Estafet kepemimpinan bangsa Indonesia akan segera beralih dan Pemimpin berikutnya akan ditentukan melalui pemilu mendatang. Dengan pelaksanaan pemilu secara serentak diharapkan membuat proses pesta demokrasi menjadi lebih bersih dari kepentingan-kepentingan tertentu terkait lobi-lobi atau negosiasi politik yang dilakukan oleh partai-partai politik sebelum menentukan pasangan capres-cawapres yang bakal diusung.Â
"Penyelenggaraan Pilpres harus menghindari terjadinya negosiasi dan tawar-menawar (bargaining) politik yang bersifat taktis demi kepentingan sesaat, sehingga tercipta negosiasi dan koalisi strategis partai politik untuk kepentingan jangka panjang," demikian yang tertulis dalam Putusan Mahkamah Konstitusi (MK).Â
Dengan dikabulkannya gugatan ini, penyelenggaraan Pemilu Legislatif dan Pemilihan Presiden 2019 dan seterusnya akan digelar serentak sehingga tak ada presidential threshold atau ambang batas pencalonan presiden untuk mengusung calon presiden dan wakil presiden. Namun, dengan diadakannya pemilihan legislatif dan eksekutif secara serempak banyak pihak yang menganggap akan memperbesar peluang terjadinya coattail effect sebagaimana yang terjadi di Amerika Serikat, Inggris dan Kanada. Mengapa demikian?
Efek coattail atau efek ekor jas  adalah kecenderungan seorang tokoh populer untuk menarik suara kandidat lain dari partai yang sama dalam suatu pemilu. Kejadian ini jelas terjadi di Amerika Serikat, dimana partai calon presiden yang menang seringkali juga memenangkan banyak kursi di Kongres; Para Anggota Kongres ini dipilih untuk menjabat "di bawah pengaruh" presiden.Â
Teori ini lazim di semua tingkat pemerintahan. Kandidat gubernur atau senator yang populer di seluruh negara bagian juga dapat menarik dukungan untuk pemilihan suara yang tidak menguntungkan dari partai mereka. Hal ini lazim terjadi di Inggris dan Kanada khususnya dalam pemilihan umum. Masyarakat mempunyai kecenderungan untuk memilih berdasarkan partai politik, bukan berdasarkan anggota parlemen di daerahnya. Hal ini juga mengacu pada fenomena bahwa anggota Senat atau Dewan Perwakilan Rakyat AS lebih mungkin dipilih pada tahun pemilihan presiden dibandingkan pada pemilu paruh waktu.
Presidential coattails adalah kemampuan seorang calon presiden untuk mendatangkan pendukung yang kemudian memilih calon dari partainya untuk jabatan lain. Akibatnya, kandidat-kandidat lain dikatakan mengikuti jejak kandidat presiden. Â
Dengan diadakannya pemilihan presiden bersamaan dengan pemilihan anggota legislatif, maka tentunya berdampak pada pilihan rakyat terhadap pasangan capres dan cawapres mempengaruhi pilihannya kepada calon anggota dewan dari partai pengusungnya. Hal ini tentu berakibat pada sinergitas antara eksekutif terpilih dengan anggota dewan di parlemen nantinya.
Namun, adakah dampak buruk dari coattail effect? Tentunya ada.
Kinerja calon anggota legislatif dan partai jadi tidak terlalu diperhatikan, dan bisa jadi menimbulkan rasa 'malas' kepada partai untuk memperlihatkan kinerja dan keunggulan partai dan calon calon legislatifnya karena dianggap sudah aman setelah mengusung seorang calon presiden.
Lantas apakah coattail effect terjadi pula di Indonesia? Mari kita tinjau Pemilu serentak pertama kali di Indonesia pada tahun 2019.
Pada pemilu 2019 terjadi pertarungan sengit antara Kubu Jokowi melawan kubu Prabowo. Kubu Jokowi Ma'ruf diantaranya didukung oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Nasional Demokrat (NASDEM), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) dan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI), Partai Golongan Karya (Golkar), Partai Bulan Bintang (PBB), Â Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan Partai Persatuan Indonesia (Perindo) atau lebih dikenal dengan sebutan Koalisi Indonesia Kerja.Â