Pengertian Behavioral conditioning
Behaviorisme adalah suatu pendekatan dalam psikologi yang menekankan pentingnya perilaku yang dapat diamati dan diukur, serta hubungannya dengan rangsangan dari lingkungan eksternal. Pendekatan ini berfokus pada pengamatan perilaku dan analisisnya, dan tidak mempertimbangkan proses mental dan keadaan internal subjek.
Menurut pandangan behavioris, semua perilaku dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan pembelajaran dari pengalaman sebelumnya. Proses pembelajaran terutama melibatkan menghubungkan rangsangan dari lingkungan dengan respons yang muncul. Dorongan atau pembatasan perilaku berasal dari konsekuensi yang mengikuti perilaku tersebut.
Dalam behaviorisme, terdapat dua konsep penting, yaitu kondisi klasik dan kondisi operan. Kondisi klasik melibatkan pembentukan asosiasi antara stimulus yang sebelumnya tidak berhubungan dengan respons tertentu. Sebagai contoh, dalam terapi perilaku, seseorang mungkin dilatih untuk menghubungkan rangsangan yang menimbulkan kecemasan dengan respons yang menenangkan.
Sementara itu, kondisi operan melibatkan pembentukan asosiasi antara perilaku dan konsekuensinya (penguatan atau hukuman). Proses ini mempengaruhi kecenderungan seseorang untuk melakukan atau menghindari tindakan tertentu berdasarkan konsekuensi yang diterima. Melalui pendekatan ini, behaviorisme telah memberikan kontribusi signifikan dalam bidang pendidikan, terapi perilaku, dan pemahaman tentang pembentukan perilaku pada manusia dan hewan. Namun, pendekatan ini dikritik karena tidak mempertimbangkan faktor
Conditioning adalah sebuah bentuk pembelajaran di mana organisme dapat memberikan respons terhadap suatu rangsangan yang sebelumnya tidak menghasilkan respons tersebut. Hal ini juga merupakan proses untuk mengubah refleks menjadi tingkah laku yang kompleks. Dalam kondisioning klasik, tingkah laku dibentuk melalui proses persyaratan. Ivan Pavlov percaya bahwa tingkah laku organisme dapat dibentuk melalui pengaturan dan manipulasi lingkungan.
Maka, Behavioral conditioning adalah teori pembelajaran yang menekankan pentingnya asosiasi antara rangsangan dan respons dalam mempengaruhi perilaku. Pembelajaran terjadi melalui penguatan atau hukuman yang mengikuti perilaku. Dalam behavioral conditioning, perilaku yang diinginkan diperkuat, sedangkan perilaku yang tidak diinginkan bisa dihukum atau diabaikan. Pendekatan ini digunakan untuk membentuk, mengubah, atau menghilangkan perilaku melalui manipulasi faktor lingkungan yang mempengaruhi perilaku tersebut.
Teori Behaviorisme yang paling terkenal diperkenalkan oleh Pavlov, yang disebut sebagai kondisi klasik (Classical Conditioning). Pengertian "classic" dalam istilah "classical condisioning" digunakan untuk menghormati dan mengakui kontribusi sejarah Ivan Pavlov dalam pengembangannya. Istilah "classic" tidak merujuk pada kualitas atau nilai dari teori ini, tetapi digunakan hanya untuk membedakannya dari teori kondisioning lainnya yang muncul kemudian. Dengan kata lain, istilah ini digunakan untuk membedakan teori Pavlov sebagai teori pengkondisian yang pertama hadir dalam literatur psikologi dan menempati posisi penting dalam perkembangan studi mengenai asosiasi antara rangsangan dan respons.
Siapakah Ivan Pavlov?
Ivan Petrovich Pavlov (1849-1936) dikenal sebagai tokoh Classical Conditioning dan perintis teori belajar modern, lahir di Ryazan, Rusia. Ia merupakan seorang fisiologis Rusia yang terkenal karena penelitiannya tentang refleks dan kondisioning perilaku. Ivan Petrovich Pavlov sangat dikenal terutama karena eksperimennya dengan anjing yang mengarah pada pengembangan teori kondisioning klasik. Ivan Pavlov awalnya tertarik pada pencernaan hewan dan menjalankan serangkaian eksperimen dengan anjing.
