Konflik antara Hizbullah dan Israel merupakan salah satu isu utama dan berkepanjangan di Timur Tengah, yang memiliki akar mendalam dan dampak luas. Artikel ini bertujuan untuk memahami penyebab utama konflik ini, mengeksplorasi dinamika yang terlibat, serta menganalisis dampaknya terhadap kawasan dan dunia internasional. Hizbullah, kelompok milisi Syiah berbasis di Lebanon, memiliki sejarah panjang perselisihan dengan Israel yang dipicu oleh berbagai faktor politik, agama, dan teritorial. Konflik ini telah menghasilkan siklus kekerasan berulang, memperburuk ketegangan sektarian, dan mempengaruhi stabilitas regional. Dengan menelusuri sejarah konflik, strategi kedua pihak, dan intervensi internasional, artikel ini juga mengevaluasi peluang tercapainya perdamaian. Penelitian ini menemukan bahwa meskipun terdapat upaya mediasi dan inisiatif perdamaian, berbagai hambatan struktural dan kepentingan yang bertentangan membuat solusi permanen sulit dicapai. Meskipun demikian, pemahaman mendalam tentang dinamika konflik ini tetap penting untuk merumuskan kebijakan yang lebih efektif dalam mencapai stabilitas dan perdamaian di kawasan tersebut.
Hizbullah dibentuk pada tahun 1982 sebagai reaksi terhadap invasi Israel ke Lebanon. Organisasi ini memiliki ideologi yang kuat berdasarkan Islam Syiah dan didukung oleh Iran, dengan tujuan utama mengusir pasukan Israel dari Lebanon Selatan dan membela hak-hak Syiah di Lebanon. Ketegangan sering kali meningkat menjadi konflik militer, dengan perang besar terjadi pada tahun 2006I (Nasution, 2019). Hizbullah menggunakan taktik perang gerilya dan serangan roket ke wilayah Israel, sementara Israel merespon dengan serangan udara dan invasi darat ke Lebanon Selatan. Keterlibatan aktor regional seperti Iran dan Suriah memperumit konflik. Iran menyediakan dukungan finansial dan militer kepada Hizbullah, sementara Israel menerima dukungan dari Amerika Serikat. Ini menambah lapisan kompleksitas geopolitik di kawasan Timur Tengah. Konflik ini memiliki dampak yang luas di berbagai aspek. Dari sisi kemanusiaan, konflik menyebabkan korban jiwa dan kerusakan infrastruktur yang signifikan di kedua belah pihak. Ribuan warga sipil terluka atau tewas, dan banyak yang terpaksa mengungsi dari rumah mereka. Secara politik dan sosial, konflik memperkuat polaritas di Lebanon dan Israel.
Hizbullah telah tumbuh menjadi kekuatan politik yang signifikan di Lebanon, mempengaruhi kebijakan dalam negeri dan hubungan internasional LebanonII (Alshaer A, 2014). Dari sisi ekonomi, ketegangan yang berkelanjutan menghambat pembangunan di wilayah yang terkena dampak. Investasi asing dan pariwisata terpengaruh negatif, yang berkontribusi terhadap kemiskinan dan ketidakstabilan ekonomi di Lebanon. Prospek perdamaian antara Hizbullah dan Israel memerlukan berbagai pendekatan strategis. Dari segi diplomasi internasional, upaya yang dipimpin oleh PBB dan kekuatan internasional lainnya sangat penting untuk memfasilitasi dialog antara kedua belah pihak. Kesepakatan gencatan senjata dan perjanjian jangka panjang bisa menjadi langkah awal untuk mengurangi ketegangan. Di tingkat lokal, inisiatif rekonsiliasi yang melibatkan pemimpin komunitas dan organisasi non-pemerintah dapat membantu memperbaiki hubungan antarwarga. Programprogram pembangunan ekonomi dan pendidikan dapat berkontribusi pada pengurangan radikalisasi dan mendukung perdamaian jangka panjang. Selain itu, mengurangi pengaruh eksternal dalam konflik ini, terutama dari Iran dan Amerika Serikat, bisa menciptakan lingkungan yang lebih kondusif untuk perdamaian. Negara-negara regional seperti Arab Saudi dan Mesir dapat berperan dalam mediasi dan upaya pengurangan ketegangan III(Akbarzadeh, 2016)
Dinamika Timur Tengah sangat rumit dan sulit dipahami, terutama bagi mereka yang tidak terbiasa mengkaji wilayah ini. Kompleksitasnya mencakup kepentingan ideologi, ekonomi, dan masalah identitas. Banyak pengkaji Timur Tengah sering gagal memahami dinamika kawasan yang selalu dilanda konflik ini karena terlalu fokus pada pendekatan realisme atau nonrealisme, sementara pendekatan konstruktivisme kurang diperhatikan. Padahal, kedua pendekatan tersebut penting untuk mendapatkan pemahaman yang menyeluruh tentang apa yang sebenarnya terjadi di Timur Tengah. Rezim di Timur Tengah tidak hanya mengandalkan ekuatan militer, tetapi juga kemampuan mereka dalam bernegosiasi untuk memperkuat erjasama antar negara. Identitas Arab memang penting, namun kenyataannya, mereka juga sangat dipengaruhi oleh aktor-aktor luar, terutama selama masa Perang Dingin. Ada aspek dinamis dan statis yang menunjukkan perubahan sosial budaya di kawasan ini. Menurut konstruktivisme, perilaku aktor dalam hubungan internasional tidak dapat diprediksi dan sangat tergantung pada interaksi sosial. Sementara itu, teori realisme, baik klasik maupun struktural, berpendapat bahwa aktor meningkatkan kekuatannya untuk mempertahankan keberadaan mereka. Dalam realisme, perilaku aktor bersifat independen karena kerjasama antaraktor dianggap tidak mungkin terjadi karena adanya konflik. Sebaliknya, konstruktivisme menyatakan bahwa aktor dapat saling mempengaruhi melalui identitas dan kepentingan mereka. Jika identitas dan kepentingan aktor menghasilkan hubungan kompetitif, maka akan terjadi persaingan. Namun, jika identitas dan kepentingan aktor terhubung secara positif, maka kerjasama dapat terjadi. Realisme menekankan aspek konflik, sementara idealisme berfokus pada kerjasama. Dalam konstruktivisme, konflik atau kerjasama tergantung pada bagaimana negara-negara sebagai aktor menciptakannyaIV
. (Machmudi, 2020)
Konflik antara Hizbullah dan Israel tidak hanya mencakup perbedaan ideologi atau sengketa
teritorial, tetapi juga mencerminkan ketegangan yang lebih luas di Timur Tengah yang
melibatkan berbagai aktor internasional dan regional. Untuk memahami konflik ini, diperlukan
pemahaman mendalam tentang dinamika politik, sejarah, dan sosial di Lebanon dan Israel,
serta peran negara-negara lain seperti Iran, Suriah, dan Amerika Serikat. Konflik ini didorong
tidak hanya oleh perbedaan ideologi tetapi juga oleh intervensi eksternal yang memperumit