Adapun kriteria yang disebutkan dalam UU PPMI bagi negara yang dapat menjadi tujuan penempatan, yaitu negara yang memunyai peraturan perundang-undangan yang melindungi tenaga kerja asing, telah memiliki perjanjian tertulis dengan pemerintah Indonesia, dan memiliki sistem jaminan sosial atau asuransi bagi pekerja asing. Hal-hal yang disyaratkan ini menjadi indikator yang baik untuk memastikan tempat kerja serta lingkungan kerja bagi pekerja migran merupakan tempat yang layak, sehingga ini merupakan kelebihan dalam aturan ini.
Dalam UU PPMI ini terdapat juga pengaturan terhadap pekerja dengan kerentanan ganda seperti pekerja migran perempuan, termasuk juga anak.Â
Dalam pasal 34 dinyatakan bahwa pelindungan sosial bagi calon dan pekerja migran yang dilakukan pemerintah pusat dan pemerintah daerah juga wajib dilakukan melalui kebijakan pelindungan kepada perempuan dan anak. Sayangnya, pengaturan pelindungan hukum, pelindungan sosial, dan pelindungan ekonomi, termasuk pembatasan negara dan pelindungan terhadap anak dan perempuan ini kembali diinstruksikan untuk diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Sama seperti pelindungan kerja, sampai saat tulisan ini ditulis belum ada Peraturan Pemerintah yang diterbitkan mengenai hal ini.
Selain pelindungan mengenai hak-hak pekerja migran, dalam UU PPMI juga mewajibkan adanya pelindungan terhadap jaminan sosial bagi pekerja migran, termasuk keluarganya.Â
Hal tersebut diatur dalam pasal 29 yang menyatakan penyelenggaraan program jaminan sosial bagi pekerja migran dan keluarganya merupakan bagian dari sistem jaminan sosial nasional yang dikelola oleh BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial).Â
Hal ini sangat baik, sebab pekerja migran juga merupakan pekerja, sehingga sudah selayaknya mendapatkan jaminan sosial terhadapnya. Lebih baik lagi, dalam peraturan ini pun BPJS juga diatur bagi keluarga pekerja, sehingga pekerja juga bisa bekerja dengan nyaman karena mengetahui keluarganya turut dijamin oleh negara.Â
Walaupun pada ayat (5) pasal tersebut dinyatakan bahwa ketentuan lebih lanjut secara khusus dengan Peraturan Menteri, berbeda nasib dengan pengaturan pelindungan kerja, pengaturan mengenai jaminan sosial bagi pekerja migran telah diatur lebih lanjut melalui Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 18 tahun 2018, sehingga ketentuan ini dapat terlaksana dengan relatif cepat.
Selain mengenai pekerja itu sendiri, UU PPMI juga mengatur mengenai tugas serta tanggung jawab pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Hal ini juga merupakan perkembangan dari peraturan sebelumnya dimana dalam UU PPTKILN tidak dipisahkan secara jelas tugas dan tanggung jawab pemerintah pusat dan daerah.Â
Dalam UU PPMI ini dijelaskan dengan rinci tugas dan tanggung jawab pemerintah dari pemerintah pusat, pemerintah daerah provinsi, pemerintah daerah kabupaten/kota, hingga pemerintah desa. Termasuk juga tugas-tugas kelembagaan baik dari kementerian dan pembentukan badan sebagai pelaksanaan kebijakan mengenai pekerja migran.
Selain banyaknya kelebihan dalam UU PPMI, terdapat beberapa ketentuan yang justru menjadi kelemahan dalam peraturan ini. Dimulai dari bagian umum, pada pasal 4 ayat (1) dinyatakan bahwa pekerja migran meliputi; pekerja migran Indonesia yang bekerja pada pemberi kerja berbadan hukum; pekerja migran Indonesia yang bekerja pada pemberi kerja perseorangan atau rumah tangga; dan pelaut awak kapal dan pelaut perikanan. Tiga kelompok yang disebut dalam Undang-Undang ini dapat dianggap sebagai kelompok pekerja migran yang sewajarnya.Â
Namun, pada kenyataannya, banyak pekerja migran yang tidak dipekerjakan pada pemberi kerja yang berbadan hukum resmi di negaranya, tetapi justru dijadikan budak dan obyek perdagangan manusia. Hal ini dipicu dari banyaknya agen penyaluran pekerja migran ilegal yang tidak mengikuti jalur pemerintah, sehingga para pekerja tidak mendapatkan hak-haknya sebagai pekerja migran yang layak.Â