Reuni kala itu, 2017
Melihatmu dari jauh saja sudah cukup bagiku. Tak banyak harapku padamu, karena ku yakin bahwa kau pun merasakan hal yang sama, Rindu. Sayangnya, kita berdua sama-sama terlalu malu untuk mengungkapkan hal itu, bibir tetap mengatup rapat, dengan pipi yang kian bersemu. Ah, memang begitu dari dulu, kita sama-sama kaku.
"Bagaimana hari-harimu?" betapa ku ingin menanyakan hal itu padamu. Bukan sekedar untuk mencairkan suasana, tapi sungguh aku ingin kembali memulai percakapan hangat seperti dulu denganmu. Tapi apalah daya, memang naluri dan raga selalu sulit untuk bersatu. Yang terjadi adalah aku yang kembali melangkahkan kaki menjauh darimu. Cukup kurasa, tak perlu kutanyakan hal itu, kondisimu terlihat sangat baik sekarang, dengan atau tanpa hadirku.
Teman-teman masih suka menyoraki menggoda kita, seakan dahulu memang pernah ada 'kita' diantara aku dan kamu. Kemudian kita hanya bisa saling menatap sepersekian detik, melempar senyum sesaat, kemudian berusaha meredakan seruan teman-teman yang bahkan tak pernah tahu tentang apa yang pernah terjadi antara aku dan kamu
Teringat pula masa-masa lalu ketika melihat senyumanmu. Masa-masa ketika waktu berpihak padaku dan padamu. Kita saling menjaga, saling mengajari tentang kehidupan, saling menguatkan disaat-saat paling rapuh. Tanpa pernah tahu, bahwa suatu saat nanti kita akan seperti saat ini, jauh.Â
Entah apa yang sebenarnya terjadi antara kita. Jarak membentang, waktu berjalan begitu saja. Tanpa ada aku disisimu, dan tanpa kamu disisiku. Kamu yang selalu hadir dalam doaku, kuharap kamu lekas menemukan dia yang benar-benar bisa selalu ada untukmu. Melakukan segala hal lebih dariku.Â
Hingga datanglah hari itu, reuni yang juga cukup lama kutunggu-tunggu. Hatiku sudah kusiapkan sekuat mungkin bila saja ku mendengar kabar tentangmu, bahwa kamu sudah menemukan dia yang cocok denganmu. Namun ternyata, semua dugaanku salah. Tak ada siapapun yang bisa mengisi hatimu, kata mereka. Hanya aku, kamu menunggu hadirku, kata mereka. Lucu juga, bahwa sebagian kecil hati dingin ini kembali menghangat mendengar ucapan mereka. Seandainya saja kau tahu bahwa hati ini memang masih menyimpan namamu.Â
Dan disaat itulah aku ingin meyakinkan diri bahwa kamu akan kembali menyapaku dengan suaramu yang begitu familiar bagiku. Hingga diujung acara, masih tak ada perbincangan antara kamu dan aku. Kamu tak kunjung memulai percakapan itu, padahal kamu paling tahu bahwa aku selalu gengsi untuk memulai segalanya lebih dulu. Ada apa? Apa ada sesuatu yang terjadi padamu? Atau apakah ada kesalahan yang telah ku perbuat hingga kamu tak kunjung berbicara padaku.
Lalu kembali datang waktu untuk kita berpisah, tetap tak ada satupun kata, cukup senyuman yang sama untuk satu sama lain. Ya sudah, memang hanya itu kan? Takdir memang selalu sulit untuk bisa diterka. Tak jarang apa yang menjadi ekspektasi tak sejalan dengan realita. Aku dan kamu saling merindu, kemudian bertemu, tapi tak satu kata pun bisa terucap untuk mewakili rasa itu. Entahlah, mungkin masa depan memang sedang merencanakan sesuatu untuk aku dan kamu. Apakah kita memiliki takdir untuk bersatu? Apapun itu, tak ingin lagi ku berharap terlalu jauh. Bahkan hati kecil ini kembali membeku.Â
Memang sejak dulu, perbincangan kita hanya berujung pada kalimat "sampai berjumpa lagi", hanya jumpa. Bukan bicara.
Teruntuk kamu yang masih jauh disana,
Akan selalu kunantikan saat dimana kita akan saling bicara, bukan hanya saling berjumpa. Lalu kita meluruskan semuanya.
-R :)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H