Mohon tunggu...
Dindaadlmnt
Dindaadlmnt Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi Universitas Sumatera Utara

Tidak pernah terpikir bisa berada di bidang ini, tapi yang pasti aku sangat menyukai dan menikmati setiap goresan kata yang dibalut rapi dengan beragam diksi tentunya.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Berharga di Setiap Sudut

6 Januari 2025   11:54 Diperbarui: 6 Januari 2025   11:54 26
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Malam ini, tetesan air hujan yang tidak terkira jumlahnya jatuh bergantian membasahi lapisan bumi, menghasilkan alunan suara hujan yang terdengar bagai melodi yang sangat menenangkan di hati. Suara hujan seperti inilah yang disukai oleh seorang anak perempuan yang sedang terduduk di pojok kamar dengan menyandarkan kepalanya ke jendela. Alina Slavia, ya itulah namanya. Nama yang melekat memang seindah rupa dan wataknya, namun tidak dengan hidupnya semenjak meninggalnya sang ibu sebulan yang lalu. Tidak ada yang terasa indah lagi, semua terasa begitu hambar. Alina mengira hanya ibu yang hilang, namun ternyata semuanya, termasuk ayah, kasih sayang ayah, dan senyumannya, mereka ikut hilang bersamaan dengar terkuburnya jasad ibunya di hari itu.

"Bu, apa Ibu juga merasa kesepian di sana sama seperti yang alina rasakan sekarang?" Alina menatap ke arah langit sembari membayangkan wajah ibu di atas sana. Butiran air mata perlahan jatuh membasahi pipinya, hingga menjadi tangisan yang amat deras.

"Ibu...Ibu...Alina rindu. Ibu, tidak ada yang membutuhkan Alina di sini. Ajak Alina bersama Ibu. Alina mohon, Bu," pinta Alina di sela isakan tangisnya.

Setiap malam memang menjadi suasana terberat bagi Alina. Hatinya selalu dipenuhi dengan rasa rindu yang sangat mendalam kepada sang ibu dan juga kekosongan yang begitu menyelimuti hidupnya. Tidak ada yang bisa diajak untuk bertukar cerita. Alina hanya punya ayah. Namun, ayahnya selalu menyibukkan diri dengan bekerja, tanpa pernah bertanya mengenai keadaan anaknya.

Di dalam kesendiriannya, tiba-tiba suara lembut khas seekor kucing kesayangannya menyelinap masuk ke dalam keheningan. "Miaww...Miaww."

Alina menoleh ke sumber suara, "Mochiku." Kedua sudut bibir Alina terbentuk ketika melihat kucing kesayangannya muncul dari balik pintu.

"Sini Mochi." Alina merentangkan tangannya. Seakan mengerti namanya dipanggil, kucing tersebut langsung berjalan mendekat ke arah Alina. Sorot mata Mochi yang penuh kasih terlihat memancarkan kehangatan, seolah ia tahu bahwa pemiliknya sedang membutuhkan sebuah hiburan.

"Mochi kamu dari mana saja sih?" tanya Alina sembari membelai lembut bulu halus milik Mochi. Yang ditanya pun hanya diam, mana mungkin hewan bisa menjawab pertanyaan manusia. Akan menjadi suatu keajaiban jika Mochi bisa berbicara.

Belaian demi belaian yang diberikan Alina kepada Mochi mampu membuat kesedihan Alina teralihkan. Mochi pun terlihat merespon pergerakan Alina dengan menggosok-gosokkan kepalanya ke tangan Alina. Hal itu menimbulkan efek geli di diri Alina yang membuatnya tertawa kecil. Tidak sampai di situ, selanjutnya Mochi pun terlihat berusaha meraih wajah Alina dengan kedua kakinya. Alina yang paham langsung membantu usaha Mochi dengan lebih mendekatkan wajahnya. "Nih, bebas kamu mau ngapai muka aku. Asal jangan di cakar ya, awas aja."

Mochi mengeong seakan mengerti perkataan Alina. Ia lalu mengusap-usap dengan lembut pipi Alina menggunakan kaki-kaki mungilnya. Hal itu membuat si pemilik pipi tersenyum gemas. Di sela tingkah gemasnya itu, Mochi juga terus menerus memperdengarkan suara nyaring khas kucing layaknya seperti orang yang sedang mengoceh panjang lebar. Mungkin jika diterjemahkan, Mochi itu mengatakan, "Alina, jangan sedih lagi. I'm here, don't feel lonely. Okay?" Begitulah kira-kira terjemahan bahasa kucing Mochi.

"Ih kamu sweet banget si. Kamu paham ya kalau aku lagi sedih." Alina memeluk tubuh mungil Mochi sembari menciumnya. Sungguh, kehadiran Mochi bisa menenangkan Alina. Walaupun Mochi adalah seekor kucing yang tidak bisa diajak berbicara, namun Alina menyadari hewan seperti Mochi juga bisa merasakan kesedihan yang sedang dialaminya.

"Mochi karena kamu sudah menghibur aku, aku kasih wishkas deh. Mau ga?" tanya Alina sembari meraih bungkus makanan Mochi dan langsung menuangkannya ke lantai.

Dengan semangat, Mochi langsung melompat dari pangkuan Alina dan meraih makanan yang diberikan oleh pemiliknya itu.

Tok...tok...

Suara ketukan pintu membuat Alina terperenjak kaget. Dengan sigap, Alina langsung berdiri dan bergegas membukakan pintu untuk orang tersebut.

"Ayah." Satu kata yang terucap dari bibir Alina ketika membuka pintu rumah. Terlihat seorang pria berusia 35 tahun berdiri tegak sembari mengusap-usap tangannya karena kedinginan.

"Ayah kehujanan ya? Ayah langsung mandi aja ya, biar gak sakit," pinta Alina sedikit khawatir.

Sang ayah hanya menatap sekilas ke arahnya. Tanpa berkata apa-apa, pria itu melenggang masuk ke rumah dan meninggalkan Alina dengan tatapan yang masih menunggu sahutannya. Sesak, itulah yang dirasakan Alina. Sosok ayah terlihat semakin dingin di mata Alina untuk setiap harinya. Padahal sebelumnya, ayah Alina adalah seseorang yang sangat penyayang. Tanpa sadar, air mata Alina kembali jatuh. Ia merindukan ayahnya yang dulu.

Keesokan harinya, Alina terlihat tampak terburu-buru dalam mempersiapkan perlengkapan sekolahnya. Sesekali ia tampak melihat ke arah jam di dinding. Waktu menunjukkan pukul 07.00, tetapi ia masih berada di rumah. Apalagi alasannya kalau bukan karena bangun terlambat. Kebanyakan main dengan Mochi membuatnya tidur terlalu larut tadi malam.

"Mochi, aku sekolah dulu ya," pamit Alina sembari memakai tasnya.

Melihat Alina yang hendak berjalan keluar, Mochi pun langsung berlari mengikutinya. Tidak lupa disertai dengan suara miaw Mochi yang terdengar menggemaskan. Alina masih sempat menunda langkahnya untuk mengelus lembut bulu Mochi sejenak, walaupun ia tahu bel bentar lagi akan berbunyi. "Is kamu di rumah aja, aku nanti pulang kok. Kamu main sama kucing tetangga dulu," kata Alina.

Mochi semakin menunjukkan berbagai tingkahnya seakan memberi isyarat ia tidak mau ditinggalkan. Dengan penuh manja, ia malah menggeliat di kaki Alina, tidak memberikan kesempatan kepada Alina untuk bisa berjalan bebas. Alina merasa Mochi menunjukkan perilaku yang tidak biasa. Pandangan mata Mochi juga terlihat sayu seolah mencoba menyampaikan pesan yang tidak dapat diucapkannya.

"Mochi, kamu kenapa hei?" Alina mengangkat tubuh Mochi. Ia menyadari bahwa tingkah Mochi menunjukan kekhawatiran.

"Aku tau, kamu mau aku tetap di sini untuk bermain sama kamu. Tapi gak bisa dong, kan aku harus sekolah. Gak papa ya aku tinggal dulu? Aku bakal baik-baik aja kok," kata Alina menenangkan. Tanpa berlama-lama lagi, Alina segera menurunkan Mochi dan berlari pergi meninggalkan Mochi yang semakin mengeong dengan keras.

Memang, jarak dari rumah Alina ke sekolah tidaklah jauh. Hanya perlu keluar dari gang rumahnya dan melewati satu lampu merah saja untuk bisa sampai ke sekolahnya itu. Biasanya, hanya perlu waktu 5 menit untuk sampai ke sana dengan berjalan kaki. Namun karena dirinya sudah terlambat, ia pun memutuskan untuk lari dengan sangat kencang. Alina semakin panik karena satu menit lagi bel akan berbunyi. Di tengah kepanikannya itu, ia berlari tanpa melihat ke arah lain. Sepeda motor yang dikendarai oleh seorang pemuda mengarah kencang ke arahnya.

Brakk...

Suara tabrakan membuat banyak pasang mata langsung mencari sumbernya. Mereka terkejut ketika melihat kejadian tersebut. Sepeda motor itu menabrak Alina hingga tubuhnya tepental jauh. Darah segar mengalir dari beberapa bagian tubuh Alina yang menyebabkan baju sekolahnya yang bewarna putih ikut berubah warnanya dan terkoyak. Sementara pemuda yang menabraknya tadi, hanya terluka di bagian tangan dan kakinya. Semua orang di sana segera menghampiri Alina dan pemuda tersebut untuk ditolong. Ungkapan rasa kasihan juga datang dari beberapa mulut di sana setelah melihat keadaan Alina. Namun dari mulut Alina sama sekali tidak ada rintihan kesakitan, ia pingsan setelah kejadian itu.

"Alina."

Di sinilah Alina sekarang berada, di ruangan beraroma obat dengan berbagai alat medis yang sudah tertempel di tubuhnya. Kecelakaan tadi membuat Alina belum sadarkan diri sampai detik ini. Luka yang ada di luar tubuhnya juga sudah turut dibersihkan oleh petugas rumah sakit, termasuk di bagian kepala juga tampak diperban putih. Darahnya masih terus mengalir, hal itu membuat perawat beberapa kali mengganti perbannya.

"Dok, bagaimana anak saya?" tanya seorang pria dengan rasa khawatirnya.

"Sejauh ini kami masih belum bisa memastikan untuk luka dalamnya, Pak. Akan tetapi, yang bisa saya kasihtau Cuma terkait pendarahan Alina yang masih sulit untuk dihentikan. Kami masih berusaha untuk meredakan pendarahannya agar dia tidak kehilangan banyak darah. Bapak doakan saja ya, support dia di alam bawah sadarnya untuk mau membuka matanya karena itu akan berpengaruh buat dia Pak, " jelas dokter wanita itu yang kemudian pergi menjauh.

Mendengar penjelasan dari dokter tersebut, pria itu berjalan gontai ke arah ranjang yang menjadi tempat Alina terbaring. Gemetar di tubuhnya seketika menjalar. Pria itu merasakan sakit melihat Alina yang terbaring di sana dipenuhi dengan berbagai alat medis. Dengan tangannya yang gemetar, pria itu mengusap lembut rambut putrinya itu. "Alina," panggilnya.

"A-Alina, ayo ba-bangun," ucapnya terbata-bata akibat tangisnya yang mulai terbentuk.

"Alina, kamu dengar Ayah kan? Bangun Alina, bangun!" perintah pria yang diketahui adalah ayah Alina.

"Ayah mohon, bangun. Dua kali ayah menyaksikan orang yang Ayah sayangi di posisi seperti ini. Ini sangat menyakitkan buat Ayah. Cukup ibumu yang berada di posisi seperti ini dan meninggalkan Ayah, kamu jangan Alina. Hanya kamu yang Ayah punya."

