Hai teman teman, perkenalkan nama saya Adinda Maharani Suryaningrum mahasiswi Universitas Ahmad Dahlan Fakultas Sastra Budaya dan Komunikasi. Pada kesempatan ini saya ingin sedikit menuliskan pengetahuan saya setelah monton film yang berjudul "The Social Dilema" , dan juga saya akan menuliskan pengalaman dan pandangan saya mengenai sisi positif dan negatif dari teknologi informasi dan komunikasi. Serta apa saja sih kekurangan yang masih harus diperbaiki, agar teknologi informasi dan komunikasi bisa lebih membawa manfaat untuk banyak orang?.
Film yang berjudul The Social Dilema sendiri merupakan sebuah film dokumenter yang mengisahkan tentang perkembangan sosial media dan efeknya di masyarakat dunia. Film ini berupaya mengangkat bagaimana perusahaan -- perusahaan besar seperti Facebook, Instagram, Google, Twitter, YouTube, TikTok, Pinterst, dll, mengeksploitasi data -- data pengguna. Film ini membongkar bagaimana sosial media di desain kepada penggunanya dan membuat kita cenderung mengabaikan keamanan data -- data kita sehingga rentan terhadap penggalian data, makanya sering kita jumpai banyak orang yang merasa bahwa datanya telah di curi oleh oranglain tapi sebenarnya tanpa sadar kitalah yang memberi peluang kepada mereka untuk melakukan pencurian data, tanpa sadar bahwa kita sendiri yang menyebar data kita sendiri. Data -- data yang dikumpulkan perusahaan global tersebut tidak hanya digunakan untuk kepentingan politik atau golongan, tetapi juga menimbulkan efek buruk bagi kondisi psikis pengguna dengan kesehatan mental dan penyebaran konspirasi.
Film ini menampilkan para tokoh yang pernah bekerja dibalik perusahaan besar seperti Google, Pinterest, Instagram, YouTube, Twitter, Facebook,dll, yang menjelaskan pendapat mereka berdasarkan pengalaman yang mereka alami selama bertahun -- tahun mengembangkan berbagai fitur aplikasi. Film The Social Dilema sendiri film arahan Jeff Orlowski yang dirilis pada tahun 2020. Dalam film ini sutradara mengarahkan penonton untuk mendengar tanggapan langsung oleh orang -- orang dibalik sosial di film dokumenter ini. Di sepanjang film dokumentr tersebut, banyak mantan karyawan, pengembang, eksekutif, dan profesional lain dari latar belakang teknologi, media sosial, dan penelitian top mereka yang memberikan masukan tentang masalah yang dapat ditemukan di berbagai platform online.
The Social Media menghadirkan beberapa pembicara seperti Tristan Harris, mantan pakar etika desain Google yang juga merupakan pendiri bersama Center for Humane Technology. Sementara Anna Lembke, pakar kecanduan di Stanford University, menjelaskan perusahaan memanfaatkan kebutuhan evolusioner otak untuk hubungan antarpribadi. Roger McNamee, yang merupakan seorang investor awal di Facebook, memberikan keterangan bahwa Rusia tidak meretas Facebook mereka hanya menggunakan atau memanfaatkan platform tersebut. Dan masih banyak lagi tokoh -- tokoh yang ikut serta berpartisipasi dalam film dokumenter tersebut.
The Social Dilema selain menampilkan hasil wawancara dengan para tokoh film. Wawancara ini dipadukan dengan drmatisasi yang menceritakan kisah kecanduan media sosial sorang remaja yang terkait dengan representasi bagimana algoritme media sosial yang didukung oleh kecerdasan buatan dapat bekerja. The Social Dilema juga menampilkan ilustrasi yang memudahkan kita untuk memahami serta adanya pemeran dalam film tersebut untuk menggambarkan film ini secara garis besar atau mewakilkan kita sebagai manusia di kehidupan sehari -- hari dengan adanya sosial media di sekitar kita. Para pemeran aktor disjikan dengan liputan berita tentang efek buruk sosial media, didalam lipuan tersebut tentunya yang dihadiri oleh Jaron Lanter yang merupakan Founding Father of Virtual Reality Computer Scientist.
The Social Dilema menunjukan bagaimana media sosial ternyata selama ini melakukan hal -- hal mengerikan kepada para penggunanya tanpa kita sadari. Mulai dari mengawasi aktivitas sehari -- hari kita saat menggunakan sosial media, mereka tau apa yang kita lihat, apa yang kita suka, seberapa lama kita menggunakan sosial media bahkan mereka merekam semua jejak aktivitas kita di dalam sosial media, mereka juga akan melakukan berbagai cara untuk menarik perhatian kita agar tetap berada di dalam sosial media tanpa mengnal waktu kadang mereka memanipulasi tampilan feed supaya individu tak bisa lepas dari media sosial, atau menampilkan notifikasi agar kita tertarik untuk melihat isi dari notifikasi yang muncul.
Dalam film ini saya jadi memahami bahwa sebenarnya kita hanyalah boneka percobaan mereka dan kitalah yang dikendalikan oleh mereka bukan kita yang mengendalikan sosial media. Didalam film dijelaskan mereka memanfaatkan data kita untuk membuat sebuah model yang dapat memprediksi tindakan kita, mereka juga seperti memiliki boneka yang menyerupai kita, semua yang pernah kita lihat, semua video yang kita tonton, semua tombol suka, semua itu di olah untuk membuat model yang lebih akurat, setelah modelnya ada mereka dapat memprediksi hal -- hal yang dilakukan orang. Tristan Harris juga menjelaskan bahwa ada tiga tujuan utama dibanyak perusahaan teknologi, ada tujjuan keterlibatan untuk menaikan penggunaan kita agar kita terus menerus menggulirkan layar, ada juga tujuan pertumbuhan untuk membuat kita kembali untuk mengundang banyak teman, lalu ada tujuan iklan untuk memastikan bahwa seiring semua itu terjadi mereka menghasilkan uang sebanyak mungkin dari iklan.
Dalam film dokumenter ini dinyatakan bahwa media sosial adalah layanan bermanfaat yang melakukan berbagai hal sekaligus mesin uang. Film ini juga menyebutkan efek psikologi dari media sosial seperti depresi dan juga peningkatan angka bunuh diri di kalangan remaja dan dewasa muda. Seperti yang digambarkan di dalam film oleh pemeran Isla yang merasa khawatir oleh komentar yang didapatnya didalam unggahannya mengenai fisiknya, hal tersebutlah yang membuat Isla menjadi terus menerus memikirkannya sehingga dapat mengenai mentalnya. Begitu juga dengan kakanya yang bernama Ben yang perlahan terjebak dalam taktik manipulasi dan menjadikan kecanduan dengan sosial media.
Sementara perusahaan -- perusahaan membuat lebih banyak uang dengan menyebar pesan tak beraturan untuk mencapai semua orang menawarkan harga terbaik. Film ini juga mendiskusiakan bahaya dari penyebaran alami berit hoax serti Covid-19 dan propaganda yang bisa digunakan untuk mempengaruhi kampanye politik.
Film ini pada akhirya memberikan solusi apa yang bisa kita lakukan agar tidak menjadi produk dari media sosial. Film ini diakhiri dengan berbagai statment dan pandangan optimis dri setiap narasumber. Narasumber juga menyebutkan bahwa tidak ada sosok tiran dan motivasi jahat ketika media sosial diciptakan. Setiap pengembang mengawali sebuah ide dengan kreativitas dan niat yang positif untuk perkembangan peradaban manusia. Namun ternyata sistem yang mereka kembangkan ternyata telah berkembang dengan cara yang mengerikan canggihnya dan dimanfaatkan oleh pihak tertentu demi meraih keuntungan, meski harus mengorbankan kebenaran kode etik lainnya. Film ini ditutup dengan bagaimana cara para narsumber sebisa mungkin menjauhkan segala hal yang berbau sosial media dari keluarganya untuk kebaikan bersama, sehingga mereka dapat melakukan percakapan sosial dengan sekitar tanpa dicampur tangani oleh sosial media.
Dari film The Social Dilema kita dapat belajar bahwa media sosial ibarat pisau bermata dua, ia banyak manfaat namun di satu sisi juga ada kerugian yang di alami oleh para pengguna, dan semua hal positif pasti selalu ada sisi negatifnya begitupun dengan sosial media dan teknologi informasi dan komunikasi.