Tahun 2012, perempuan berusia 47 tahun ini baru mengetahui ia adalah penyandang bipolar. Ia pun memberanikan diri pergi ke psikiater. Dee juga rajin mencari informasi seputar bipolar.
Setelah mengetahui apa itu bipolar, cara pengobatannya, sampai cara mengatasinya; akhirnya ia memutuskan melihat ke masa lalu.
“Saya melihat rekam jejak dari foto. Pada saat pemakaman ibu, saya memakai make-up yang sangat menor. Sangat tidak cocok bukan berperilaku seperti itu ketika ibu kandung dimakamkan? Ya, saat itu saya sedang manik,” ucapnya.
Akumulasi Masalah
Dee mengakui, bipolar muncul dari akumulasi masalah dalam hidupnya yang tidak sanggup ia pendam sendiri. Guncangan pertama ketika ia bercerai dari suaminya dan harus menjadi orang tua tunggal bagi ketiga anak perempuannya yang masih kecil. Tak berapa lama, ia harus kehilangan sosok pegangannya, yaitu sang ayah. Ia seakan kehilangan sokongan besar di keluarganya.
Dunia seakan runtuh. Ia membutuhkan rangkulan hangat dari orang-orang terdekatnya. Keluarga yang diharapkan dapat memberi dukungan ternyata tidak mendukungnya. Kakaknya yang menjadi satu-satunya keluarga yang tersisa tidak mendukung dan tidak dapat menenangkan jiwa Dee.
Belum lagi lingkungan pekerjaan yang ikut menekannya. Akhirnya, Dee memutuskan berhenti bekerja dan tinggal di rumah bersama ketiga anaknya. Bagi Dee, ketiga buah hatinya merupakan sumber kekuatan dalam menjalani hidup.
Mereka adalah pengingat dan pelindung diri ketika ia sedang kambuh. Dee pernah mencoba bunuh diri, namun akhirnya bisa diselamatkan. Pernah juga terlintas di otak Dee untuk bunuh diri bersama ketiga anaknya.
Untuk menahan nafsu buruknya, Dee mendekatkan diri kepada Tuhan. Ia meminta selalu dilindungi dari pikiran buruk dan celaka.
“Tubuh saya punya Tuhan. Penyakit saya juga diberikan Tuhan. Saya tidak berhak menyakiti tubuh saya, apalagi bunuh diri karena itu bukan milik saya. Semuanya milik Tuhan,” ucapnya.
Menulis Buku