Ayah Alina masih terus mengajak Alina untung membuka matanya. Di sela ketidaksadarannya, jiwanya malah berada di suatu tempat yang sangat indah. Tempat itu dipenuhi dengan bunga-bunga indah beragam warna dan pepohonan yang berbuah sangat lebat. Banyak anak-anak yang usia di bawahnya bermain riang di sana, membentuk suasana yang begitu ramai. Pemandangan tersebut membuat kedua sudut bibir Alina melengkung sempurna. Matanya bergerak ke sana kemari seperti dirinya saat ini. Ia tidak tahu tempat apa ini dan kenapa ia bisa berada di tempat seperti ini. Tetapi yang pasti ia sangat menyukai tempat ini.

"Alina," panggil seseorang yang suaranya terasa begitu familiar.

Alina segera membalikkan tubuhnya. Betapa terkejut dia saat melihat sosok yang kini ada di hadapannya, sosok yang selalu ia rindukan. "I-ibu."

Perasaan rindu Alina yang teramat dalam membawa Alina bergerak untuk memeluk ibunya. "Ibu, Alina rindu banget. Jangan tinggalin Alina lagi, Bu."

Seyuman manis juga terukir dari wajah ibu Alina. "Ibu juga rindu sama Alina," sahut sang ibu disertai dengan belaiannya yang begitu lembut.

Alina melepaskan pelukannya dari sang ibu sejenak dan berkata "akhirnya Alina bisa ketemu lagi sama Ibu. Alina senang banget kita bisa bersama-sama lagi."

Bersamaan dengan apa yang dilontarkan Alina, kedua pelipis ibu Alina mengerut. Tidak butuh waktu lama, akhirnya ibunya mengerti maksud dari perkataan anaknya itu. "Tapi ini belum waktunya, Sayang." Ibu Alina menangkup wajah bulat Alina dnegan menggunakan kedua tangannya. "Apa maksud, Ibu?" tanya Alina sedikit menaikkan nada bicaranya.

"Waktu kamu di dunia masih panjang, Sayang," jawab ibu sejujurnya. Alina menatap sang ibu dengan ekspresi yang tidak dapat dijelaskan. Ia merasa sangat terkejut, kecewa, marah, sedih, dan juga bingung.

"Kenapa Ibu berbicara seperti itu? Alina mau sama Ibu saja di sini. Alina gak mau hidup lebih lama lagi di dunia, Bu." Tangis Alina kini pecah. Hal itu membuat sang ibu dengan sigap menghapus air matanya yang telah mengalir deras. Pelukannya pun ia hamburkan di tubuh mungil Alina.

"Alina, banyak orang di dunia itu yang masih membutuhkan hadirmu. Karena bagi mereka, kehadiranmu adalah hal yang berharga, Sayang."

"Tidak ada yang menganggap Alina berharga di sana Ibu, tidak ada. Alina sendirian, Bu. Alina kesepian. Tidak ada yang mau berteman dengan Alina, bertukar cerita, atau mungkin hidup bersama Alina," lirih Alina.

Alina menarik napasnya dalam-dalam sebelum melanjutkan perkataannya lagi. "Bahkan, termasuk Ayah," sambungnya.

Ibu Alina menggelengkan kepalanya sembari mengatakan, "tidak, Alina. Kamu itu sangat berharga buat ayah kamu."

"Ibu bohong kan? Bagaimana bisa Ibu bilang kalau Alina berharga di mata Ayah, sedangkan Alina yang melihat perubahan sikap Ayah yang semakin dingin di setiap harinya," jelas Alina yang membuat dadanya terasa begitu sesak.

Tangisnya semakin hebat, Ibunya juga hanya membiarkannya tenang dalam pelukannya. Namun, di keheningan itu, sebuah suara terdengar menggema di tempat Alina berada. "Alina, buka mata kamu Sayang."

Alina melepas pelukan sang ibu sembari mencari sumber suara tersebut. "Siapa itu?" teriak Alina.

"Alina, bangun. Maafin Ayah yang tidak pernah memperhatikanmu semenjak meninggalnya Ibu. Alina, buka mata kamu Sayang." Suara itu terdengar lebih keras dari sebelumnya. Isakan tangis juga kerap mengikuti kalimat-kalimat yang terdengar.

"Ayah." Alina terus mencari asal suara itu. "Ibu, itu Ayah?" tanya Alina yang langsung mendapatakan anggukan kecil dari ibunya.

"Alina, Ayah di sini." Alina membalikkan badannya ketika mendengar suara tersebut. Kini, yang ada dihadapannya adalah sang ayah yang sedang menggendong Mochi. Ayah terlihat sangat berbeda kali ini. Senyumannya terukir seperti dulu, tatapannya penuh dengan kasih sayang, dan suaranya kali ini juga mampu menyejukkan hati. Alina melihat karakter lama ayahnya yang sangat dirindukannya.

"Ayah di sini?" tanya Alina tak percaya. Ayah tersenyum sembari mengangguk. "Ayah mau ajak kamu pulang, Sayang."

Alina mengerutkan dahinya bingung, "pulang?"

"Iya Alina, pulang ke rumah kita."

Alina menggeleng keras. "Engga Ayah, Alina gak mau. Di rumah itu Alina kesepian, Ayah gak memperdulikan Alina. Alina memang gak seberharga itu di mata Ayah."

"Kamu salah, Alina. Kamu justru sangat berharga di mata Ayah. Mungkin, kamu merasa memang sikap Ayah semakin dingin ke kamu. Tapi sebenarnya Ayah sangat peduli kepadamu, kamu sangat berarti buat Ayah. Kehilangan ibumu membuat Ayah sangat terpuruk. Ayah tahu kamu juga merasakan hal yang sama. Namun bagi ayah, melihat wajahmu yang begitu mirip dengan ibumu membuat ayah semakin terpuruk. Ayah semakin merasakan kehilangan yang selalu berujung dengan tangisan yang tidak ada henti dan membuat Ayah tidak ada gairah untuk melakukan apa-apa. Ayah gak mau lemah sayang. Kalau ayah lemah, kehidupan kamu akan terancam. Pendidikanmu, makanmu, pasti akan terancam jika Ayah lemah, " jelas ayah yang kemudian meraih kedua tangan Alina.

"Kalau ayah memang tidak bisa melihat wajah alina, lebih baik alina di sini kan?" ayah tidak akan pernah melihat wajah alina, ayah juga tidak akan menjadi lemah lagi." Alina menyeka air matanya.

"Bukan seperti itu, alina. Ayah cuma membutuhkan waktu, Nak. Mungkin, sebelumnya Ayah berfikir semuanya akan berjalan normal. Namun, setelah melihatmu begini Ayah sadar seharusnya kita berusaha bangkit bersama. Alina walaupun sedikit terlambat, izinkan Ayah untuk memperbaiki semuanya. Ayo ikut ayah untuk kembali ke dunia, Nak. Kita ukir bersama bahagianya kita di atas bayangan Ibu," ajak ayah. Alina tertegun mendengar perkataan ayah. Sorot mata ayah terlihat begitu tulus untuk mengajaknya kembali.

"Alina ayo kembali. Tidak hanya untuk ayahmu, hadirmu juga sangat berharga untukku. Aku masih membutuhkanmu." Kali ini Mochi yang berbicara.

Ekspresi Alina berubah, ia terkejut mendengar siapa yang sedang berbicara. "Mochi, kamu bisa bicara? Kamu gak miaw miaw lagi?" tanya Alina yang kemudian meraih tubuh Mochi.

Mochi tertawa, hal itu semakin membuat alina melotot. "Ya iyalah, keren gak aku kalo bisa berbicara? Gantengkan suaraku yang sebenarnya? Suara telponable gak nih?" kata Mochi di sela tertawanya.

Mendengar hal itu, Alina semakin memeluk erat tubuh mochi karena gemasnya. Ia tak menyangka kucingnya bisa berbicara di sini. "Mochi, kamu lucu banget."

Ketika mereka berpelukan, Mochi kembali membuka suara. "Alina, kembali ya? Wishkasku terancam kalau tidak ada kamu nantinya. Apa jadinya aku kalau tidak ada wishkas ya? Pasti tubuh gemuk, lucu, menggemaskan ini akan menjadi kurus seperti lidi," kata Mochi yang membuat Alina spontan membulatkan matanya.

"Jadi alasan utama kamu minta aku kembali itu karena wishkasmu, Mochi?" teriak Alina karena merasa sedikit kesal. "Ah, kalau gitu aku di sini saja," sambung Alina lagi.

"Bercanda, Alina. Ini bukan semata karena wishkas. Aku memang membutuhkan kehadiranmu di dunia. Selama setahun ini, aku menganggapmu sebagai satu-satunya keluargaku. Caramu menyayangiku, tidak pernah kurasakan dari tangan yang lain. Alina, mungkin di dunia aku tidak bisa berkata panjang lebar seperti ini karena bahasa miawku yang tidak pernah dipelajari oleh manusia. Tapi kamu harus selalu tau, kamu itu sangat berharga buatku Alina, lebih dari hidupku sendiri. Tidak hanya untukku, tapi bagi semua makhluk di bumi yang sempat merasakan kasih sayangmu. Sekali lagi kutegaskan, di setiap sudut manapun, hadirmu akan selalu berharga Alina. Tolong tetaplah hidup sampai kamu menemukan kebahagianmu. Kembalilah, Alina." Perkataan Mochi meruntuhkan egonya. Alina terharu mendengar setiap kata yang disusun oleh Mochi. Dengan senyum yang terbentuk, ia mengusap lembut kepala Mochi. Alina luluh, ia mengangguk sebagai jawaban setuju untuk kembali. Rasa setuju Alina juga membuat ayah dan ibunya tersenyum senang.

"Ayo Sayang," ajak ayahnya sembari menarik tangan kanan Alina.

Alina tersenyum dan menganggukkan kepalanya. "Ayo Bu," ajak Alina kepada ibu. "Tidak, Sayang." Ibu menolak sembari menggelengkan kepalanya. Senyumnya pudar setelah itu.

"Kenapa? Ayo ikut bersama Alina, Bu." Alina menatap ibunya dengan penuh pengharapan.

"Tempat Ibu sudah di sini, Sayang. Nanti kalau sudah waktunya, kita berkumpul di sini ya. Ibu tunggu kalian," kata sang ibu. Alina kembali menangis. Bersamaan dengan tangisannya itu, semua yang di hadapannya perlahan menghilang, termasuk ibu. Ia juga kembali ke tubuhnya yang sedang terbaring.

"Alina, bangun. Buka mata kamu, Sayang." Suara itu membuat Alina mencoba membuka matanya perlahan. Cahaya di ruangan itu tampak terlalu silau di matanya. Sang ayang yang menyadari Alina telah sadar pun langsung bangkit memeluk tubuh Alina.

"Alina, akhirnya kamu mau membuka matamu. Maafkan Ayah ya," kata ayah dengan nada menyesalnya.

Ayah mengusap rambut Alina. "Ayah salah Alina. Ayah terlalu mementingkan ego Ayah. Ayah terlalu bersikap dingin kepada kamu, padahal Ayah tau kamu juga sama merasa kehilangan sosok ibu. Ayah..."

"Ayah, cukup. Alina tau alasan Ayah kok. Alina paham," ucap Alina dengan lembut disertai senyum kecilnya.

Ayah memasang ekspresi bingung. "Tau alasan Ayah?"

Alina mengangguk dan kembali memeluk ayahnya dengan erat. "Sembuh bersama Alina ya, Ayah."

Tidak ada percakapan yang terjalin setelah itu. Mereka hanyut dalam pelukan, sembari menumpahkan segala rasa yang selama ini tertahankan lewat tangisan. Ayah Alina kini telah kembali. Senyumannya bisa Alina lihat secara langsung saat ini. Tidak ada perasaan yang bisa menyangkal, sosok ayah memang sangat berharga buat Alina. Begitupun sebaliknya, Alina adalah sosok berharga untuk ayahnya dan juga Mochi pastinya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun