Mohon tunggu...
Julianto
Julianto Mohon Tunggu...

Lulusan STAN yang bermimpi dan berharap Indonesia Maju dan Sejahtera seperti Afrika Selatan yang berhasil menyelenggarakan Piala Dunia 2010 walaupun di tahun 90-an masih bergelut dengan politik Apartheid-nya

Selanjutnya

Tutup

Money

China 'Invasion' in UK Universities

5 November 2015   06:30 Diperbarui: 5 November 2015   16:26 285
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“Rakyat Tiongkok adalah masyarakat yang paling rajin dan ulet di dunia” (Kishore Mahbubani. 2008 dikutip oleh Kompas.com).

Dengan jumlah penduduk lebih dari 1.3 Milyar dan angka pertumbuhan ekonomi yang terus meningkat dalam beberapa dekade terakhir, China konsisten untuk melahirkan kelas menengah baru. Data dari uk.businessinsider.com menyebutkan bahwa kelas menengah ke atas di daerah perkotaan China sudah mendekati angka 100 jutaan kepala keluarga. Seandainya tiap kepala keluarga memiliki 1 orang anak dan 15% darinya adalah anak di usia 18-24 tahun maka kurang lebih dibutuhkan 15 juta kursi di universitas untuk memenuhi kebutuhan pendidikan mereka.

Angka 15 juta anak usia pendidikan tinggi tersebut mungkinkah terserap semuanya oleh universitas-universitas di China? Kenyataannya berkata tidak, karena demand jauh lebih besar dari supply-nya. Data dari website dikti.go.id menyebutkan bahwa hanya ada sekitar 600an universitas baik di China daratan maupun di Hongkong dan Macau. Katakanlah, setiap universitas tersebut dapat menampung 10 ribu mahasiswa, maka hanya 6 juta yang terserap dan menyisakan 9 juta lainnya untuk berburu universitas-universitas lainnya di luar China terutama di negara-negara maju di Eropa seperti Inggris, Belanda, dan Perancis, maupun di benua Amerika seperti di Amerika Serikat dan Kanada.

Mahasiswa China di Inggris Raya

Sebagai negara terpopuler kedua tujuan para pelajar internasional setelah Amerika Serikat, Inggris Raya menikmati limpahan begitu banyak pelajar dari China baik untuk yang undergraduate maupun graduate students. China adalah supplier pelajar terbesar di Inggris Raya yang diikuti India di posisi kedua dan Nigeria yang menempati urutan ketiga. Mulai dari kampus-kampus paling bergengsi di sekitaran London seperti University of Oxford, maupun kampus tertua di Skotlandia, University of Edinburgh sampai dengan kampus-kampus menengah seperti University of Birmingham pun tak luput dari “Chinese Invasion”. Bahkan saking banyaknya mahasiswa China di Birmingham, teman-teman Indonesia yang belajar di sana memplesetkan singkatan BBS yang seharusnya “Birmingham Business School” menjadi “Beijing Business School”.

Daftar 10 besar negara-negara non Uni Eropa pengirim mahasiswa ke Inggris Raya

Country

2013-14

2012-13

China (PRC)

87,895

83,790

India

19,750

22,385

Nigeria

18,020

17,395

Malaysia

16,635

15,015

United States of America

16,485

16,235

Hong Kong (Special Administrative Region)

14,725

13,065

Saudi Arabia

9,060

9,440

Singapore

6,790

6,020

Pakistan

6,665

7,185

Canada

6,350

6,190

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Sumber: www.ukcisa.org.uk dikutip dari HESA First Statistical Release (2013-14)

Laporan Pandangan Mata dari Glasgow

Sudah hampir 2 bulan penulis tinggal di Glasgow, kota terbesar di Skotlandia, mengambil kuliah pada program Master of International Accounting and Financial Management di University of Glasgow. Jauh-jauh hari sebelum sampai ke Glasgow, ketika masih di Indonesia dan memutuskan untuk mengambil offer dari pihak universitas, penulis mempunyai imaginasi akan tinggal di salah satu kota di Scotlandia yang terkenal dengan eksotisme kotanya dan keramahan penduduknya dan akan bertemu dengan bule-bule yang juga mengambil program yang sama dan berharap akan bertemu dengan aksen British yang kental ala James Bond.

[caption caption="Gerbang utama University of Glasgow"][/caption] 

Ternyata kenyataannya jauh dari apa yang penulis impikan sebelumnya. Betul, Glasgow adalah kota yang eksotik dan penduduknya ramah-ramah, tetapi mereka ternyata mempunyai aksen sendiri, Glaswegian, yang sama sekali berbeda dengan akses Scottish atau British dan sangat sulit dicerna oleh kuping penulis yang made-in Tegal di awal-awal kedatangan penulis di sini. Tetapi perbedaan itu terobati oleh excitement penulis terutama ketika baru pertama kalinya menginjakkan kaki di kampus dan melihat bangunan kampus yang begitu klasik dan merupakan gedung asli dari beberapa abad silam.

[caption caption="Salah satu sisi gedung utama University of Glasgow"]

[/caption]

Yang membuat penulis agak frustasi sebenarnya ketika pertama kali memasuki kelas. International Accounting termasuk kelas favorit untuk international student sehingga kelasnya besar dengan mahasiswa lebih dari 150 orang. Tetapi, ternyata dari jumlah tersebut hampir 90 persennya adalah mahasiswa dari China daratan. Jauh-jauh terbang ribuan kilometer ternyata seperti menghadiri kelas di University of Beijing. Hanya ada 1 European student itu pun berasal dari Yunani yang sedang dilanda krisis ekonomi dan bukan English Speaking Country. Sisa 10 persennya adalah mahasiswa dari bekas negara-negara Uni Soviet seperti dari Kazakhstan dan Turkmenistan yang lumayan fasih speaking English-nya dan bisa menjadi partner ngobrol ketika break time, karena hampir semua mahasiswa China lebih suka berbicara dengan dengan sesama mereka dan dengan bahasa mereka. Bahkan beberapa kali ada dari mereka yang bertanya atau menyapa penulis dalam bahasa China seolah-olah penulis adalah mahasiswa China juga. What a depressing situation? Tetapi Alhamdulillah, ada satu teman dari Indonesia di kelas yang sama dan peraih IPK tertinggi di jurusan Akuntansi Universitas Indonesia pada angkatannya yang bisa menjadi tempat bertanya dan menjadi teman kelompok dalam mengerjakan tugas-tugas paper dari dosen.

[caption caption="Kelas International Accounting di University of Glasgow"]

[/caption]

Dengan adanya rencana pencabutan kebijakan 1 keluarga 1 anak di China, wajar saja bila penulis mempunyai keyakinan bahwa masa depan dunia adalah China. Buat pembaca yang tertarik untuk belajar bahasa asing, sebagaimana disarankan oleh Rudi Valinka (@kurawa), seorang forensic auditor dan salah satu selebriti twitter yang prediksi-prediksinya mengenai banyak hal jarang meleset, tidak ada salahnya untuk mempelajari bahasa Mandarin yang bisa jadi dalam beberapa tahun ke depan akan menggantikan peran bahasa Inggris sebagai bahasa pergaulan dunia.

[caption caption="Ayu (berjilbab) teman sekelas dari Indonesia diantara para mahasiswa dari China"]

[/caption]

 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun