Menjalani kegiatan PKL di SPNF SKB Kota Samarinda selama kurang lebih dua bulan, saya belajar begitu banyak hal. Mulai dari sifat-sifat peserta didik disana, interaksi antara pendidik dan peserta didik, lingkungannya, serta yang lainnya.
Ketika pertama kali memasuki instansi tersebut, saya yang kuliah dengan jurusan Bimbingan dan Konseling Islam awalnya bertanya-tanya tentang apa yang kira-kira akan saya lakukan disini kecuali mengajar?
Tetapi, supervisor, pemimpin instansi, serta pembimbing lapangan saya menjelaskan bagaimana peserta didik di instansi ini sangat membutuhkan adanya proses bimbingan dan konseling. Katanya, beberapa peserta didik disini merupakan orang yang "bermasalah" atau memiliki masalah.
Itu dia...
Label atau stigma yang melekat pada mereka tidak lain dan tidak bukan adalah (mohon maaf jika kata-katanya sedikit kasar): "Pemalas", "Anak dari keluarga yang kurang mampu", "Murid bermasalah", "Latar pendidikan mereka tidak sebagus lulusan sekolah formal", "Anak nakal", dan lain sebagainya. Saya pun sejujurnya memiliki pemikiran bahwa mereka yang bersekolah di institusi tersebut adalah mereka yang sudah "berumur".
Tapi kenyataannya ketika saya menghabiskan waktu bercengkrama bersama mereka, semua label atau stigma yang orang-orang katakan tidak sepenuhnya benar. Variasi umur yang saya bayangkan dan saya temui nyatanya tidak sesuai, karena diantara mereka ada yang memang usia anak sekolah dan ada pula yang sudah melewati usia anak sekolah.
Memang ada dari mereka yang memilih untuk melanjutkan pendidikan di institusi tersebut karena dulunya terkendala oleh ekonomi. Â Namun, ada juga yang karena ia di-bully di sekolah formal dan menyaksikan secara nyata bagaimana teman-temannya di-bully. Guru-guru yang seharusnya melindungi anak yang di-bully malah membayar murid-muridnya untuk bungkam ketika orang tua yang anaknya di-bully melaporkan mereka pada pihak berwenang. Hal inilah yang kemudian membuatnya merasa kalau sekolah formal merupakan ide yang buruk untuk dilakukan dan kemudian memutuskan untuk melanjutkan pendidikannya di institusi tersebut.
Ada juga yang memiliki fisik lemah, ia sering sakit-sakitan sehingga tidak bisa beraktivitas seperti anak-anak pada umurnya yang masih belia. Ia memilih mengikuti sekolah non-formal yang terbilang sangat fleksibel ketimbang sekolah formal. Di institusi tempat saya menjalani PKL diterapkan sistem belajar daring untuk mereka yang tidak bisa menghadiri pembelajaran secara luring.
Selain fisik yang lemah, ada pula yang mengalami permasalahan yang membuat mentalnya terpuruk sehingga memutuskan untuk putus sekolah dan fokus untuk menyehatkan mentalnya dan setelah berhasil menyehatkan mentalnya, ia memiliki semangat untuk kembali melanjutkan pendidikannya melalui sekolah non-formal yang bisa memberikannya kesempatan kedua untuk kembali belajar.
Beberapa dari mereka ada pula yang dijodohkan oleh orang tuanya, menikah muda, ataupun married by accident sehingga harus putus sekolah. Lagi-lagi, sekolah non-formal yang tidak memandang umur maupun latar belakang tentunya menerima mereka yang masih memiliki semangat untuk kembali mengenyam pendidikan dan mendapatkan pendidikan yang setara dengan mereka yang lulusan sekolah formal.
Dari mereka pun ada pula yang salah pergaulan dan menyesal telah melanggar aturan dan dikeluarkan di sekolah sebelumnya yang kemudian memilih untuk tetap melanjutkan pendidikan di sekolah non-formal. Apa salahnya memberikan kesempatan kedua untuk mereka yang memiliki rasa penyesalan dan keinginan menjadi lebih baik lagi? Tidak ada.