Mohon tunggu...
Adimas Agung Mulyana
Adimas Agung Mulyana Mohon Tunggu... Penulis - Content writing

Hi, I am a content writer and digital marketer

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Hegemonic Masculinity: Konstruksi Masyarakat Terhadap Bentuk Ideal Laki-Laki

25 Desember 2024   17:38 Diperbarui: 25 Desember 2024   17:38 62
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Instagram/jakarta.keras

"Laki-laki tidak bercerita, tapi..."

Trend dengan narasi ini sempat viral beberapa waktu belakangan, banyak video konten yang nyeleneh, lucu dan tidak sedikit yang benar-benar itu adalah yang mereka lakukan. Secara sederhana trend ini menggambarkan laki-laki sebagai sosok yang mengekspresikan dirinya melalui tindakan, bukan kata-kata, yang kemudian diselewengkan dengan tindakan-tindakan nyeleneh dan lucu, sebagai komposisi baik untuk membuat sebuah konten bisa naik. Misalnya, "laki-laki tidak bercerita, tapi bengong di kursi Indomaret". Trend ini sekilas hanya seperti trend pada umumnya, menghibur dan mengundang banyak gelak tawa, tapi di satu sisi ada sesuatu yang seolah memperkuat stereotip lama tentang maskulinitas.

Fenomena ini dapat dikaji melalui konsep hegemonic masculinity, yang dikenalkan oleh Raewyn Connell, sebagai konstruksi sosial yang menetapkan standar maskulinitas ideal. Tentunya konstruksi ini tidak lepas dari ekspektasi gender tradisional yang seringkali membatasi ekspresi emosi laki-laki.

Hegemonic Masculinity dan Tren "Laki-Laki Tidak Bercerita..."

Konsep hegemonic masculinity menggambarkan norma budaya yang menetapkan laki-laki sebagai kuat, dominan, dan emosional terkontrol. Connell (1995) menjelaskan bahwa maskulinitas hegemonik bukanlah sifat bawaan, melainkan hasil konstruksi sosial yang terus direproduksi melalui berbagai media, termasuk budaya populer dan tren digital.

Tren "laki-laki tidak bercerita, tapi..." sejalan dengan nilai-nilai hegemonik ini. Narasi tersebut menonjolkan peran laki-laki sebagai pelindung dan penyedia yang tidak membutuhkan kata-kata untuk menunjukkan kasih sayang. Dalam konteks ini, tindakan menjadi bentuk komunikasi utama yang dianggap lebih "pria sejati". Namun, tren ini juga dapat memperkuat anggapan bahwa laki-laki tidak perlu, atau bahkan tidak boleh, mengekspresikan emosinya secara verbal.

Ekspektasi Gender Tradisional dan Perbedaan Ekspresi Emosi

Perempuan cenderung didorong untuk lebih terbuka secara emosional, sementara laki-laki diajarkan untuk menahan emosi dan menunjukkan kekuatan. Hal ini menghasilkan ketimpangan dalam cara kedua gender berekspresi. Akhirnya ekspektasi gender tradisional membentuk pola perilaku yang berbeda antara laki-laki dan perempuan. 

Penelitian dari Levant (1992) menunjukkan bahwa konstruksi gender tradisional mengajarkan laki-laki untuk menekan emosi seperti kesedihan dan ketakutan, yang dianggap "tidak maskulin". Sebaliknya, emosi seperti kemarahan lebih diterima karena diasosiasikan dengan dominasi dan kontrol. Konsekuensinya, banyak laki-laki tumbuh dengan keterbatasan dalam mengenali dan mengungkapkan emosinya, sebuah fenomena yang dikenal sebagai Normative Male Alexithymia.

Normative Male Alexithymia: Dampak Konstruksi Maskulinitas

Normative Male Alexithymia merujuk pada ketidakmampuan laki-laki untuk mengenali dan mengekspresikan emosi mereka, yang sebagian besar dipengaruhi oleh norma gender tradisional. Penelitian Levant dan Pollack (1995) menemukan bahwa laki-laki yang terikat pada norma maskulinitas tradisional lebih cenderung mengalami kesulitan dalam hubungan interpersonal karena keterbatasan ekspresi emosional.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun