Mohon tunggu...
Adi Nugroho
Adi Nugroho Mohon Tunggu... Lainnya - Belajarlah kepada Nabi Nuh dan Nabi Yusuf dalam mempersiapkan masa depan...

Educator Specialist in Private Financial

Selanjutnya

Tutup

Financial

Asuransi Hanya Menakut-nakuti? Belajar dengan Sejarah...

29 Mei 2021   05:27 Diperbarui: 29 Mei 2021   05:43 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kira-kira tahun 90 an di sebuah toko buku mata saya terpaku pada sebuah buku kecil dengan judul tentang pelabuhan Cilacap. Buku ini adalah buku tentang catatan desertasi salah seorang doktor sejarah di Univeritas Indonesia. Kami penasaran sebenarnya, apa sih alasan VOC saat itu membangun pelabuhan ini?

Kisahnya panjang sebenarnya jika dijelaskan. Saat itu pelabuhan yg sering dipakai adalah Tanjung Priok sudah pasti, Tegal salah satunya, dan jalan Daendels serta jalur kereta api belum ada. Namun daerah Banyumas, Banjarnegara, Kebumen, sangat kuat hasil buminya terutama kopra yang tak dimiliki oleh daerah lain.

Karena pemerintah berusaha untuk mendapat hasil bumi yang memang kaya, maka saat itu dipikirkan untuk membangun pelabuhan Cilacap. Bahkan saat itu untuk memperlancar jalur distribusi salah satu sungai yang terkoneksi dengan Sungai Serayu dibuat agar hasil bumi di wilayah itu. Jadi sungai ini adalah buatan, bukan asli. Maaf saya lupa apa nama sungai tersebut, seingat saya sudah dekat dengan pelabuhan Cilacap.

Ada kesalahan yang dilakukan VOC saat itu yaitu dengan membuat dua hal, yakni jalan Daendels dan kereta jalur Selatan sampai Banjar sebelah barat Cilacap. Akibat kedua kebijakan ini, maka hasil bumi dekat Banjar lebih murah dibawa ke Priok daripada dibawa ke Cilacap. Buat teman-teman yang bekerja di supply chain akan paham mengapa karena semua tergantung kemudahan jalur distribusi. Jalur jauh secara km bisa jadi mahal bisa murah biayanya. Sementara melalui pelabuhan Cilacap, leadtime ke Eropa ternyata 1 bulan lebih lama. Kemenangan pelabuhan Cilacap saat itu adalah masih ada komoditi kopra yang saat itu tidak ada di Tegal maupun Priok.

Pelabuhan Cilacap sempat mengalami pandemi malaria sampai sangat krisis waktu itu. Korban yg berjatuhan sagat banyak sampai puluhan ribu namun tidak separah seperti saat Krakatau meledak. Menurut catatan saat itu sempat terjadi gejolak tapi masih bisa diatasi. Data sejarah saat itu, sebenarnya mengagumkan, karena sudah ada jadwal kapal yang sangat terstruktur, misal kapal apa, jam berapa akan sandar, kapan akan berangkat, membawa apa, berapa banyak, dan lain-lain. Sangat menarik karena sudah mirip dengan pelabuhan saat ini.

Catatan komoditi dan jumlahnya pun tak kalah menarik. Saya bahkan sempat menghitung saat itu, saya juga search jumlah penduduk saat itu. Menakjubkan kita memang kaya, sehingga jumlah komoditi saat itu bahkan jika sekarang nilainya dibagi ke masyarakat saat ini, tak satupun kita ada yg miskin. Luar biasa.

Hal yg menguntungkan adalah saat terjadi perang dunia kedua. Kekalahan Belanda saat itu, Cilacap menjadi pelabuhan inti seluruh rakyat Belanda di Indonesia menjadi "pintu darurat" untuk melarikan diri. Di daerah Cilacap bahkan menurut kisah bapak, salah seorang 'bule' tukang becak di wilayah kami adalah anak salah satu Belanda yang tertinggal ketika terjadi chaos Belanda meninggalkan lewat Cilacap saat itu karena kondisi saat itu pasukan Jepang sudah masuk ke wilayah dan ada angkatan laut Inggris di laut selatan. Semua kacau karena sedang dalam peperangan. Jepang menghadang di darat, Inggris di laut. Menurut alm bapak, saat itu sangat chaos ketika terjadi musibah. Jadilah kisah mengenaskan dimulai.

Logika ini sama dengan penggunaan asuransi yg merupakan jalan tikus ketika seseorang nasabah entah mengalami penyakit kritis atau meninggal, kecelakaan, dirawat dan sebagainya. Penggunaan asuransi sebagai proteksi pendapatan, proteksi aset, perlu dipertimbangkan dengan baik. Jadi bukan menakut-nakuti jika begini jika begitu. Sama sekali bukan. Sejarah di atas membuktikan bahwa kita perlu mempersiapkan diri dengan baik. Di artikel sebelumnya sudah dibahas tentang Emergency Plan dalam sebuah perusahaan yang kami pernah terlibat di dalamnya.

Bagaimana dengan pendapat anda? Silakan diskusikan dengan orang yg terpercaya menurut anda.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun