Mohon tunggu...
adinda anyelir
adinda anyelir Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

saya sangat tertarik dalam dunia bahasa dan sastra Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Bullying dan Dampaknya: Kasus Dokter Muda Undip

20 Desember 2024   15:36 Diperbarui: 20 Desember 2024   15:43 33
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dunia pendidikan kedokteran di Indonesia dikejutkan oleh tragedi memilukan yang terjadi di salah satu perguruan tinggi ternama, Universitas Diponegoro (Undip). Seorang dokter muda berinisial (AR), yang baru saja menyelesaikan pendidikannya dan sedang menjalani masa koas (ko-asistensi), ditemukan tewas di kamar kost-nya (12/08/24). Setelah penyelidikan lebih lanjut, terungkap bahwa penyebab utama dari tindakan bunuh diri tersebut adalah tekanan mental yang dialaminya akibat perundungan (bullying) yang terjadi selama masa pendidikannya.

Perundungan yang dialami oleh korban bukan hanya berupa tekanan akademik, tetapi juga melibatkan intimidasi, perlakuan diskriminatif, dan ucapan yang merendahkan dari rekan sejawat maupun pihak-pihak lain di lingkungan kerjanya. Kasus ini mengungkap sisi kelam dari budaya pendidikan di institusi yang seharusnya menjadi tempat pembentukan profesionalisme dan karakter positif. Alih-alih mendapat dukungan moral, korban justru menghadapi lingkungan yang penuh dengan toxic competition dan tekanan sosial, yang pada akhirnya meruntuhkan kesehatan mentalnya.

Tragedi ini bukan hanya menjadi duka bagi keluarga dan sahabat korban, tetapi juga menjadi tamparan keras bagi dunia pendidikan di Indonesia. Tragedi ini mengundang berbagai reaksi dari masyarakat, terutama di media sosial, yang mengecam perilaku bullying dalam lingkungan akademik. Lebih dari itu, kasus ini menyadarkan kita semua akan pentingnya menciptakan lingkungan pendidikan yang sehat, suportif, dan bebas dari segala bentuk kekerasan, baik fisik maupun mental. Kasus ini relevan dengan pembahasan dalam proyek siniar tentang tiga dosa besar pendidikan: bullying, intoleransi, dan kekerasan seksual. Perundungan dalam kasus ini menunjukkan bagaimana bahasa—baik verbal maupun nonverbal—berfungsi sebagai alat kekuasaan yang dapat merusak.

Berdasarkan teori Saussure tentang tanda, kita dapat melihat hubungan antara penanda (signifier) dan petanda (signified) dalam fenomena perundungan ini. Penanda yang digunakan dalam perundungan—baik itu berupa kata-kata, gesture, atau sikap—berfungsi sebagai alat untuk merepresentasikan kekuasaan, dominasi, dan marginalisasi. Tindakan intimidasi atau ucapan merendahkan tidak hanya menunjukkan ketidakadilan terhadap individu, tetapi juga mencerminkan hubungan kekuasaan yang lebih besar dalam struktur sosial pendidikan. Petanda, atau makna yang ditransmisikan melalui tindakan dan kata-kata tersebut, menciptakan gambaran sosial yang menempatkan korban pada posisi yang terpinggirkan dan terisolasi. Dengan kata lain, perundungan dalam dunia pendidikan bukan hanya masalah individu, tetapi juga merupakan fenomena linguistik dan sosial yang terjadi dalam konteks yang lebih luas. Hal ini menunjukkan bahwa masalah perundungan adalah hasil dari struktur sosial yang menormalisasi tanda-tanda ketidakadilan.

Teori semiotik sosial juga mengingatkan kita tentang pentingnya memahami perundungan sebagai bagian dari kekuasaan yang lebih besar. Dalam konteks pendidikan, makna sosial yang terbentuk melalui tanda-tanda yang digunakan dalam perundungan mengarah pada struktur kekuasaan yang mendominasi. Ketika korban dipaksa untuk menerima makna yang ditransmisikan oleh tindakan perundungan, mereka menjadi bagian dari sistem sosial yang mengabaikan kesehatan mental dan kesejahteraan mereka. Ini memperlihatkan bahwa perundungan tidak hanya merusak individu, tetapi juga mengukuhkan sistem sosial yang penuh dengan ketidakadilan. Dalam kasus ini, teori semiotik memberikan wawasan tentang bagaimana komunikasi verbal dan non-verbal dalam perundungan membentuk dan mengukuhkan struktur sosial yang eksklusif dan merugikan.

Lebih lanjut, terlihat jelas relevansi kasus ini dengan pembahasan dalam siniar yang menyoroti tiga dosa besar pendidikan: bullying, intoleransi, dan kekerasan seksual. Kasus perundungan di Undip menunjukkan bagaimana bullying dapat merusak kehidupan individu dan menciptakan atmosfer sosial yang penuh dengan ketakutan dan kekerasan. Dalam hal ini, siniar berfungsi sebagai platform untuk mengangkat isu-isu penting dalam dunia pendidikan, memberikan ruang bagi diskusi tentang pentingnya menciptakan lingkungan yang aman, inklusif, dan suportif. Dengan menggunakan teori semiotik dan Saussure, siniar dapat mengeksplorasi bagaimana perundungan bukan hanya soal kekerasan fisik atau verbal, tetapi juga mengenai bagaimana makna sosial dibentuk dan dipertahankan dalam dunia pendidikan.

Melalui siniar, kita juga dapat memperkenalkan solusi-solusi praktis untuk mengatasi perundungan dan menciptakan perubahan positif dalam lingkungan pendidikan. Salah satunya adalah dengan mengedukasi masyarakat tentang pentingnya komunikasi yang lebih sehat dan empatik, serta mendorong pengembangan kebijakan pendidikan yang lebih responsif terhadap kebutuhan emosional dan psikologis mahasiswa. Dalam siniar, kita dapat mengangkat suara korban perundungan dan memberikan mereka platform untuk berbagi pengalaman serta mencari dukungan, sehingga masyarakat dapat lebih memahami dampak perundungan terhadap kesehatan mental dan kesejahteraan individu. Hal ini akan membuka ruang untuk dialog yang konstruktif tentang bagaimana mengatasi budaya perundungan yang merusak ini.

Kasus yang terjadi di Undip mengingatkan kita bahwa perundungan bukan hanya masalah individu, tetapi juga masalah sosial yang lebih besar. Untuk menciptakan perubahan, kita perlu memahami bagaimana perundungan berfungsi dalam struktur sosial pendidikan, dan bagaimana makna sosial dari tindakan perundungan ini dapat diubah. Melalui teori semiotik dan Saussure, kita bisa mendapatkan wawasan yang lebih dalam tentang bagaimana perundungan beroperasi dalam dunia pendidikan dan bagaimana kita bisa menciptakan lingkungan yang lebih adil dan suportif bagi semua individu. Untuk mewujudkan hal ini, kita harus mulai dari diri kita sendiri, dari ruang kelas hingga kebijakan pendidikan tingkat tinggi. Sebagai bagian dari masyarakat yang lebih luas, kita memiliki tanggung jawab moral untuk memastikan bahwa dunia pendidikan kita tidak hanya mencetak tenaga profesional yang unggul, tetapi juga individu-individu yang memiliki integritas, empati, dan kesadaran sosial. Kita semua harus bersama-sama menciptakan ekosistem pendidikan yang lebih manusiawi, yang memandang kesejahteraan psikologis dan emosional sebagai bagian integral dari proses pembelajaran.

Langkah-langkah nyata harus segera diambil. Reformasi sistem pendidikan harus mencakup kebijakan yang lebih mengutamakan keseimbangan antara prestasi akademik dan kesehatan mental. Semua pihak, mulai dari pemerintah, pihak universitas, hingga mahasiswa dan masyarakat luas, harus saling bekerja sama untuk memastikan bahwa tragedi serupa tidak terulang. Pendidikan harus menjadi tempat yang aman dan suportif, bukan medan perang yang memperburuk kondisi mental seseorang. Hanya dengan begitu, kita dapat mewujudkan pendidikan yang lebih baik, lebih inklusif, dan lebih berkeadilan.

Dengan demikian, mari kita jadikan peristiwa ini sebagai cambuk untuk bertransformasi. Pendidikan bukan hanya tentang mencetak lulusan yang pintar dan cerdas, tetapi juga individu yang memiliki kekuatan mental, kedewasaan emosional, dan rasa empati yang tinggi. Hanya dengan demikian, kita dapat menciptakan dunia pendidikan yang benar-benar menjadi alat untuk membangun generasi yang lebih baik, lebih bijaksana, dan lebih manusiawi.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun