Dilansir dari kalimantan-news.com, puluhan mahasiswa yang tergabung dalam Front Geram (Gerakan Rakyat Menggugat), dan PKL menggelar aksi unjuk rasa di depan Kantor DPRD Samarinda untuk menyampaikan aspirasi agar anggota dewan mau memfasilitasi pertemuan antara PKL dan pihak Pemerintah Kota Samarinda guna mencari solusi yang tepat agar PKL tetap bisa berjualan di kawasan Pasar Pagi dan dilindungi secara hukum dari sikap arogansi Satpol PP dan aparat hukum lainnya. Pihak Front Geram mengaku bahwa mereka mendukung kebijakan Pemerintah terkait penataan kota. Namun, menurut mereka pemerintah tidak harus mengorbankan rakyat kecil dan seharusnya tetap memberi mereka kesempatan untuk berjualan ditempat semula, tidak semata-mata menggusur dagangan mereka tanpa solusi dan relokasi yang mengakibatkan hilangnya sumber penghasilan/mata pencaharian warga kecil. Para PKL di Pasar Pagi pun berharap agar mereka dapat berdagang dengan aman tanpa adanya gusuran dari pihak pemerintah.
Merajut Asa Untuk Kembali Menghidupkan Harapan
Berdasarkan observasi penulis atas fenomena yang telah terjadi hal ini dapat dikaitkan dengan konteks dalam pembelajaran sistem komunikasi Indonesia khususnya pada bagian sistem komunikasi di Pedesaan. Dilihat dari kacamata sistem komunikasi di Pedesaan, desa memang merupakan tempat kecil yang memiliki karakteristik sendiri yaitu komunikasinya yang masih bersifat langsung dan didominasi oleh komunikasi antarpersona yang dimana hal ini mengakibatkan banyak warga desa hanya mempercayai keputusan dari seseorang (leader) yang memiliki kewenangan cukup besar dalam desa tersebut.
Selain pada aspek komunikasi, media yang hadir disana kurang dapat memberikan hasil yang signifikan terhadap apa yang mereka butuhkan. hal ini pun sejalan dengan tingkat pendidikan yang hadir di sana. Dalam keadaan riil contohnya di makroman sendiri, tingkat buta huruf masih sangat tinggi dan di beberapa daerah lain seperti di Sanga-Sanga dan Pasar Pagi juga masih didominasi oleh warga dengan lulusan SD & SMP diperlukan adanya edukasi mengenai baca dan tulis dengan menyisipkan pernyataan mengenai kondisi lingkungan sekitar dan hal-hal struktural masyarakat guna memicu kepekaan akan apa yang terjadi di sekitar.
Hadirnya media sebagai sarana komunikasi juga turut berperan penting di dalam menyelesaikan permasalahan di sekitar. secara teori dilihat dari buku Nuruddin dari sistem komunikasi Indonesia, hadirnya seorang penyuluh bangunan dan atau seorang juru penerang di ketiga daerah tersebut harus ditingkatkan sumber daya manusianya. seorang penyuluh yang hadir nantinya diharuskan sudah mengetahui masalah di sekitar sehingga untuk terjun kepada warga telah memiliki formulasi yang cocok dan dapat menyasar kondisi warga setempat. Seperti yang telah dipaparkan di atas baik jupen maupun penyuluh harus memiliki beberapa syarat kemampuan untuk dapat berkomunikasi secara efektif sebagaimana yang dikatakan oleh Josep A Devito (Ninik Sri Rejeki dan Anita Herawati, 1999:8) yakni: opennes, empathy, positiveness, supportiveness, dan equality. dengan kehadiran seorang penyuluh diharapkan tidak hanya sekedar menggugurkan tugasnya saja melainkan dapat memberikan perubahan bagi warga setempat. Penyuluh merupakan dapur informasi di tingkat desa untuk dapat memberikan informasi-informasi, langkah nyata, dan pelayanan informasi pada tiga daerah tersebut.
Dari Makroman, Sanga-Sanga, hingga Pasar Pagi
Makroman, Sanga-sanga, dan Pasar pagi merupakan contoh nyata dari kurang baiknya sistem komunikasi yang hadir pada daerah setempat. Penulis melakukan observasi dengan bertanya kepada warga perihal harapan dan inovasi apa saja yang mereka inginkan agar tetap dapat menyambung tali kehidupan di tempat mereka tinggal.
Di Makroman sendiri, sebagian besar warga berharap diberikan fasilitasi terkait penyediaan batu kapur guna menetralisir kontaminasi antara air mereka dengan limbah tambang yang mengaliri lahan pertanian. Mereka juga berharap penyuluh yang hadir dapat memiliki keterbukaan dalam berkomunikasi sehingga tidak adanya lagi miskomunikasi dan kekurangan informasi dalam mengurangi permasalahan mereka terkait dengan hadirnya pertambangan ilegal. Seperti yang telah dipaparkan pada awal kesimpulan, edukasi atau penyuluhan terkait buta huruf juga penting untuk dilaksanakan. Dibutuhkan seorang penyuluh yang kompeten untuk dapat menyadarkan warga pentingnya membaca dan menulis karena hal ini akan sangat berdampak pada kontribusi warga untuk ikut bersuara di dalam memperjuangkan hak-haknya dan mengajak anak muda Makroman untuk mengadakan "ngobrol bareng" sebagai salah satu pendekatan internal dalam membahas dan memperjuangkan isu yang terjadi di sana.
Selanjutnya di Kecamatan Sanga-Sanga warga beserta penulis berharap diadakannya metode "Rapat dengar pendapat", sebab pendekatan yang dilakukan selama ini hanya melalui delegasi pemangku kebijakan sekitar. Dengan mengumpulkan massa dan tidak melulu mengandalkan satu orang saja diharapkan pengetahuan dapat menyebar pada seluruh lapisan warga. Di tengah masifnya media baru menurut penulis sangat penting untuk bisa mengadakan Propaganda Media Melalui sosmed (dalam bahasa Latin modern: "propagare" diartikan "mengembangkan" atau "memekarkan") merupakan serangkaian pesan dengan tujuan agar dapat mempengaruhi pendapat seseorang, tindakan masyarakat atau sekelompok orang dalam hal ini kelompok kami menggunakan media sosmed sebagai pendukung kegiatan nya. Jika inovasi dari Propaganda Media terbilang cukup sulit dilakukan pada ketiga wilayah tersebut penulis menyarankan untuk bisa mengadakan Propaganda yang bersifat langsung ke masyarakat karena hal ini sejalan dengan karakteristik sebuah desa itu sendiri yang berupa membagikan selebaran atau poster yang berisi informasi terkait pentingnya menolak hadirnya pertambangan ilegal yang memiliki dampak negatif terhadap lingkungan sekaligus sebagai sarana edukasi bagi warga setempat.