Sebuah pesan singkat masuk dari seorang teman. Aktivis mahasiswi di salah satu organisasi mahasiswa Islam, dia bertanya:
“Apa yang dimaksud dengan Islam Kaffah? Saya Muslim tapi rupanya saya belum paham Islam”
Barangkali ini juga masih menjadi pertanyaan bagi teman-teman yang lain, jadi saya menulisnya. Untuk menjawabnya, bukan kapasitas saya untuk menafsirkannya, saya akan membahasnya sesuai sumber hukum Islam, penjelasan tafsir Al-Qur’an, dan dari pakar yang memahami maksud dari Islam Kaffah yang ada di dalam nash Al-Qur’an.
“Wahai orang-orang yang beriman masuklah kamu kepada Islam secara kaaffah. Dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaithan. Sesungguhnya syaithan itu musuh yang nyata bagi kamu.” (QS al-Baqarah: 208)
Perlu kita ketahui, sebab turunnya (sababun nuzul) ayat ini, sesuai riwayat dari Ibnu Abbas bahwa ayat ini turun berkaitan dengan para shahabat yang masuk Islam dan dulunya adalah pemeluk Yahudi, Abdullah bin Salam dan kawan-kawannya. Beliau telah beriman kepada Nabi Muhammad SAW dan syariat Islam yang dibawa Rasulullah SAW, akan tetapi tetap mempertahankan keyakinan mereka kepada sebagian syariat Nabi Musa AS. Misalnya, mereka tetap menghormati dan mengagungkan hari Sabtu serta membenci daging dan susu unta. Hal ini telah diingkari oleh shahabat-shahabat Rasulullah SAW lainnya. Abdulah bin Salam dan kawan-kawannya berkata kepada Rasulullah SAW, sesungguhnya Taurat adalah kitabullah. Maka biarkanlah kami mengamalkannya. Setelah itu, turunlah firman Allah surat al-Baqarah: 208.
Jadi, siapa saja yang telah masuk Islam, dia wajib masuk Islam secara keseluruhannya. Tidak boleh mempertahankan hukum selain Islam, sebab Islam telah menasakh (menghapus) syariat-syariat para nabi sebelum Nabi Muhammad SAW. Allah SWT berfirman:
“(Al-Qur`an itu) membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu.” (QS. al-Maa'idah [5]: 48)
Yang dimaksud batu ujian (muhaiminan) artinya adalah penghapus (nasikhan) bagi syariat-syariat sebelumnya. Dengan demikian, mempertahankan sedikit saja dari syariat-syariat sebelumnya yang tidak diakui Islam berarti mengikuti langkah-langkah syaitan. Firman Allah SWT:
“dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaithan. Sesungguhnya syaithan itu musuh yang nyata bagi kamu.” (QS. al-Baqarah: 208)
Oleh karena itu, kaum muslimin diperintahkan untuk hanya berserah diri, ta'at, dan melaksanakan seluruh syari'at Nabi Muhammad SAW (yakni Islam), bukan pada aturan-aturan lain. Jelaslah, seorang muslim dituntut masuk ke dalam Islam secara menyeluruh. Merupakan kesesatan yang nyata, apabila ada orang yang mengaku dirinya Islam, namun mereka mengingkari atau mencampakkan sebagian syari'at Islam.
“Apakah kamu beriman kepada sebagian Al-Kitab (Taurat) serta mengingkari sebagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian di antara kamu melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat nanti mereka akan dilemparkan pada siksa yang amat keras." (Qs. al-Baqarah: 85)
Bukankah ini sudah menjadi petunjuk untuk kita, Islam bukan hanya sekedar teori saja, namun harus diaplikasikan. Jadi keimanan kita kepada Allah menuntut kita untuk menundukkan ego kita, dengan qalbu kita yang jernih, kita menyadari kelemahan kita sebagai manusia yang tidak memiliki hak untuk membuat aturan kehidupan sendiri. Karena Allah pasti menghisab seluruh amal perbuatan kita berjalan sesuai dengan aturanNya atau tidak saat hidup di dunia.
Barangkali kita tidak menyadarinya, selama ini kita menjadi muslim namun belum mengaplikasikan seluruh ayat-ayat dari Allah SWT, menjadikan ayat konstitusi Negeri ini lebih tinggi dari ayat suci Al-Qur’an, lebih memilih hukum buatan manusia daripada menaati hukum dari Sang Pemilik Kehidupan. Tak heran, bila kondisi dunia ini semakin bengis, jauh dari fitrah manusia, dan kesenjangan semakin tinggi karena berjalan mengikuti hawa nafsu manusia.
Bila kita melihat realitas kehidupan saat ini, sangat jelas kita belum masuk ke dalam Islam Kaffah, pondasi sistem kehidupan kita saja saat ini adalah sekulerisme yang memisahkan Islam dari kehidupan masyarakat dalam urusan Negara. Sehingga hanya sebagian ayat saja yang diaplikasikan untuk urusan individu, misalnya sholat, berpuasa, berzakat, berhaji, urusan perceraian, dan urusan pemakaman yang sesuai dengan aturanNya.
Sedangkan untuk urusan yang mengatur urusan masyarakat di dalam Negara, seperti hukum dan pemerintahan, misalnya sanksi tegas yang adil untuk pelaku penista Al-Qur’an belum diaplikasikan. Untuk urusan perekonomian, pengelolaan sumber daya alam mineral dan tambang masih dikuasai swasta dan asing belum dikelola oleh Negara yang hasilnya untuk kebaikan rakyat. Selain itu, pajak yang masih menjadi sumber utama pendapatan Negara, padahal ini tidak diperbolehkan dalam Islam. Banyaknya kemiskinan, kesenjangan sosial antara kaum borjuis dan miskin papa yang semakin dalam, fasilitas umum yang serba berbayar, dan masih banyak yang lainnya.
Lalu, apakah kita akan tetap membiarkan hukum Allah tidak diterapkan secara keseluruhan?
”Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (QS al-Maidah: 50)
Bukan berarti ini mendiskriminasikan non muslim. Islam juga memiliki mekanisme yang mampu menjamin keadilan bagi seluruh agama, muslim maupun non muslim, Allah Maha Adil, Maha Pengasih dan Maha Penyayang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H