (JIGN).
*) Penulis adalah Dosen pada Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota, Universitas Brawijaya. Saat ini sedang Studi program PhD pada Dept. Town and Regional Planning, The University of Sheffield, The UK dengan fokus penelitian adalah National Spatial Data Infrastructure Adoption for Spatial Planning in Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H