Muhammad Julijanto, seorang dosen Fakultas Syariah UIN Raden Mas Said Surakarta menulis sebuah artikel mengenai pernikahan dini. Artikel tersebut bertajuk Dampak Pernikahan Dini dan Problematika Hukumnya yang diterbitkan pada tahun 2015 di Jurnal Pendidikan dan Ilmu Sosial jilid 25 terbitan 1 yang dimuat pada halaman 62 sampai 72. Secara garis besar, tulisan ini membahas tentang akibat yang ditimbulkan dari pernikahan dini khususnya dalam perspektif hukum di Indonesia.
Pembahasan
Pernikahan dini merupakan pernikahan dibawah usia yang direkomendasikan oleh peraturan perundang-undangan. Dalam artikel, disoroti beberapa pandangan mengenai pernikahan dini, mulai dari perspektif agama, hak asasi manusia, dan undang-undang nasional.
Contohnya dalam perspektif agama, dimana pada dasarnya agama tidak melarang secara tegas perkawinan di bawah umur, namun juga tidak pernah menganjurkannya, terlebih jika dilaksanakan tanpa mempedulikan aspek mental, fisik, dan hak-hak anak.
Berbeda dengan perspektif undang-undang yang ada di Indonesia. Dengan mempertimbangkan berbagai akibat yang ditimbulkan, seperti kerawanan dalam masalah ekonomi, rentan perceraian, rentan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), putus sekolah, serta masalah kesehatan, maka kemudian undang-undang menetapkan batas usia minimal menikah untuk meminimalisir terjadinya pernikahan dini.
Analisis
Untuk menekan angka pernikahan dini di Indonesia, pemerintah telah berupaya dengan merevisi UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, khususnya mengenai batas usia minimal seseorang untuk bisa menikah adalah 19 tahun, baik bagi laki-laki maupun perempuan. Revisi batas usia tersebut tertuang dalam Pasal 7 UU Nomor 16 Tahun 2019.
Meskipun tujuan dari perubahan aturan ini adalah untuk menekan angka pernikahan dini, nyatanya angka pengajuan dispensasi nikah di Indonesia juga ikut meningkat. Pada tahun 2022, 52 ribu perkara dispensasi nikah masuk ke peradilan agama. Dimana 34 ribu diantaranya didorong oleh faktor cinta sehingga orang tuanya yang mengajukan ke pengadilan agar anak-anak mereka dinikahkan.Â
Dari tujuan awalnya sebagai solusi hukum, namun kemudian dispensasi nikah malah dijadikan sebagai alasan untuk melegalkan suatu perkawinan.
Dari permasalahan tersebut, dapat disimpulkan bahwa meskipun pemerintah telah berupaya untuk menekan angka pernikahan dini dengan merevisi batas usia minimal, ternyata masih ada celah hukum untuk mengakalinya.
Selain melalui undang-undang, alangkah lebih baik bila pemerintah juga fokus pada pendidikan dan pengembangan karakter para remaja agar mereka memiliki kesadaran bahwa pernikahan bukan hanya sekadar ikatan biasa melainkan ada fungsi dan tujuan didalamnya yang harus dicapai agar rumah tangga menjadi bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Penulis :
Adinta Shafa Salsabila 212111083
FAKULTAS SYARIAH
UIN RADEN MAS SAID SURAKARTA
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H