Intro
Dalam beberapa tahun terakhir, topik kesehatan mental telah menjadi pusat perhatian di seluruh dunia. Seiring meningkatnya kesadaran akan pentingnya kesehatan mental, industri yang terkait dengan kesehatan mental pun berkembang pesat. Menurut laporan dari Grand View Research, pasar global untuk layanan kesehatan mental diperkirakan mencapai USD 383,31 miliar pada tahun 2021 dan diproyeksikan akan tumbuh dengan tingkat pertumbuhan tahunan gabungan (CAGR) sebesar 3,7% hingga 2030. Di tengah pertumbuhan ini, ada kekhawatiran bahwa isu kesehatan mental sedang dikomodifikasi atau dieksploitasi oleh berbagai pihak, mulai dari influencer di media sosial hingga perusahaan besar yang menggunakan isu ini sebagai strategi pemasaran.
Fenomena ini terlihat jelas di berbagai platform media sosial di mana para influencer sering berbagi konten tentang kesehatan mental, memberikan tips untuk self-care, dan bahkan menjual produk terkait seperti jurnal, aplikasi meditasi, atau kursus online. Sebuah survei yang dilakukan oleh American Psychological Association pada tahun 2023 menemukan bahwa 74% generasi Z merasa bahwa kesehatan mental adalah isu penting yang perlu dibahas, tetapi 53% dari mereka juga merasa bahwa topik ini sering dieksploitasi untuk keuntungan komersial.
Selain itu, industri musik dan hiburan juga telah memanfaatkan isu kesehatan mental. Lagu-lagu populer seperti yang dibawakan oleh Hindia dan penyanyi-penyanyi lain sering kali mengangkat tema kesehatan mental, menarik perhatian pendengar muda yang merasa terhubung dengan lirik yang jujur dan emosional. Namun, pertanyaannya tetap: apakah ini membantu meningkatkan kesadaran dan empati, ataukah ini hanyalah alat untuk mendapatkan lebih banyak pendengar dan penjualan?
Mengkomoditi Platform Digital
Seiring berkembangnya media sosial dan platform digital, kesehatan mental telah menjadi topik yang banyak dibicarakan oleh banyak orang terutama influencer, selebritas, dan bahkan merek. Di satu sisi, ini memberikan manfaat yang signifikan dengan membuka ruang diskusi yang lebih luas tentang kesehatan mental dan mengurangi stigma yang terkait. Namun, di sisi lain, muncul kekhawatiran bahwa banyak dari konten ini lebih berfokus pada eksploitasi demi popularitas dan keuntungan finansial.
Misalnya, banyak influencer yang berbagi pengalaman pribadi mereka tentang kecemasan, depresi, atau burnout. Meskipun beberapa cerita ini tulus dan memberikan wawasan yang berharga, ada juga yang diduga mengangkat isu ini hanya untuk meningkatkan jumlah pengikut atau untuk menjual produk-produk tertentu. Sebuah studi oleh McLean Hospital pada tahun 2022 menemukan bahwa 40% konten yang terkait dengan kesehatan mental di media sosial dianggap sebagai "clickbait" atau konten yang sengaja dibuat untuk menarik perhatian tanpa memberikan informasi yang bermanfaat.
Industri dan Monetisasi
Selain itu, industri self-help juga tidak ketinggalan dalam mengkomoditi kesehatan mental. Buku-buku self-help, kursus online, dan webinar sering kali dipromosikan dengan janji-janji besar untuk memperbaiki kesehatan mental dan kehidupan secara keseluruhan. Namun, banyak dari produk ini tidak didasarkan pada penelitian ilmiah yang valid, dan efektivitasnya sering kali dipertanyakan. Menurut penelitian yang dipublikasikan di Psychological Science pada tahun 2023, hanya sekitar 25% dari buku self-help yang didasarkan pada penelitian empiris yang kuat.
Kondisi ini diperburuk dengan adanya aplikasi kesehatan mental yang menjamur, seperti aplikasi meditasi dan pelacakan suasana hati. Meskipun beberapa di antaranya memberikan manfaat nyata, sebagian besar aplikasi ini memonetisasi kondisi kesehatan mental penggunanya melalui model bisnis berbasis langganan. Data dari Sensor Tower menunjukkan bahwa aplikasi meditasi terkemuka seperti Calm dan Headspace menghasilkan pendapatan gabungan lebih dari USD 200 juta pada tahun 2023. Ini menunjukkan betapa menguntungkannya pasar kesehatan mental digital, tetapi juga menimbulkan pertanyaan apakah semua aplikasi tersebut benar-benar membantu pengguna atau lebih fokus pada keuntungan finansial.