Dalam penelitiannya, Pavlov mengamati bahwa anjing yang menjadi subjek studinya menunjukkan peningkatan produksi air liur ketika diberi makanan. Dia kemudian menyelidiki fenomena ini dan mengembangkan studi tentang kondisi perilaku, di mana respons yang disadari muncul sebagai hasil dari stimulus yang diberikan dengan tujuan memenuhi tujuan tertentu. Pendekatan yang ditekankan oleh Pavlov adalah teori refleks, dikenal sebagai teori psikologi refleks. Bagi Pavlov, menggunakan stimulus netral, seperti bunyi lonceng dalam eksperimen anjing yang menjadi subjek penelitian, adalah proses penting dalam pemahaman perilaku refleks. Menurut teori ini, ketika makanan (stimulus tak terkondisikan atau tidak dipelajari) dipasangkan dengan bunyi lonceng (stimulus terkondisikan atau dipelajari), bunyi lonceng itu sendiri akan memicu respons yang sama, yaitu peningkatan produksi air liur pada anjing yang menjadi subjek percobaan. Kontribusinya terhadap penemuan ini bahkan membuatnya meraih Penghargaan Nobel.
Selain itu, teori ini menjadi dasar bagi perkembangan aliran psikologi behaviorisme, sekaligus memberikan landasan bagi penelitian mengenai proses pembelajaran dan pengembangan teori-teori tentang belajar. Pavlov telah melakukan penelitian intensif terhadap kelenjar ludah sejak tahun 1902, menggunakan anjing sebagai subjek penelitian. Pada tahun yang sama, tepat sebelum ulang tahunnya yang ke-50, Pavlov memulai karya terkenalnya mengenai refleks terkondisikan. Karyanya meliputi "Work of Digestive Glands" (1902) dan "Conditioned Reflexes". Pada tahun 1904, ia meraih Penghargaan Nobel dalam bidang Fisiologi atau Kedokteran atas kontribusinya dalam penelitian tersebut. Pengaruh besar karyanya tentang pengkondisian ini sangat terasa dalam perkembangan psikologi behavioristik di Amerika (The Official Web Site of the Nobel Foundation, 2007).
Untuk memahami eksperimen-eksperimen Pavlov, kita perlu memahami beberapa konsep dasar yang biasa digunakan dalam teori Pavlov sebagai bagian dari eksperimennya.
- Perangsang tak bersyarat (unconditioned stimulus/US) adalah perangsang alami atau wajar yang secara langsung dapat menyebabkan respons pada organisme. Sebagai contoh, makanan yang dapat merangsang keluarnya air liur pada anjing.
- Perangsang bersyarat (conditioned stimulus/CS) adalah perangsang yang secara alami tidak memicu respons, tetapi setelah dikaitkan secara konsisten dengan perangsang tak bersyarat, dapat memicu respons tertentu. Contohnya, suara bel, melihat piring, atau mendengar langkah orang yang biasanya memberi makanan.
- Respon tak bersyarat (unconditioned response/UR) adalah respons alami atau wajar yang ditimbulkan oleh perangsang tak bersyarat (unconditioned stimulus = UR).
- Respon bersyarat (conditioned response/CR) adalah respons yang ditimbulkan oleh perangsang bersyarat (conditioned stimulus = CS) setelah adanya pembelajaran. Respon ini sebelumnya tidak terjadi atau tidak wajar sebelum dikondisikan
Dalam eksperimen Pavlov, perangsang tak bersyarat dan respons tak bersyarat digunakan untuk menginduksi pembelajaran kondisional dengan mengaitkan perangsang bersyarat (CS) dengan perangsang tak bersyarat (US), sehingga menciptakan respons bersyarat (CR).
