Unikon  atau Unicorn?
Begitulah yang menjadi bahasan berbagai kalangan netizen setelah debat kedua capres Jokowi dengan Prabowo 17 Februari yang lalu dan sempat dijadikan meme oleh berbagai pengguna media sosial yang millenial.
Terlepas dari topik Unikon  atau Unicorn rasanya ada yang hilang dari topik bahasan mengenai tolok ukur kepemimpinan negeri ini menjelang pilpres April 2019. Entah ini hanya perasaan saya atau juga mungkin dirasakan oleh masyarakat lainnya, bahwa topik yang hilang tersebut adalah nilai kepemimpinan tradisional jawa ataupun lainnya yang juga pada pilpres sebelumnya menjadi bahasan termasuk berbagai artikel yang menyangkut pautkan seorang paslon dengan mitos kepemimpinan tradisional.Â
Satria Piningit atau Ratu Adil (bisa dilihat disini ) entah hilangnya mitos kepemimpinan tradisional tersebut dikarenakan oleh pengulangan kontestasi persaingan yang sama atau malah masyarakat disibukkan dengan berbagai berita hoax serta berbagai kasus yang menyeret berbagai kalangan.
Sebagai masyarakat tradisional jawa tentu kita pernah mendengar mengenai suatu falsafah kepemimpinan jawa yakni Prasaja dan Manjing ajur-ajer. Prasaja sendiri memiliki arti sederhana yang kemudian dijadikan falsafah kepemimpinan yang sederhana, kesederhanaan ini tentu bukan hanya terlihat dari pakaian  saja yang terkesan kuno akan tetapi sederhana disini adalah seorang pemimpin harus dapat menahan keinginan pribadinya/ nrimo tanpa keinginan bermacam-macam terhadap pribadi maupun kelompok serta pengusungnya seperti korupsi, kolusi dan nepotisme, hal ini diyakini bahwa kepemimpinan Prasaja tidak akan menyengsarakan rakyat.Â
Serta pemimpin perlu memiliki sikap Ajur-Ajer yang artinya pemimpin mampu melakukan treatment untuk menjadi rakyat, sikap Ajur-Ajer akan mendorong pimpinan merasa memiliki rakyat sehingga timbul keinginan untuk melindungi dan mensejahterakan rakyat serta ada satu penyatuan antara pemimpin dan rakyat yang dalam hal ini juga sering disebut manunggal kawulaning gusti atau bersatunya kawula (rakyat) dengan gusti (pemimpin).
Hal ini juga tidak terlepas dari tradisi raja-raja jawa terdahulu yang juga menjalin hubungan erat terhadap rakyatnya dengan cara merasakan dan melihat secara nyata kehidupan sebagai rakyat yang dilakukan oleh Pangeran Sambernyowo sampai dengan Hamengkubuwono IX. Sampai dengan Pangeran Sambernyowo/ Mangkunegoro I mengutarakan perasaannya dalam sebuah kalimat "hanebu sauyun, kalamun ta keleban banyu tan ana kang pinilih" uang berarti seperti serumpun batang-batang tebu, jikalau terendam air tak ada yang bisa dipilih, yang tinggi, yang pendek, yang besar dan yang kecil semuanya akan ikut terendam.Â
Tentu ungkapan ini mengisyaratkan adanya hubungan erat yang dijalin oleh seorang raja terhadap rakyatnya dan adanya semangat kesetaraan, kebersamaan dan senasib sepenanggungan.
Sementara itu dalam kepemimpinan jawa menurut Suwardi Endraswara terdapat 3 pegangan pokok pemimpin yakni falsafah: (1) Aja Gumunan, (2) Aja Kagetan lan dan (3) Aja Dumeh. Falsafah Aja Gumunan ini mengajarkan pemimpin untuk bersifat tenang dan berwibawa, tidak terlalu terheran-heran dengan suatu hal. Bila pemimpin senang heran, akan memunculkan rasa ingin yang kadang-kadang menempuh jalan pintas. Heran itu penting, tetapi kalau berubah menjadi terheran-heran sering kurang wajar.
Falsafah kepemimpinan aja kagetan, adalah rasa tidak menunjukkan sikap kaget jika ada hal di luar dugaan, dan tidak boleh sombong. Falsafah ini bukan berarti pimpinan itu anti kemajuan. Kaget adalah kondisi jiwa yang kurang wajar dan seimbang. Pimpinan yang tidak mudah kaget menyaksikan berbagai hal, tentu masih diperbolehkan.Â
Falsafah ini mulai ditinggalkan kebanyakan pemimpin Jawa. Mereka terlalu responsif dalam menyikapi suatu permasalahan, mudah emosi dan gemar melakukan perang media hanya untuk merespon sesuatu yang sebenarnya jika didiamkan tidak membawa masalah apa-apa bagi dirinya.
Falsafah aja dumeh ini sering menjadi bumerang bagi seorang pimpinan, Seringkali pimpinan merasa sebagai keturunan ningrat, mantan menteri, dan sebagainya. Rasa berbangga diri dengan menepuk dada, sebenarnya hanya dilakukan oleh pemimpin yang gila jabatan. Lebih membahayakan lagi kalau pimpinan terlalu tergila-gilajabatan, seringkali lupa diri. Berbeda dengan pemimpin yang mengetahui tentang diri sendiri, kekurangan dan kelebihan tentu menjadi modal dalam memimpin bangsa ini.Â
Ketika dumeh itu yang berkembang pada diri pemimpin, buahnya adalah kesombongan diri. Pimpinan demikian biasanya kurang sukses, karena hanya akan menjadi nerkhisus. Pemimpin yang merasa sukses sendiri, tinggal menunggu waktu, tentu akan tergeser. Biarpun pergeseran seorang pimpinan itu wajar, namun kalau belum saatnya sudah geser seringkali menyakitkan.
Tentu nilai kepemimpinan tradisional diatas merupakan bagian kecil dari kekayaan nilai-nilai kepemimpinan tradisional bangsa yang sering dijadikan tolok ukur memilih seorang pemimpin berdasarkan nilai-nilai yang dipegangnya sebagai masyaraat tradisional.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI