Lahan produktif itu telah berubah, kini ia menjadi balok-balok beton yang suram. Alih fungsi telah mengubah bentang alam dan struktur sosial masyarakat di sepanjang jalan Raya Rancaekek-Garut. Pun akhirnya memberi pengaruh sangat signifikan terhadap dua sungai yang ada: Cikijing dan Cimande. Keberadaan kedua sungai tersebut sangat strategis karena berfungsi sebagai irigasi untuk pengairan sawah di seluruh wilayah Rancaekek. Kini sungai tersebut pun juga telah beralih fungsi menjadi saluran buangan limbah dari kegiatan produksi industri, hingga mencemari lahan sawah dan sumur sumur warga di empat Desa.
Sungai Cikijing berubah, pada titik tertentu menjadi mematikan karena air limbah sisa produksi industri. Pencemaran tersebut memberi dampak yang luar biasa pada sektor pertanian, yang hingga kini masih terus berlangsung dan semakin meluas. Sejak tahun 1991-2002 lahan pertanian tercemar telah mencapai 1.215 hektare lahan persawahan dimana 474 ha diantaranya sudah tak dapat lagi digunakan untuk bercocok tanam padi.
Di bagian bumi manakah Rancaekek berada?
Rancaekek adalah nama wilayah Kecamatan yang berada di Kabupaten Bandung. Dengan luas wilayah 4.329,50 ha. Jumlah penduduknya terdiri dari 160.435 jiwa (2014) yang mendiami 13 desa dan 1 kelurahan, menempati peringkat ke 2 jumlah penduduk terbanyak di Kabupaten Bandung.Rancaekek berasal dari kata ‘Ranca’ dan ‘Ekek’, ‘Ranca’ artinya rawa atau situ alam yang biasanya menyimpan air dan tidak akan pernah kering serta banyak ikannya tanpa di budidayakan oleh masyarakat. Kemudian ‘Ekek’ berasal dari nama jenis burung yang berparuh kokoh dan tebal serta mempunyai bulu yang indah sebagai penghuni alami pada pohon di daerah ranca, dimana sifat dari burung tersebut adalah sering bergerombol di pohon Rengas yang besar.
Pohon Rengas adalah salah satu jenis pohon yang banyak tumbuh di daerah rancaekek tempo dulu dan sampai dengan hari ini pun pohon tersebut masih terlihat tumbuh yang salah satunya berada di Kampung Pintu, Desa Rancaekek Kulon dan sebagian lagi tumbuh di wilayah Rancaekek Wetan dengan ukuran diamater diatas 2,5 meter. Namun kini burung ‘ekek’nya sudah tak terlihat lagi, dan situ yang banyak air dan ikannya juga sudah tidak ada, meninggalkan sungai tercemar limbah.
Mengapa industri (sering) tak berhati?
Tercatat kurang lebih 93 industri yang berdiri di sepanjang jalan Raya Rancaekek-Garut, yang masuk dalam dua wilayah administrasi yaitu Kabupaten Sumedang dan Kabupaten Bandung. Industri tersebut diantaranya terdiri dari industri tekstil, industri minuman, industri jala, industri PCB dan industri penyamakan kulit. Industri tersebut sebagian besar menghasilkan limbah cair dengan total+ 959 liter/detik atau 7,31 ton/hari. Sedangkan debit limbah cair dari wilayah Rancaekek adalah 85.618 m3/hari. Limbah cair tersebut ditengarai telah lepas kendali dibuang langsung melalui dua sungai tanpa dilakukan pengolahan baku mutu (1990-2012).
Penelitian lain yang pernah dilakukan oleh berbagai perguruan tinggi, diantaranya adalah, Fakultas Pertanian UNPAD, Balai Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat Bogor, mengemukakan beragam hasil yang mencemaskan: kandungan garam Natrium (Na) yang tinggi dalam tanah yaitu sekitar 47 – 300 ppm dibandingkan dengan kadar normal sekitar 10 ppm. Selain itu dalam tanah juga terkandung unsur logam berat seperti Hg, Cd, Cr, Cu, dan Co serta unsur lain seperti Fe dan Zn dalam konsentrasi yang cukup tinggi.
Selain itu, pertumbuhan padi sawah pada tanah yang terpapar air buangan tekstil jauh lebih lambat dibanding tanah yang tidak terpapar. Penurunan berat gabah padi secara signifikan (14,26-46,02% dan 79,38 – 98,37%) juga terjadi akibat air buangan tekstil. Belum lagi, jumlah serapan logam berat Pb, Co, Cr, dan B terbesar di akar, jerami dan bulir (kecuali Cd). Hal ini akan secara langsung berdampak buruk pada manusia yang mengkonsumsinya. Cemaran limbah industri telah melumpuhkan produktivitas sektor pertanian. Di Rancaekek, rakyat seperti dilupakan demi maksimal keuntungan.
Bolehkah rakyat kecil berharap?
Saat melakukan penyusuran sungai Cikijing beberapa waktu yang lalu, di tengah perjalanan saya bertemu dengan sosok Abah Dayat (65). Dan kemudian obrolan kami pun dimulai. Abah Dayat bercerita mengenai riwayat hidupnya sebagai seorang petani. Pada saat itu tahun 1970, ia masih bujangan tetapi sudah menggeluti profesi sebagai petani yang menggarap sawah orang tuanya . Dengan ketekunan dan kerja kerasnya sebagai petani, Bah Dayat dapat membeli lahan sawah sendiri dengan luas sekitar 5 bata (Bata=Tumbak=14 meter persegi).
Bah Dayat menuturkan kejayaannya dalam bertani, Ia rasakan di tahun 80an, produktifitas padi pada saat itu sangat bagus dan hasil panennya pun sangat memuaskan juga menjadi padi unggulan kelas satu di Jawa barat. Namun, setelah kondisi air Cikijing berubah warna menjadi hitam pekat yang sepengetahuannya adalah dari pembuangan sisa air celupan kegiatan produksi industri yang berada di jalan raya Rancaekek-Garut. Padahal katanya, Sungai Cikijing adalah satu satunya sungai sebagai irigasi untuk pengairan sawah sawah yang berada di seluruh wilayah Kecamatan Rancaekek. Akibat dari itu Bah dayat mengeluhkan produktifitas padinya menurun drastis dan hasil panen padinya pun juga ikut menurun.
Kejadian itu olehnya dilaporkan pada pemerintahan Desa dan Kecamatan. Namun, laporannya itu hanya direspon untuk dilakukan pendataan saja “Atos sering laporan, cuman di data weh jeng di janji-jani hungkul. Cenahmah aya ganti rugi itu ieu ti perusahaan, tapi abahmah teu narima sapser oge. Meren duitnamah didalahar kunu palinterweh”. (Sudah sering laporan cuman hanya didata saja dan di janji-janjikan. Katanya ada ganti rugi ini itu dari perusahaan tapi abah tidak pernah menerimanya sepeserpun. Mungkin uangnya di makan oleh orang-orang pinter”).
Abah Dayat merupakan petani yang tekun dan pekerja keras, setiap hari ia habiskan waktunya di sawah. Namun Tiga tahun terakhir ini Ia mulai merasakan keluhan pada kesehatan dirinya. Ia merasakan tangannya gatal-gatal dan kukunya hampir membusuk. Ia memperlihatkan kedua tangannya yang gatal-gatal itu kepada saya, dengan mimik wajah yang memelas. “Abah ngaraos arartel panangan ieu teh tiap wengi atos titilu taun kapengker. Kuku-kuku jug-ujug buruk, sareng atel pisan. Ayeuna lamun lain tina cai limbah ieu, timana datagna tiap poe di sawah da teu aya riwayat panyakit atel ti keluargamah”. (Abah merasa gatal tanganya setiap malam itu sudah tiga tahun lalu. Kuku-kukunya tidab-tiba busuk dan gatal banget. Sekarang kalau bukan dari air limbah dari mana lagi karena abah setiap hari di sawah dan gak ada riwayat gatal-gatal dari keluarga).
Abah dayat mengharapkan kondisi air sungai Cikijing bisa normal kembali untuk pengairan sawahnya. “Abahmah hayang cai Cikijing normal deui, tapi kumaha da teu bisa. Sugan atuh anu parinter jeng pamarentah bisa nganormalkeun deui cai ieu. (Abah kepingin air sungai ini normal kembali. Mudah-mudahan orang yang pintar bersama pemerintah bisa menormalkan lagi air sungai tersebut.)
Di sepanjang perjalanan penyusuran sungai Cikijing selain bertemu dengan Bah Dayat, saya pun menemui sejumlah warga yang juga ditanya mengenai kondisi air sungai yang berwarna hitam pekat. Warga tersebut diantaranya adalah Pak Encu, Rahmat, Undang, Komara, Asep, Iyan, Bu Yeni dan Riri yang rumah rumahnya menghadap langsung ke sungai Cikijing, dan kesemuanya mengatakan hampir seragam yaitu: “Sebenarnya tidak kuat, bau banget setiap hari sampai sering mual. Bau itu sudah sangat menggangu tapi tidak bisa berbuat apa apa, hanya bisa pasrah” katanya.
Blogditulis olehAdi M Yadi, adalah Ketua Paguyuban Warga Peduli Lingkungan (PAWAPELING) yang bergerak dalam advokasi dan konservasi lingkungan sawah warga yang tercemah limbah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H