Apakah eksperimen tersebut dapat diterapkan pada manusia?
Dari contoh tersebut, dapat disimpulkan bahwa dengan menggunakan pendekatan Pavlov, seseorang dapat mengendalikan individu dengan menggantikan stimulus alami dengan stimulus yang sesuai, sehingga mendapatkan respons yang diinginkan. Hal ini dilakukan tanpa individu menyadari bahwa mereka sedang dikendalikan oleh stimulus eksternal.
Pavlov mengenalkan tiga konsep penting dalam teori Classical Conditioning, yaitu penguatan (reinforcement), penghilangan (extinction), dan pengembalian spontan (spontaneous recovery). Pavlov berpendapat bahwa respons terkondisi dapat terbentuk melalui penguatan yang terus-menerus. Pembentukan respons terkondisi biasanya terjadi secara bertahap. Jika penguatan dihentikan dan stimulus terkondisi muncul tanpa stimulus tak terkondisi, respons terkondisi kemungkinan akan melemah dan akhirnya hilang, hal ini disebut penghilangan. Namun, ada kemungkinan respons terkondisi akan muncul kembali secara tiba-tiba tanpa adanya penguatan, hal ini disebut pengembalian spontan.
Dalam Classical Conditioning, terdapat fenomena yang disebut generalisasi stimulus, di mana individu cenderung memberikan respons terkondisi terhadap stimulus yang mirip dengan stimulus terkondisi, meskipun stimulus tersebut belum pernah dipresentasikan bersama dengan stimulus tak terkondisi. Semakin mirip stimulus baru dengan stimulus terkondisi awal, semakin besar kemungkinan terjadinya generalisasi. Selain itu, Classical Conditioning juga mengenal konsep diskriminasi stimulus, yaitu belajar untuk memberikan respons terhadap stimulus tertentu dan tidak memberikan respons terhadap stimulus lain dengan menggunakan stimulus tak terkondisi yang berbeda. Hal ini memungkinkan individu untuk melakukan asosiasi selektif terhadap stimulus dan menghasilkan respons yang diinginkan.
korupsi di Indonesia dalam teori Behavioral Conditioning?
Bagaimana fenomena kejahatanDalam teori Behavioral Conditioning, fenomena kejahatan korupsi di Indonesia dapat dipahami sebagai hasil dari pembelajaran perilaku yang melibatkan penguatan atau penghukuman yang terkait dengan tindakan korupsi.
Korupsi berkaitan dengan kekuasaan karena pemegang kekuasaan memiliki kemampuan untuk menyalahgunakan kekuasaannya demi kepentingan pribadi, keluarga, dan kelompok mereka. Korupsi dianggap sebagai sebuah masalah sosial di Indonesia yang tidak hanya menyebabkan kerugian finansial dan ekonomi negara, tetapi juga merusak nilai-nilai budaya, moral, politik, serta pondasi hukum dan keamanan nasional. Pemberantasan korupsi di Indonesia masih menghadapi tantangan yang besar, mengingat bahwa kasus ini telah merasuki berbagai lapisan masyarakat. Oleh karena itu, penanganan korupsi membutuhkan pendekatan yang sangat berfokus dan komprehensif.
Dalam konteks kejahatan korupsi, perilaku koruptif dipengaruhi oleh penguatan positif yang diperoleh pelaku korupsi. Penguatan positif tersebut bisa berupa keuntungan finansial, kekuasaan, atau perlindungan yang diperoleh melalui tindakan korupsi. Ketika pelaku korupsi mendapatkan penguatan positif dari perilaku koruptif yang mereka lakukan, mereka cenderung menjadi lebih mungkin untuk melanjutkan perilaku tersebut.
Penghukuman atau konsekuensi negatif juga berperan dalam Behavioral Conditioning. Jika pelaku korupsi tidak menghadapi penghukuman yang tegas dan adil terhadap tindakan koruptif mereka, hal ini bisa membuat mereka tidak takut atau tidak merasakan resiko yang signifikan. Dalam kasus tersebut, penghukuman yang tidak memadai atau tidak ada penghukuman sama sekali dapat memperkuat perilaku koruptif dan mendorong pelaku untuk melanjutkan tindakan korupsi.
Lingkungan juga memainkan peran penting dalam fenomena kejahatan korupsi. Lingkungan yang korup, di mana praktik korupsi sering terjadi atau diterima secara luas, dapat melibatkan asosiasi stimulus-respons yang memperkuat perilaku koruptif. Misalnya, jika pelaku korupsi secara terus-menerus terpapar dengan stimulus korupsi seperti tawaran suap atau praktik nepotisme, hal tersebut dapat membentuk asosiasi antara stimulus korupsi dengan respons perilaku koruptif.
Dalam teori Behavioral Conditioning, fenomena kejahatan korupsi di Indonesia dapat dijelaskan melalui proses pembentukan perilaku yang dipengaruhi oleh penguatan dan hukuman yang diberikan oleh lingkungan.
Berikut adalah penjelasan fenomena kejahatan korupsi di Indonesia menggunakan perspektif Behavioral Conditioning:
1. Penguatan positif: Dalam situasi korupsi, individu yang terlibat biasanya mendapatkan penguatan positif berupa keuntungan finansial, kekuasaan, atau keuntungan lainnya. Hal ini dapat memperkuat perilaku korupsi dan membentuk pola perilaku yang berulang. Â
Contoh: Seorang pejabat yang menerima suap akan mendapatkan uang atau manfaat lain sebagai hasil dari perilaku korupsi. Penguatan positif ini dapat memperkuat keinginan individu untuk terlibat dalam korupsi di masa mendatang.
2. Penguatan negatif: Di sisi lain, dalam beberapa kasus, individu yang menolak terlibat dalam korupsi dapat mengalami penguatan negatif, seperti intimidasi, ancaman, atau bahkan kehilangan pekerjaan. Penguatan negatif ini dapat mempengaruhi individu untuk terlibat dalam korupsi demi menghindari konsekuensi negatif.
Contoh: Seorang pegawai yang menolak terlibat dalam praktik korupsi dapat menghadapi intimidasi atau ancaman dari rekan kerja atau atasan yang ingin melibatkan mereka dalam praktik tersebut. Hal ini dapat mempengaruhi perilaku mereka untuk akhirnya terlibat dalam korupsi.
3. Imitasi (modeling) perilaku: Individu sering meniru atau mengadopsi perilaku orang lain dalam mencari penguatan positif atau menghindari penguatan negatif. Jika mereka melihat individu lain terlibat dalam korupsi dan berhasil mendapatkan keuntungan, mereka cenderung untuk meniru perilaku tersebut.
Contoh: Jika seorang pegawai melihat rekan kerja yang terlibat dalam korupsi mendapatkan keuntungan atau melihat pejabat tinggi terlibat dalam korupsi tanpa menghadapi konsekuensi, individu tersebut mungkin tergoda untuk meniru perilaku tersebut.
Fenomena kejahatan korupsi di Indonesia melibatkan penguatan positif, penguatan negatif, dan imitasi perilaku yang terjadi dalam lingkungan sosial. Penting untuk dicatat bahwa fenomena ini kompleks dan melibatkan banyak faktor sosial, politik, dan ekonomi yang saling terkait. Teori Behavioral Conditioning memberikan pemahaman tentang bagaimana perilaku korupsi dapat terbentuk dan dipertahankan melalui proses penguatan dan imitasi perilaku dalam lingkungan.
Prinsip-prinsip teori pembelajaran Behavior Conditioning (pembelajaran perilaku) meliputi:
1. Kondisioning Klasik (Classical Conditioning)
Pembelajaran melalui asosiasi antara stimulus yang telah ada dengan stimulus yang baru muncul. Respons yang semula berkaitan dengan stimulus awal secara bertahap dikaitkan dengan stimulus baru tersebut. Contoh terkenal adalah eksperimen Pavlov dengan anjing yang mengaitkan bunyi lonceng dengan makanan sehingga anjing itu akan mengeluarkan air liur ketika mendengar bunyi lonceng.
2. Kondisioning Operant (Operant Conditioning)
Pembelajaran terjadi melalui konsekuensi yang timbul dari perilaku seseorang. Jika suatu perilaku diikuti oleh penguatan positif (reward) atau penghapusan hukuman negatif, kemungkinan perilaku tersebut akan diperkuat dan akan muncul kembali di masa depan. Sebaliknya, jika perilaku diikuti oleh hukuman atau penghapusan penguatan positif, kemungkinan perilaku tersebut akan berkurang atau hilang. Teori ini dikembangkan oleh Burrhus Frederick Skinner dan melibatkan konsep penguatan (reinforcement) dan hukuman (punishment).
3. Observasional (Social) Learning:
Pembelajaran melalui pengamatan dan peniruan perilaku orang lain. Proses ini melibatkan pemberian perhatian pada tindakan atau perilaku orang lain, menyimpan informasi tersebut dalam ingatan, dan menerapkannya dalam situasi yang relevan. Teori observasional learning dikembangkan oleh Albert Bandura dan menekankan pentingnya peran sosial dalam pembelajaran.
4. Penguatan (Reinforcement)
Pemberian konsekuensi atau stimulus yang meningkatkan kemungkinan perilaku akan diulang atau dipertahankan di masa depan. Penguatan dapat berupa penguatan positif (memberikan hadiah atau pujian) atau penguatan negatif (penghapusan stimulus negatif atau hukuman).
5. Hukuman (Punishment):
Memberikan konsekuensi negatif atau stimulus yang mengurangi kemungkinan perilaku akan diulang atau dipertahankan di masa depan. Hukuman dapat berupa hukuman positif (memberikan hukuman atau konsekuensi negatif) atau hukuman negatif (penghapusan stimulus positif atau penguatan).
Prinsip-prinsip ini membantu menjelaskan bagaimana pembelajaran dan pengembangan perilaku individu terjadi melalui proses asosiasi, konsekuensi, pengamatan dan peniruan. Namun, perlu dicatat bahwa teori pembelajaran perilaku bukan satu-satunya teori dalam memahami perilaku manusia, dan faktor-faktor lain seperti motivasi, kognisi, dan faktor sosial juga memainkan peran penting dalam pembentukan sikap dan perilaku seseorang.
Faktor-faktor fenomena kejahatan korupsi di Indonesia yang dapat dijelaskan dalam teori Behavioral Conditioning adalah sebagai berikut:
- Stimulus Lingkungan: Faktor-faktor lingkungan seperti sistem yang korup, ketidakadilan, atau kelemahan dalam sistem pengawasan dapat menjadi stimulus yang memicu tindakan korupsi. Ketika lingkungan sekitar cenderung memfasilitasi atau merangsang praktik korupsi, individu mungkin cenderung terpengaruh dan terlibat dalam tindakan koruptif.
- Penguatan Positif: Penguatan positif dalam konteks kejahatan korupsi melibatkan pemberian imbalan atau manfaat bagi pelaku korupsi. Keuntungan pribadi, kepuasan, atau keamanan yang diperoleh dari tindakan korupsi dapat menjadi penguatan positif yang mendorong perilaku tersebut berlanjut.
- Penguatan Negatif: Kurangnya hukuman atau penegakan hukum yang efektif dapat menjadi penguatan negatif yang memungkinkan pelaku korupsi untuk terus melibatkan diri tanpa takut konsekuensi. Jika pelaku tidak menghadapi sanksi atau hukuman yang memadai, mereka mungkin merasa aman untuk melanjutkan praktik korupsi.
- Pengaruh Sosial: Pengaruh sosial dapat menjadi faktor yang signifikan dalam fenomena kejahatan korupsi. Norma sosial yang membenarkan atau mempertolerir korupsi dalam suatu lingkungan dapat menjadi penguatan sosial yang mendorong individu untuk terlibat dalam perilaku koruptif.
Dalam teori Behavioral Conditioning, faktor-faktor ini saling berinteraksi dan membentuk pembelajaran perilaku terkait dengan kejahatan korupsi di Indonesia. Penting untuk memahami faktor-faktor ini untuk merumuskan strategi pencegahan dan penanggulangan yang efektif dalam mengurangi kasus korupsi di Indonesia.
Kinerja KPK terus meningkat dari tahun ke tahun dan memiliki dampak positif dalam upaya meminimalisir kasus korupsi. Beberapa kasus korupsi berhasil diungkap oleh KPK. Namun, walaupun KPK sudah ada, masih terjadi tindakan korupsi yang bisa diibaratkan sebagai penyakit yang muncul kembali setelah sembuh. Salah satu kasus korupsi yang memiliki dampak serius bagi negara Indonesia adalah kasus yang mengakibatkan kerugian triliunan.
Kasus korupsi yang sering terjadi di Indonesia meliputi berbagai sektor, baik itu sektor pemerintahan, bisnis, maupun sosial. Beberapa contoh kasus korupsi yang sering terjadi di Indonesia antara lain:
- Korupsi dalam Pengadaan Proyek: Kasus korupsi terkait pengadaan proyek sering terjadi di Indonesia. Contohnya adalah kasus korupsi dalam proyek infrastruktur seperti jalan, jembatan, gedung, dan lain-lain. Dalam kasus ini, terdapat dugaan mark-up harga, penyuapan, dan penyalahgunaan wewenang untuk mendapatkan keuntungan pribadi dari proyek tersebut.
- Korupsi dalam Pelayanan Publik: Kasus korupsi dalam pelayanan publik juga sering terjadi, contohnya adalah kasus korupsi di sektor pendidikan seperti pungutan liar dalam penerimaan siswa atau pungutan ilegal dalam proses pengurusan izin pendirian sekolah. Selain itu, juga terdapat kasus korupsi dalam sektor kesehatan, perizinan, dan pelayanan masyarakat lainnya.
- Korupsi dalam Tataniaga dan Perdagangan: Kasus korupsi dalam sektor tataniaga dan perdagangan juga cukup sering terjadi. Contohnya adalah korupsi dalam penerimaan suap di sektor perpajakan, penerimaan suap di pelabuhan dan bandara, serta korupsi dalam proses impor dan ekspor barang.
- Korupsi dalam Sumber Daya Alam: Kasus korupsi di sektor sumber daya alam, seperti pertambangan, perkebunan, dan hutan, juga sering terjadi. Contohnya adalah kasus korupsi terkait penambangan ilegal, izin tambang yang tidak sesuai aturan, serta penyalahgunaan sumber daya alam untuk keuntungan pribadi.
- Korupsi dalam Lelang dan Pengadaan Barang/Jasa: Kasus korupsi dalam lelang dan pengadaan barang/jasa juga sering terjadi. Contohnya adalah kasus korupsi dalam lelang proyek pembangunan atau dalam pengadaan alat-alat kesehatan di sektor kesehatan. Dalam kasus ini, terdapat dugaan manipulasi proses lelang, mark-up harga, atau penyuapan untuk memenangkan tender.
Selain itu, ada juga beberapa studi kasus yang terkenal dan terbesar di Indonesia. Salah satu studi kasus korupsi paling terkenal dan terbesar di Indonesia adalah Kasus e-KTP (Kartu Tanda Penduduk Elektronik). Kasus ini terjadi pada tahun 2017 dan melibatkan dugaan korupsi dalam proyek penerbitan e-KTP yang dilakukan oleh Kementerian Dalam Negeri. Berikut adalah beberapa informasi tentang kasus tersebut:
- Kasus e-KTP melibatkan dugaan korupsi dalam proyek pembuatan Kartu Tanda Penduduk Elektronik (e-KTP) yang dilakukan antara tahun 2010 hingga tahun 2012.
