Sebelum masuk topik, saya ingin memberi petunjuk bacanya terlebih dahulu. Hal pertama yang harus dilakukan saat hendak baca tulisan ini, saya menyarankan dengan mengosongkan segala penilaian dan prasangka terlebih dahulu, karena tulisan ini bukan tulisan ilmiah yang berbobot, atau tulisan ini bukan tulisan kalimat yang susunannya indah. Cukup jauh dari itu, karena saya masih dalam tahap pembelajaran. Kedua, saya menyarankan posisikan hati yang mengalir saat hendak baca. Posisikan hati akan menerima pendapat dan pandangan dari tulisan sederhana saya.
Puasa hidup dan puasa pikiran. Judul ini terinspirasi setelah mendengarkan ngaji filsafat bersama Dr. Fahrudin Faiz kemarin malam. Kalimat yang cukup menarik untuk saya bisa kembangkan lagi lebih dalam. Tentu saja, sesuai dengan pemahaman dan bahasa ala kadarnya saya sendiri. Jadi tolong dimaklumkan jika apa yang saya sampaikan jauh dari kebagusan dan keapikan saya dalam menyusun sebuah kalimat.
Pertama, puasa hidup.
Judulnya membuat hati dan pikiran saya untuk merefeleksikan makna tersembunyi yang ada di dalam dua kata tersebut.
.......
Dalam puasa, bukan hanya tubuh, perut, telinga, mata yang bisa untuk dipuasakan. Kehidupan pun ternyata bisa dipuasakan juga. Puasa hidup bukan berarti kita menginginkan suatu kematian. Justru adalah kebalikannya.
Puasa hidup adalah puasa menahan kehidupan yang kita inginkan. Ada kalanya kita harus hadir disebuah perjalanan hidup yang tidak sesuai kehendak kita, dan saya rasa semua orang pasti pernah melalui hal tersebut. Banyak kehidupan pahit yang harus dilalui. Banyak keinginan yang tak terealisasikan. Banyak kenyataan hidup yang bertolak belakang dengan keinginan. Ini semua menandakan bahwa apapun yang ada di dunia, tidak sepenuhnya berada dalam kendali tangan kita. Dan puasa hidup hadir untuk merespon itu. Untuk memberi pelajaran bahwa ada kalanya kita perlu puasa untuk hidup.
Mungkin bahasa saya agak berbelit-belit, namun yang ingin saya garis bawahi ialah puasa hidup adalah mengistirahat sejenak keinginan terhadap hal dunia. Bukan karena kita ingin menjadi suci dan pribadi yang so agamis, melainkan karena tubuh dan pikiran kita yang membutuhkan itu. Tubuh dan pikiran kita perlu berdamai dengan keinginan, kenyataan serta kemampuan kita dalam mengendalikannya. Dampaknya apa ketika kita sudah bisa mengendalikan? Dampaknya kita akan bahagia.
Puasa menahan keinginan materi, jabatan, penampilan, kecantikan/ketampanan, kekeren-an, pencapaian-pencapaian duniawi, bahkan perkembangan zaman dan segala macamnya. Kenapa ada kalanya kita butuh puasa dari ini? Karena pada realitanya banyak kelelahan hidup yang bersumber dari hal yang telah saya sebutkan di atas. Orang saling berburu, saling senggol, saling duluan, bahkan saling bersaingan dan membandingkan. Puasa hidup hadir sebagai relaksasi pengobatannya.
Nilai yang plus memang ketika kita bisa konsisten, ambisius mencapai titik ini, tapi jangan sampai hal ini menjadi penyakit untuk kita sendiri. Mengandalkan kebahagiaan kita hanya sebatas dari itu. Memaknakan hidup hanya sekedar dalam lingkaran itu.
Manusia memperlukan puasa itu. Mengapa? karena kita butuh "belajar." Tidak hanya belajar menjadi apa yang kita inginkan, tapi perlu belajar juga menerima apa yang kita tidak inginkan. Â Tidak hanya belajar menjadi apa yang kita mau, tapi perlu juga belajar ada hal-hal yang kita tidak mampu.
Ketika kita belajar menginginkan, jangan lupa belajar juga menerima. Â Ketika kita belajar kemenangan, jangan lupa belajar juga kerendah hatian. Ketika kita belajar ingin mencapai tarap kehidupan atas, jangan lupa belajar juga untuk menjadi ikhlas.
Dalam mencapai dunia yang kita mau, saya yakin hampir semua manusia butuh proses yang panjang. Banyak rencana-rencana yang harus diperjuangkan. Step atau langkah-langkah yang perlu dilalui. Dan tentunya untuk mencapai tujuan ini, jalannya pun tak mudah. Jalannya berliku. Gangguan dan hambatannya sangat sulit. Tantangan dan persaingannya kian rumit. Dan puasa kehidupan hadir untuk menyelamatkan kita dari itu. Menyelamatkan kita dari kesombongan dan keangkuhan, menyelamatkan kita dari yang hanya mengandalkan diri pribadi.
Bahwa sesungguhnya kita butuh Tuhan, dan Tuhan mengajarkan kita berserah bukan untuk menyerah, melainkan agar Ia yang langsung bisa memprosesnya.
Apa yang akan kita dapatkan setelah kita puasa hidup? Kita akan mendapatkan keseimbangan. Keseimbangan terhadap apa yang bisa kita atur dan apa yang ternyata tidak bisa kita atur.
Kedua, puasa pikiran.
Puasa pikiran ini menjadi andalan ketika saya lelah menghadapi pikiran negatif yang datang. Puasa pikiran dari tanggapan orang terhadap saya, puasa pikiran dari hal-hal yang membuat saya sesak dan marah, puasa pikiran dari sesuatu yang membuat saya sakit dan hilang kendali. Puasa pikiran ialah dengan mengosongkan sejenak apa yang sudah terlalu berat di kepala. Berhenti memikirkannya terkadang menjadi jalan untuk menyelesaikan masalah itu sendiri. Karena pada kenyataannya, seringkali pikiran kitalah yang membuat itu menjadi semakin rumit. Entah terlalu jauh, atau karena kekhawatir-an yang tidak jelas. Seringkali pikiran kita yang malah membuat ketakutan itu sendiri muncul. Maka dari itu, puasa pikiran menjadi kebutuhan yang cukup mendasar untuk menormalkan isi yang ada dalam pikiran kita. Puasa pikiran menjadi alternatif penyembuhan hal yang membuat kita beban dan berat. Oleh karena itu, puasa hidup mampu meringankan pikiran. Ringan pikiran sumber kemudahan menjalani hidup.
Ingat dua puasa ini, puasa hidup dan puasa pikiran agar semua yang dilalui menjadi kemudahan kita untuk memberi makna apa yang kita mau dalam hidup.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H