Di era digital ini, arus informasi mengalir tanpa pembatas. Budaya asing masuk dan menyebar ke masyarakat luas dengan mudah, hal ini terlihat dari perubahan tren fashion, musik, gaya hidup, hingga bahasa. Generasi muda, yang lahir dan tumbuh bersama era digital, menjadi mayoritas penyerap pengaruh asing ini.
      Masuknya budaya asing yang begitu cepat menjadi tantangan tersendiri bagi Indonesia, negara yang kaya akan keberagaman budaya. Salah satunya adalah tantangan dalam menjaga keutuhan bahasa Indonesia, yang dalam Pasal 36 UUD 1945 ditegaskan sebagai bahasa persatuan dan simbol kedaulatan bangsa, beresiko tergerus keutuhannya akibat dari maraknya penggunaan bahasa asing dalam percakapan sehari-hari, terutama di kalangan generasi muda.
      Di masa ini, tentunya kita sudah tidak asing dengan penggunaan percampuran bahasa Indonesia dan bahasa asing dalam satu kalimat saat sedang berkomunikasi, atau yang disebut sebagai fenomena code-switching.
"Kamu udah submit tugas puisi bahasa Indonesia? Deadline-nya malam ini, lho."
"Aduh, belum nih. Aku masih stuck."
      Apakah percakapan di atas terasa janggal? Mungkin tidak. Justru, ini sudah menjadi hal yang lazim dalam percakapan sehari-hari. Berdasarkan penelitian (Siahaan dkk., 2024), sebanyak 25% remaja di Indonesia menggunakan pencampuran bahasa atau code-switching. Biasanya, ini terjadi karena kita merasa bahwa kata asing dirasa lebih mewakili konteks yang sedang dibicarakan. Namun, ada beberapa faktor lain yang dapat menyebabkan fenomena code-switching ini terjadi.
      Pertama, pengaruh lingkungan. Seseorang yang tumbuh dalam lingkungan yang menggunakan dua bahasa atau lebih dalam percakapan sehari-harinya akan lebih rentan melakukan code-switching. Hal ini tentunya didasari dari kebiasaan orang tersebut dalam penggunaan bahasa dalam percakapan sehari-hari.
      Kedua, paparan media digital. Penggunaan media digital tentunya menjadi hal yang umum di masa ini, terutama di kalangan generasi muda. Paparan media ini dapat mempengaruhi cara seseorang dalam berkomunikasi. Derasnya informasi yang didapat melalui media digital memudahkan kita untuk mengadaptasi hal-hal baru dari luar, termasuk bahasa asing.
      Ketiga, keinginan untuk mengikuti tren. Adanya media digital juga mendorong munculnya istilah-istilah baru dalam suatu bahasa atau yang kita sebut sebagai slang. Sebagai generasi yang aktif dalam penggunaan media digital, generasi muda tentunya dengan mudah menyerap slang asing untuk mengikuti pola komunikasi yang sedang tren saat ini.
      Jika ditinjau kembali berdasarkan alasan-alasan tersebut, sebenarnya fenomena code-switching ini memang suatu hal yang tak terhindarkan. Tuntutan untuk beradaptasi dengan perkembangan di era globalisasi dan era digital, serta sifat bahasa yang dinamis, menjadi alasan lain fenomena ini terjadi.
      Namun, tentunya berbagai pertanyaan muncul dalam benak kita. Sebenarnya, fenomena ini menunjukkan kemampuan kita dalam mempelajari bahasa asing, atau justru ketidakmampuan dalam mempertahankan bahasa nasional? Lalu, jika memang tidak terhindarkan, bagaimana cara kita menghadapinya?
Hamelink dalam Liliweri menyatakan bahwa, bila otonomi budaya didefinisikan sebagai kapasitas masyarakat untuk memutuskan alokasi sumber-sumber dayanya sendiri demi suatu penyesuaian diri yang memadai terhadap lingkungan, maka sinkronisasi budaya tersebut jelas merupakan ancaman bagi otonomi budaya masyarakatnya (Nahak, 2019). Dalam konteks ini, bahasa asing yang diterima secara langsung tanpa penanganan yang tepat dan tanpa diimbangi dengan penguasaan bahasa Indonesia secara mendalam, dapat berakibat fatal terhadap keutuhan bahasa nasional kita.
      Ketidakseimbangan penguasaan masing-masing bahasa dalam code-switching ini dapat menjadi bumerang bagi kita. Di satu sisi, fenomena ini menjadi cerminan dari kemampuan kita dalam mempelajari bahasa asing dengan cepat. Di sisi lain, tanpa penguasaan mendalam terhadap bahasa yang digunakan, hal ini memiliki berbagai dampak negatif dalam komunikasi itu sendiri, seperti munculnya ambiguitas dalam percakapan, ketidakprofesionalan dalam konteks formal, dan tentunya menjadi ancaman terhadap keutuhan bahasa Indonesia.
      Hal ini seharusnya dapat menjadi refleksi bagi kita sebagai bangsa Indonesia, di tengah arus globalisasi dan era digital ini, meski kita harus beradaptasi dengan bahasa asing, jangan sampai hal tersebut menjadi hambatan bagi kita untuk mempertahankan keutuhan bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia bukan sekadar alat komunikasi, melainkan identitas dan simbol persatuan bangsa yang diraih melalui perjuangan panjang yang harus kita hargai, yang salah satu caranya adalah dengan menjaga keutuhannya.
      Sebagai generasi muda, kita memiliki peran penting dalam menjaga keutuhan bahasa nasional di era digital ini. Banyak sekali hal yang dapat kita lakukan dalam menjaga keutuhan bahasa nasional, beberapa diantaranya yaitu:
      Pertama, menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Kita dapat memulainya melalui percakapan formal, seperti dalam rapat organisasi di sekolah, dalam forum akademis, dan juga dalam lingkungan pekerjaan.
      Kedua, meningkatkan literasi bahasa Indonesia. Di era digital ini, semuanya dapat diakses dengan mudah, tidak ada lagi alasan untuk tidak memperdalam pemahaman mengenai bahasa Indonesia melalui bacaan, karya sastra, ataupun media lokal. Semuanya tersedia dan dapat diakses dengan mudah melalui media online.
      Ketiga, menggunakan bahasa asing dengan bijak. Dalam penggunaan bahasa asing, hindari penggunaan istilah asing hanya untuk terlihat keren tanpa memikirkan konteks yang sedang dibicarakan. Hal ini dapat memicu timbulnya ambiguitas dalam komunikasi dan mencerminkan kurangnya pemahaman kita dalam bahasa tersebut.
      Terakhir, memanfaatkan media digital untuk edukasi. Media digital sangat membantu persebaran informasi di masa kini, kita dapat memanfaatkan kesempatan ini untuk menyebarkan edukasi mengenai pentingnya bahasa Indonesia dan mengajak orang lain untuk menjaga keutuhan bahasa Indonesia melalui konten kreatif dalam bentuk video, tulisan, dan lainnya yang sesuai dengan tren saat ini.
      Langkah mempertahankan keutuhan bahasa nasional ini tentunya bukan hal yang mudah dan menjadi tantangan yang besar di era digital ini. Namun, mempertahankan keutuhan bahasa nasional bukan sekadar kewajiban, tetapi bentuk penghormatan kita terhadap perjuangan para pahlawan terdahulu dalam menyatukan bangsa. Selain itu, hal ini juga menjadi bagian dari implementasi kita terhadap sila ketiga Pancasila, yaitu Persatuan Indonesia. Bersama, mari kita jaga keutuhan bahasa nasional, karena jika bukan kita, siapa lagi?
Adinda Keysha, mahasiswa Fakultas Vokasi Universitas Airlangga
REFERENSI
Nahak, H. M. I. (2019). UPAYA MELESTARIKAN BUDAYA INDONESIA DI ERA GLOBALISASI. Jurnal Sosiologi Nusantara, 5(1), 65--76. https://doi.org/10.33369/jsn.5.1.65-76
Siahaan, A. P., Citra Chairani, D., Pradana, M. A., Erizal, A. H., Lase, Y. M., Studi, P., Digital, B., Manajemen, J., Ekonomi, F., & Medan, U. N. (2024). Pengaruh Era Digital Terhadap Pemakaian Bahasa Indonesia di Kalangan Remaja Melalui Media Sosial. https://doi.org/10.62710/cfbdfe10
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H