Kasus penganiayaan yang menewaskan Dini Sera Afrianti yang dilakukan oleh Gregorius Ronald Tannur menjadi sorotan publik, terutama setelah penangkapan terhadapnya oleh Tim Intelijen Kejaksaan Tinggi Jawa Timur pada 27 Oktober 2024. Ronald Tannur, yang sebelumnya divonis bersalah dalam kasus penganiayaan berat yang menyebabkan kematian, ditangkap kembali setelah vonis bebas yang sempat diterimanya. Penangkapan ini mengungkap adanya dugaan suap yang melibatkan sejumlah hakim dan pengacara, serta memunculkan sejumlah pertanyaan etika profesi dan hukum pidana terkait proses peradilan di Indonesia.
Gregorius Ronald Tannur, yang berusia 27 tahun, sebelumnya dijatuhi hukuman dalam kasus penganiayaan yang mengakibatkan kematian Dini Sera Afrianti. Tindakannya yang kasar menyebabkan kekasihnya itu tewas akibat penganiayaan berat, sebagaimana diatur dalam Pasal 351 ayat (3) KUHP. Namun, pada proses peradilan yang berlangsung, vonis bebas yang diterimanya mengejutkan banyak pihak. Penangkapan Ronald pada 27 Oktober 2024 oleh Tim Intelijen Kejaksaan Tinggi Jawa Timur bersama tim jaksa eksekutor dari Kejaksaan Negeri Surabaya menandai babak baru dalam kasus ini.
Ronald Tannur ditangkap di kawasan Pakuwon City Virginia Regency, Surabaya, sekitar pukul 14.40 WIB. Penangkapan tersebut menandakan adanya perkembangan besar dalam penegakan hukum kasus ini, yang kini dipertanyakan seiring dengan dugaan suap yang melibatkan para hakim yang menangani perkara Ronald.
Dugaan Suap dan Tindak Lanjut Kejaksaan
Kasus ini semakin mencuat setelah Kejaksaan Agung menangkap tiga hakim Pengadilan Negeri Surabaya yang terlibat dalam penanganan perkara penganiayaan yang dilakukan Ronald Tannur. Ketiga hakim tersebut, yakni Erintuah Damanik, Mangapul, dan Hari Hanindyo, diduga menerima suap terkait dengan vonis bebas yang dijatuhkan dalam kasus ini. Dugaan suap tersebut melibatkan Lisa Rahmat, pengacara Ronald Tannur, yang dikabarkan memberikan sejumlah uang kepada hakim-hakim tersebut untuk mendapatkan vonis bebas bagi kliennya.
Tindak lanjut terhadap dugaan suap ini sangat penting mengingat potensi dampaknya terhadap kepercayaan publik terhadap sistem peradilan di Indonesia. Kejaksaan Tinggi Jawa Timur menyatakan akan terus memantau dan menindaklanjuti segala temuan yang dapat berhubungan dengan dugaan suap dalam proses peradilan ini. Penanganan kasus ini menjadi ujian penting dalam menunjukkan komitmen negara terhadap pemberantasan korupsi di sektor peradilan.
Perspektif Etika Profesi Hukum
Selain aspek hukum pidana, kasus ini juga menyoroti permasalahan etika dalam profesi hukum. Sebagai pengacara, Lisa Rahmat memiliki tanggung jawab untuk bertindak sesuai dengan kode etik profesi yang berlaku, yang menuntutnya untuk menjaga integritas dan menghindari praktik-praktik tidak etis seperti pemberian suap. Begitu pula bagi hakim yang memiliki peran yang sangat vital dalam memastikan proses peradilan berjalan secara adil dan tanpa pengaruh dari pihak luar.Kasus suap ini jelas bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar etika profesi hukum, di antaranya:
1. Independensi dan Imparsialitas
Seorang hakim harus mampu bertindak secara independen, tidak terpengaruh oleh kepentingan pribadi, pihak tertentu, atau faktor eksternal lainnya. Hakim yang terlibat dalam suap telah mengkhianati prinsip ini, karena mereka seharusnya mengutamakan objektivitas dan kebenaran dalam setiap putusan yang mereka ambil.
2. Integritas