"Jerone samudera bisa den arungi nanging jerone ati sapa sing bisa ngerti"Â suatu peribahasa jawa yang masih dipegang sampai sekarang dan tidak bisa dilupakan begitu saja manakala menghadapi segala sesuatu yang masih mentah dan menimbulkan keraguan dikarenakan sifat manusia yang mengandung sifat "tak luput dari kesalahan/Panggone kaluputan"Â agar tetap waspada menyikapinya.
Barangkali kalimat dalam bahasa jawa di atas dapat mewakili apa yang terjadi belakangan ini menjelang pesta demokrasi pemilihan Presiden khususnya.
Menjelang pesta demokrasi Pilpres, tentu masihlah kita ingat belakangan ini bermunculan gerakan-gerakan dari media sosial maya mewujud ke dunia nyata seperti halnya lagu Bidadari turun ke bumi yakni #2019GantiPresiden yang menuai berbagai pro dan kontra di berbagai kalangan masyarakat khususnya di kalangan kelompok politik yang kemudian menarik perhatian masyarakat sipil untuk ikut serta berpartisipasi dalam gerakan ini. Namun butuhlah kemelekan mata untuk menerjemahkan gerakan #2019GantiPresiden agar tidak seperti halnya busa yang mengambang di lautan berombak besar.
Gerakan yang muncul dari sebuah pernyataan M. Ali Sera salah seorang politikus PKS lewat twitter guna memberikan pendidikan politik bagi masyarakat, menurutnya tagar ini meniru kesuksesan M. Salah, salah seorang pemain liverpool. Akan tetapi dalam tulisan ini tidaklah akan membahas berbagai latar belakang munculnya gerakan ini. Namun akan mencoba melihat dari sudut lain.
Tagar yang menuai pro dan kontra dikalangan masyarakat dan cukup tidak memiliki kejelasan kearah manakah tujuan utamanya dikarenakan penggunaan kalimat yang cenderung provokatif ditambah didirikan oleh seorang politikus yang nanti akan mengikuti pilpres, meskipun pendiri sendiri mengungkapkan tujuan utamanya adalah pendidikan politik bagi masyarakat.Â
Akan tetapi rasanya tidaklah pas ketika bahasa itu digunakan didalam sebuah negara Pancasila yang menjunjung moralitas serta kesantunan meskipun sebagai negara demokrasi itu dijamin oleh undang-undang kebebasan menyampaikan pendapat di muka umum, namun harus diingat bahwa demokrasi yang dijalankan oleh negara Indonesia bukanlah demokrasi ala barat akan tetapi Demokrasi Pancasila yang segala sesuatunya harus berlandaskan pada nilai-nilai Pancasila sehingga tidak ada suatu pertentangan karena itu sudahlah pas dengan bangsa sendiri.
#2019GantiPresiden menurut pandangan penulis sendiri adalah bukanlah gerakan pendidikan politik murni namun hanya sebuah manipulasi kata untuk menutupi kepentingan-kepentingan kelompok didalam pemilu nantinya mengingat gerakan ini didirikan oleh anggota parpol yang akan mengikuti pilpres ditambah dengan dominasi para orang partai didalamnya.Â
Meminjam pernyataan Prof. Mahfud Md ''Semua yang dilakukan oleh aktor politik adalah politik'', nyatanya pernyataan ini memang benar jikalau melihat gerakan #2019GantiPresiden adalah muncul menjelang tahun pilpres maka sudah pasti bahkan seorang siswa slta akan dapat menerjemahkannya.
Kembali lagi ke gerakan ini, yang mengatasnamakan gerakan sosial untuk memberikan pendidikan politik kepada masyarakat. Ibarat bulan kesiangan, karena pendidikan politik ini sudah dilakukan oleh lembaga pemerintah sendiri yakni KPU, kemudian para akademisi Ilmu Politik semenjak lama baik melalui pengabdian masyarakat serta berbagai seminar yang didalamnya terdapat masyarakat. Lalu mengapa harus ada gerakan-gerakan semacam ini didirikan oleh kalangan dari parpol?
 Sedangkan fungsi dari Partai Politik bukan hanya sebagai tiang demokrasi semata akan tetapi memiliki fungsi Pendidikan Politik bagi masyarakat itu sendiri, maka artinya dengan kemunculan gerakan ini dapat diterjemahkan bahwa fungsi Partai Politik mengalami kegagalan.
Menurut Miriam Budiarjo mengenai fungsi partai politik ia menempatkan fungsi parpol sebagai Sarana Sosialisasi Politik. Dalam ilmu politik sosialisasi politk diartikan sebagai suatu proses yang melaluinya seseorang memperoleh sikap dan orientasi terhadap fenomena politik, yang umumnya berlaku dalam masyarakat dimana ia berada. Ia adalah bagian dari proses yang menentukan sikap politik seseorang, misalnya mengenai nasionalisme, kelas sosial, suku bangsa, ideologi, hak dan kewajiban.