Manfaat atau Eksploitasi
Penting untuk menyadari bahwa mengkomoditi kesehatan mental dapat membawa manfaat, tetapi juga risiko yang signifikan. Ketika diskusi tentang kesehatan mental menjadi lebih umum, ada potensi untuk mengurangi stigma dan meningkatkan akses terhadap dukungan. Namun, ketika kesehatan mental dijadikan alat pemasaran, ini dapat mereduksi isu serius ini menjadi sekadar tren atau produk yang bisa dijual.
Pertanyaannya adalah, di mana kita harus menarik garis antara meningkatkan kesadaran dan eksploitasi? Apakah benar bahwa kampanye kesehatan mental oleh perusahaan besar selalu ditujukan untuk kebaikan, ataukah ini hanyalah strategi lain untuk menarik perhatian konsumen?
Sisi Positif
Meskipun ada kekhawatiran mengenai eksploitasi isu kesehatan mental untuk keuntungan komersial, fenomena ini juga memiliki sisi positif yang tidak dapat diabaikan. Salah satu manfaat utama dari popularitas topik ini adalah peningkatan kesadaran dan penurunan stigma terkait kesehatan mental. Di masa lalu, banyak orang merasa takut untuk membicarakan masalah kesehatan mental mereka karena khawatir dianggap lemah atau tidak normal. Namun, dengan semakin banyaknya tokoh publik, influencer, dan perusahaan yang berbicara terbuka tentang kesehatan mental, pandangan masyarakat pun mulai berubah.
"Semakin banyak orang yang berbicara tentang kesehatan mental, semakin kita meruntuhkan tembok stigma yang mengelilinginya." --- Glenn Close
Menurut laporan dari World Health Organization (WHO) pada tahun 2023, terdapat peningkatan signifikan dalam jumlah orang yang mencari bantuan profesional untuk masalah kesehatan mental. Hal ini menunjukkan bahwa kesadaran yang ditingkatkan melalui berbagai kampanye dan konten kesehatan mental di media sosial dan media massa telah berhasil mendorong lebih banyak orang untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk kesejahteraan mereka.
Selain itu, banyak inisiatif yang dilakukan oleh perusahaan besar memang memberikan dampak positif, terutama dalam menyediakan sumber daya dan dukungan bagi karyawan mereka. Beberapa perusahaan telah memperkenalkan program kesehatan mental di tempat kerja, seperti akses gratis ke konseling, pelatihan mindfulness, dan cuti sakit yang lebih fleksibel untuk kesehatan mental. Menurut survei dari Mind Share Partners pada tahun 2023, lebih dari 50% perusahaan di Amerika Serikat kini menawarkan beberapa bentuk dukungan kesehatan mental bagi karyawan mereka. Ini merupakan langkah penting menuju menciptakan lingkungan kerja yang lebih mendukung dan inklusif. Ya walaupun mungkin di Indonseia masih belum ada:)
Mencari Keseimbangan
Untuk memaksimalkan sisi positif dari fenomena ini, penting bagi semua pihak --- mulai dari individu hingga perusahaan --- untuk memastikan bahwa diskusi tentang kesehatan mental dilakukan dengan niat baik dan keaslian. Edukasi yang tepat mengenai apa itu kesehatan mental, bagaimana cara mengelolanya, dan di mana mencari bantuan sangat penting dalam memastikan bahwa upaya-upaya ini tidak hanya sekadar menjadi tren tetapi menjadi bagian integral dari kesejahteraan sosial kita.
"Kesehatan mental adalah kesehatan manusia. Kita perlu membicarakannya dengan lebih jujur dan lebih sering." --- Prince Harry
Dengan terus meningkatkan literasi kesehatan mental dan mendorong dialog terbuka, kita dapat memastikan bahwa perhatian yang diberikan pada kesehatan mental akan berkelanjutan dan tidak hanya sekadar untuk keuntungan semata. Ini juga berarti menantang norma-norma yang mereduksi kesehatan mental menjadi sekadar komoditas dan mempromosikan pendekatan yang lebih etis dan bertanggung jawab terhadap kesejahteraan mental masyarakat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H