Mohon tunggu...
Dindaadlmnt
Dindaadlmnt Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi Universitas Sumatera Utara

Tidak pernah terpikir bisa berada di bidang ini, tapi yang pasti aku sangat menyukai dan menikmati setiap goresan kata yang dibalut rapi dengan beragam diksi tentunya.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Menjelang Kepergiannya (Bagian 2)

7 November 2023   20:53 Diperbarui: 11 November 2023   18:21 134
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerbung. Sumber ilustrasi: pixabay.com/Yuri B

Di tengah kesibukanku merawat nenek, aku sampai melupakan jadwal kuliahku yang sebentar lagi akan segera dimulai. Segala persiapan untuk kembali ke kos seharusnya sudah terselesaikan di hari ini karena mengingat besok aku akan kembali ke kota yang menjadi tempatku melanjutkan pendidikan. 

Namun karena jiwa jompoku yang mulai merasuki justru membuat aku hanya menidurkan diri di sebelah Nenek sembari bermain hp pastinya. Ocehan Ibu kepadaku pun sudah sedari tadi aku dengar. Tetapi ya tetap saja, aku masih belum bergerak dari posisi awalku. Sesekali aku melihat ke arah Nenek untuk memastikan keadaannya, akan tetapi ia hanya terdiam dengan tatapan kosongnya. 

"Nek, mau apa?" tanyaku sengaja untuk membuyarkan lamunannya. Nenek hanya menggelengkan kepala sebagai jawaban. Aku menyadari, semakin hari Nenek semakin tidak mau berbicara dan tidak cerewet seperti Nenek yang aku kenal sebelumnya. Ia sering sekali melamun, tidak tahu apa yang sedang dilamunkannya. Kebungkamannya justru membuat perasaan khawatir kami muncul, terutama Ayahku. 

Aku pernah tidak sengaja melihat Ayahku menangis setelah melihat Nenek yang terbaring tak bersuara, tidak seperti biasa mungkin itu yang membuat kesedihan Ayahku melimpah. Sunyinya suasana di sore itu, membuat aku memikirkan momen bersama Nenek sebelum sakit ini. Kenangan masa kecilku bersamanya terlintas begitu saja. 

Aku gamau Nenek tinggalin aku, begitulah batinku seakan menyuarakan tangis yang sudah pecah saat ini. Aku mengelus kedua tangannya yang membengkak, hatiku semakin tersayat melihat keadaan nenek sekarang. Di tengah tangisku aku terkejut setengah mati karena mendengar Nenek menjerit sembari menirukan suara ayam betina.

"petok petok petok." Nenek menirukannya dengan posisi tubuh yang menjadi kaku disertai matanya yang melotot lebar. Aku semakin menangis dan memanggil seluruh keluargaku untuk melihat Nenek. 

"Ayah, Ibu, Kak. Tengok nenek!" jeritku yang membuat semua orang lari dan memunculkan wajah panik mereka.

"Kenapa dek?" tanya Ibu diikuti pandangan mereka yang langsung mengarah ke arah Nenek.

Mereka juga terkejut melihat Nenek yang masih melototkan matanya sambil menirukan suara ayam betina lagi. "Mak istighfar," ucap Ayahku panik sembari mengusap-usap rambut nenek.

Selama hampir 5 menit nenek berada di dalam kondisi seperti itu, yang membuat tangis semua orang pecah saat itu juga. Ayah masih berusaha mengajak Nenek untuk mengucapkan istighfar, dan bersyukurnya Nenek kembali ke kondisi normalnya. Setelah mulai membaik, Ibu pun bertanya ke Nenek "Kenapa Mamak tadi?"

Nenek tidak langsung menjawab, tetapi kami masih menantikan jawabannya. "Ayam di rumah sana petok-petok," kata nenek. Jawaban Nenek memang tidak masuk akal di telinga kami. Namun, kami memilih untuk tidak membahasnya lagi. Walaupun nenek memberikan jawaban yang tidak masuk akal, tetapi kami bersyukur ia mau berbicara lagi.

Semenjak Nenek sakit, memang ada saja kejadian aneh yang sebelumnya memang belum pernah kami lihat atau juga kami dapatkan. Ayah juga pernah bercerita kepada kami sehari setelah kedatangan Nenek ke rumah. Saat itu ayah masih berada di rumah nenek dengan suaminya yang daerahnya sangat jauh dari rumah kami. Katanya, banyak kejadian yang tak terduga saat itu.

Misalnya, ayah pernah melihat air yang tidak meresap ke tilam tempat tidur padahal jika kita memikirkan dengan pikiran yg jernih mana mungkin hal itu terjadi. Ada juga kejadian lainnya, di mana pintu kamar mandi terkunci sendiri dari dalam padahal posisi pintu berat dan memang bisa ditutup hanya dari dalam kamar mandi saja. Wajah nenek pun kian berubah ubah di setiap harinya. Kadang menyeramkan, kadang bersinar dan kadang seperti orang yang berbeda. Selain itu, kejadian aneh lainnya ketika diperjalanan dalam membawa Nenekku, mobil Ayahku mengalami kerusakan yang masalahnya selalu di bagian yang sama. Padahal bagian itu telah benar benar diperiksa, diganti, dan diprediksi sudah aman. Ayahku juga pasti panik karena membawa nenek dengan keadaan rumit seperti itu. 

Ayah bilang daerah itu bisa dilewatin hanya butuh kurang lebih 1 jam saja, tapi ayah dibuat heran kenapa butuh waktu hampir 5 jam baru bisa keluar dari daerah tersebut padahal jalan raya sedang tidak macat dan kondisi jalan pun tidak buruk.

Kami duduk terdiam di sebelah Nenek sambil meratapi apa yg terjadi. Terlihat Nenek yang mulai memejamkan mata. Karena kami tidak ingin nenek terganggu, kami memutuskan pindah duduk di ruang tamu. Pembicaraan pun dibuka pertama kali oleh Ayah.

"Kita doain nenek ya. Besarin rasa ikhlas kita untuk apa yang ditakdirin Allah buat Nenek juga ya," ucap Ayah yang berusaha memasang kekuatan di diri kami. Kami hanya terdiam dengan tangis yang sesekali masih terdengar suaranya. Berbagai nasihat lainnya juga diberikan Ayah dan Ibu kepadaku mengingat aku akan kembali menjalani hidup sendiri di perantauan. Tangis semakin pecah seakan di hari itu memang waktunya kami untuk menangis bersama.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun