Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia, dengan luas 1.905.569 kilometer persegi dan lebih dari 13.000 pulau. Indonesia juga merupakan negara terbesar ke-14 dalam hal luas daratan dan terbesar ke-7 dalam hal gabungan laut dan daratan.
Berada di antara Samudera Hindia dan Samudera Pasifik serta diapit Benua Asia dan Benua Australia, Indonesia dikenal sebagai negara yang sangat strategis. Negara berpenduduk mayoritas Muslim terpadat ini juga memiliki panorama alam indah yang menjadi magnet bagi wisatawan manapun.
Namun sadarkah kamu bahwa ekowisata Indonesia kurang berkembang karena masalah ego sektoral?
Sebelum memulai, ekowisata adalah sebuah wisata berbasis ekologi. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, ekologi adalah sebuah ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik antara makhluk hidup dan (kondisi) alam sekitarnya (lingkungannya).
Menurut Panduan Ekowisata yang UNESCO keluarkan, ekowisata memiliki arti jenis wisata yang bertanggung jawab pada tempat alami, memberikan kontribusi terhadap kelestarian alam, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat. Kementerian Pariwisata juga memberikan pengertian yang tidak jauh berbeda, yakni pariwisata yang mendukung pelestarian alam dan budaya serta meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sehingga dapat bermanfaat bagi perekonomian masyarakat setempat.
Besarnya potensi alam Indonesia sebagai lahan ekowisata juga diakui belum optimal karena, menurut Endang Karlina selaku peneliti ekowisata dari Puslitbang Konservasi dan Rehabilitasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), masih bentrok dengan peraturan.
Dengan keragaman flora dan fauna yang ada di hutan, termasuk taman nasional, keduanya sudah dianggap sebagai wilayah yang punya potensi ekowisata, dan seharusnya bisa memberikan keuntungan bagi dunia pariwisata Indonesia sebagaimana dilansir dari CNNIndonesia.
Indonesia memiliki banyak aset destinasi wisata alam, seperti kehidupan komodo di Taman Nasional Komodo, kehidupan badak Jawa di Taman Nasional Ujung Kulon, dan kehidupan padang savanna di Taman Nasional Alas Purwo. Meski begitu, hanya beberapa taman nasional Indonesia yang mendapatkan perhatian cukup, selebihnya belum mendapatkan perhatian yang optimal.
Profesor Bismark dari Puslitbang Konservasi dan Rehabilitasi Kementerian LHK mengungkapkan, ada 20-an taman nasional Indonesia yang telah dijadikan model dari 50-an taman nasional yang ada di negara terpadat keempat di dunia ini.
Di lain sisi, masih banyak taman nasional yang belum sepopuler ketiga taman nasional tadi, seperti Taman Nasional Danau Sentarum di Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Taman nasional di jantung Pulau Borneo yang berbatasan langsung dengan Sarawak, Malaysia ini memiliki satu-satunya danau dengan karakteristik pasang-surut di Indonesia, bahkan di Asia Tenggara.
Pada musim kemarau, Danau Sentarum akan bertransformasi menjadi padang luas, sedangkan akan menjadi danau dengan kedalaman 6 hingga 12 meter pada musim penghujan.
Awalnya Danau Sentarum bersatus cagar alam pada 1982, dikukuhkan sebagai suaka margasatwa pada 1983, dan akhirnya ditetapkan menjadi taman nasional pada 1999.
Taman nasional seluas 1.320 kilometer persegi ini berjarak 700 kilometer dengan kota terdekatnya, Pontianak. Jarak ini terbilang setara dengan Jakarta-Surabaya. Untuk sampai ke Dana Sentarum, bisa melalui akses udara kemudian dilanjutkan dengan perjalanan sungai atau darat dengan waktu tempuh selama 7 sampai 23 jam.
Tapi situasi yang berbeda akan dijumpai jika ke Danau Sentarum dari arah Sarawak.
"Kalau boleh jujur," kata Angga Prathama, seorang perwakilan WWF yang pernah bersambang ke Danau Sentarum, "sedih rasanya melihat akses dari Sarawak ke Danau Sentarum seperti jalan tol."
Akan tetapi untuk mengembangkan tata kelola taman nasional sehingga menjadi sumber ekowisata yang baik, ada beberapa catatan, yakni tidak merusak lingkungan, apapun upaya pengembangan yang dilakukan.
"Bila suatu daerah atau taman nasional memiliki nilai ekonomi yang cukup tinggi, tinggal tata kelola saja yang perlu diperhatikan," kata Endang. "Itu tugas pemerintah daerah, bukan pengelola taman nasional. Usaha pengembangan ekowisata harus ada koordinasi dari pemerintah pusat hingga daerah."
Menurutnya, permasalahan ekowisata di Indonesia lebih disebabkan oleh masalah pengembangan potensi yang dimiliki. Sedikitnya, dalam pengembangan ekowisata, ada empat aspek yang harus diperhatikan, yakni sebagai berikut.
Peraturan jelas tentang penggunaan taman nasional atau wilayah konservasi sebagai kawasan pariwisata
Sampai saat ini, ada  Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 2010 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di Suaka Margasatwa, Taman Nasional, Taman Hutan Raya, dan Taman Wisata Alam, yang ditandatangani oleh Mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Peraturan ini mencantumkan peraturan, kewajiban, hak, dan ketentuan developer wisata alam di wilayah konservasi.
Kesadaran masyarakat akan pemanfaatan sumber daya alam
Masyarakat yang tinggal di sekitar sejumlah taman nasional di Indonesia telah mulai memanfaatkan kekayaan taman nasional untuk menambah pemasukan, seperti yang terjadi di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, Sumatera. Di sana, masyarakat setempat memanfaatkan waktu migrasi gajah sebagai lahan jasa wisata.
Dukungan dari lembaga terkait
Lembaga ini bisa dari gubernur, walikota/gubernur, pemerintah pusat melalui kementerian yang mengeluarkan peraturan, atau lembaga swasta sebagai investor hingga pembantu konservasi.
Motivasi masyarakat setempat atau nasional
Bila masyarakat setempat atau nasional sendiri tidak berkeinginan memajukan atau mengembangkan potensi yang dimiliki destinasi ekowisata Indonesia, memelihara, dan menjaganya, maka usaha pemerintah pun akan sia-sia saja meski sudah sangat digembor-gemborkan.
Endang juga mengungkapkan target ekowisata adalah eco-sustainable atau ramah lingkungan antara ekonomi, sosial-budaya, dan alam. Bila sudah memahami apa maksud dari ramah lingkungan ini, maka potensi alam Indonesia sebagai lahan ekowisata akan optimal.
"Tapi bukan maksimal. Karena setelah maksimal, maka akan mati. Tapi bila optimal, maka akan lestari," ia meneruskan.
Mari berharap ekowisata Indonesia dapat dikembangkan tanpa merusak kondisi alam di sekitarnya dan akses menuju sebuah destinasi ekowisata seperti Taman Nasional Danau Sentarum bisa mudah ke depannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H