- Dalam kasus ini, terdapat dugaan penyalahgunaan anggaran dan pelibatan banyak pihak, termasuk anggota Dewan Perwakilan Rakyat, pejabat pemerintah, pengusaha, dan staf dari Kementerian Dalam Negeri.
- Total kerugian negara dalam kasus e-KTP ini diperkirakan mencapai triliunan rupiah, sehingga menjadikannya sebagai salah satu kasus korupsi terbesar dalam sejarah Indonesia.
- Modus operasi kasus ini termasuk manipulasi proses lelang, penambahan anggaran yang tidak wajar, dan pemotongan uang yang seharusnya digunakan untuk proyek.
- Kasus e-KTP menimbulkan dampak yang serius, baik bagi keuangan negara maupun kepercayaan publik terhadap pemerintah dan institusi yang terlibat.
Kasus e-KTP ini menjadi sorotan dan ikonik dalam perjuangan melawan korupsi di Indonesia karena skala korupsinya yang besar dan melibatkan banyak pihak terkait. Kasus ini juga menjadi momentum penting untuk reformasi sistem pengadaan barang dan jasa serta penegakan hukum yang lebih kuat dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Â
PenutupÂ
Teori Behavioral Conditioning Pavlov memiliki kelebihan dan kekurangan tertentu. Kelebihannya termasuk kemampuan untuk digunakan dalam pembelajaran keterampilan dengan latihan yang berulang, membentuk perilaku yang diinginkan, dan memudahkan pengendalian pembelajaran oleh pendidik tanpa kesadaran individu terhadap pengaruh stimulus eksternal. Selain itu, teori ini juga efektif dalam melatih hewan yang memiliki kemampuan untuk belajar.
Namun, kelemahan dari teori Behavioral Conditioning ini adalah asumsi bahwa pembelajaran hanya terjadi secara otomatis tanpa memperhitungkan peran aktif dan kehendak individu. Teori ini juga terlalu fokus pada peranan latihan dan kebiasaan, sehingga individu cenderung menjadi pasif dan bergantung pada stimulus eksternal. Selain itu, penggunaan analogi perilaku hewan dalam proses pembelajaran manusia dianggap kurang dapat diterima karena perbedaan karakteristik fisik dan psikis antara manusia dan hewan. Oleh karena itu, teori ini lebih cocok diterapkan dalam pembelajaran keterampilan tertentu dan pembiasaan pada anak-anak kecil.
Daftar Pustaka
HASLINDA, H. (2019). Classical Conditioning. Network Media, 2(1).
Nurhidayati, T. (2012). Implementasi Teori Belajar Ivan Petrovich Pavlov (Classical Conditioning) dalam Pendidikan. Jurnal Falasifa, 3(1), 23-44.
Purnamasari, N. I. (2020). Siginifikansi Teori Belajar Clark Hull dan Ivan Pavlov bagi Pendidikan Islam Kontemporer. QUDWATUNA, 3(1), 1-24.
PAVLOV, C. C. I. TEORI BEHAVIORISME: CLASSICAL CONDITIONING IVAN PAVLOV CONTIGUOUS CONDITIONING EDWIN RAY GUTHRIE. BUKU PERKULIAHAN, 35.
Jelita, M., Ramadhan, L., Pratama, A. R., Yusri, F., & Yarni, L. (2023). Teori Belajar Behavioristik. Jurnal Pendidikan dan Konseling (JPDK), 5(3), 404-411.
Muktar, M. (2019). Pendidikan behavioristik dan aktualisasinya. Tabyin: Jurnal Pendidikan Islam, 1(1), 14-30.
Umar, N. (2019). BUKU Hukum tindak pidana korupsi di Indonesia & strategi khusus pembinaan narapidana korupsi (Dilengkapi Undang-undang Nomor 19 tahun 2019 tentang perubahan kedua atas undang-undang nomor 30 tahun 2002 tentang komisi pemberantasan tindak pidana korupsi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H