[caption id="attachment_286607" align="alignnone" width="475" caption="Foto: Fildza Adilla"][/caption]
Hari Sabtu, 7 September 2013 kemarin ada acara yang unik dan menarik untuk ditonton di Darwin. Selama sekitar 2,5 tahun tinggal di kota ini, belum pernah kami menyaksikannya. Jadi kami memang sudah menunggu-nunggu dan tidak mau melewatkan acara ini. Kalau biasanya kita menonton pertunjukkan orchestra di suatu gedung atau di ruangan, kali ini orkestra itu akan dimainkan di atas air atau tepatnya di atas kapal di tepi dermaga. Acara tersebut diberi tajuk "Symphony On The Sea".
Setelah janjian dengan beberapa teman mahasiswa Indonesia, maka berangkatlah kami sekitar pukul 4.30 pm secara beriringan menggunakan 2 mobil menuju lokasinya yaitu di Dermaga Stokes Hill Wharf. Satu mobil lainnya yang berangkat sepuluh menit lebih awal mengabarkan bahwa tempat parkir yang dekat lokasi sudah penuh. Jadi kami terpaksa harus cari parkir yang agak jauh yaitu di sekitar kantor Darwin City Council yang kebetulan berdekatan dengan Kantor Konsulat Jenderal RI di Jalan Harry Chan, di pusat kota Darwin. Konsekuensi dapat parkir jauh adalah kita siap-siap capek berjalan kaki menuju lokasi. Tapi untunglah banyak juga pengunjung lain yang memparkir mobilnya di sekitar sana bahkan lebih jauh lagi. Jadi antisipasi bakal capek jalan kaki ternyata jadi tidak dirasakan. Banyaknya orang yang berjalan kaki bersama menuju tempat tujuan yang sama, meskipun dengan langkah yang cepat tapi jika dilakukan sambil mengobrol hal-hal yang menyenangkan ternyata bisa membuat jarak yang jauh menjadi terasa dekat. Apalagi cuaca sore itu yang tidak panas bahkan tampak cerah sejuk juga sangat mendukung. Sesampainya di mulut jembatan menuju dermaga, kami melewati pos yang dijaga beberapa orang panitia dan security untuk memeriksa (tepatnya mengamati) para pengunjung yang datang agar tidak membawa makanan/minuman dari luar ke dalam lokasi pertunjukkan. Ini karena di sana telah dijual makanan dan minuman dari stall (stand) yang disediakan panitia. Selain itu, di lokasi Dermaga Wharf dalam sehari-harinya juga digunakan sebagai pusat kuliner tepi laut yang terkenal dengan menu "Fish and Chips"nya. Di ujung jembatan memasuki lokasi Dermaga Wharf, beberapa orang dengan berseragam tertentu (bukan Security) tampak berkerumun. Sepertinya mereka dari panitia penyelenggara, bukan dari Red Cross (PMI) atau pihak Asuransi (emangnya kayak di Bandara kita, hehe...). Pastinya juga mereka bukan dari Panti Asuhan atau Panitia Pembangunan Rumah Ibadah tertentu (Hicks! Aku kok menyindir budaya negara sendiri sih, ampuuun...). "Lho katanya ini free event, kok kita harus bayar sih!" pikirku. Apalagi sebagian besar public events di Darwin tidak dipungut bayaran alias gratis. Oh rupanya pengunjung bukannya harus bayar, tapi mereka diharapkan mau memberikan donasi (sumbangan) sukarela ala kadarnya. Maka berdencing-dencinglah bunyi koin (uang logam) recehan di dalam ember putih yang dipegang para petugas itu. Para pengunjung memang melemparkan recehan koin mereka yang satuannya bisa antara 1 sen, 5 sen, 10 sen, 20 sen, 50 sen, 1 dolar atau 2 dolar yang terbesar. Karena tidak membawa uang koin, aku masukkan ke ember plastik itu uang kertas terkecil sebesar 5 dolar. Mungkin karena dianggap agak besar nominalnya, si petugas lalu memberikan semacam buklet panduan acara plus koran harian lokal NT News. Sementara mereka yang cuma nyemplungin koin recehan tidak dikasih buklet. Oh rupanya ada beda perlakuan terhadap donatur koin recehan dan uang kertas! Menuju tempat duduk penonton, kami melewati beberapa stall (stand) penjual makanan/minuman. Jangan bayangkan di sana ada abang-abang penjual nasi goreng, mie tektek, gorengan, kue putu apalagi kerak telor seperti di Jakarta. Yang dijual di stall-stall itu (ada sekitar 8 stall) adalah berbagai kue-kue, burger, masakan Cina, India dan Thailand, soft drink serta minuman beralkohol. Yang terakhir ini sepertinya wajib ada dan tidak dilarang di acara-acara seperti ini di Darwin, apalagi ini malam minggu. Juga kebetulan di Darwin belum ada Cabang FPI (Ormas tertentu), jadi dijamin aman tidak ada yang sweeping miras, haha... Ketika kami datang, tempat duduk yang tersedia baru terisi sekitar seperempatnya. Kami rupanya datang cukup awal jadi lumayan dapat duduk di deretan kelima dari depan. Tapi menjelang acara dimulai pukul 6.30 pm, panitia mengumumkan bahwa lokasi VIP di Sayap Kiri ternyata masih kosong karena ada rombongan undangan yang tidak jadi hadir dan para penonton non VIP dipersilakan untuk menempatinya. Maka dengan sigap rombongan kami bergegas pindah ke lokasi VIP yang kebetulan dekat dengan tempat kami duduk semula dan entah bagaimana prosesnya akhirnya kami berhasil menempati kursi di deretan paling depan dan deretan kedua dengan sedikit agak ke kiri. Deretan kursi penonton paling depan itu berada persis di tepi dermaga yang hanya dibatasi oleh pagar besi pendek non permanen yang sengaja dipasang secara temporal khusus dalam rangka acara ini untuk menjaga agar penonton terutama anak kecil tidak mudah tercemplung ke air laut. Tapi kalau pun ada yang kecemplung, kita tidak perlu khawatir karena di sana terlihat mondar-mandir boat (perahu kecil) tim penyelamat yang siap siaga untuk menolong. Inilah memang bedanya negara kita dengan negara maju, keselamatan jiwa manusia di sini sangat sangat diutamakan. Aturan-aturan dibuat sangat ketat dengan penerapan sanksi yang konsisten tanpa pandang bulu. Bahkan bila sengaja menghilangkan nyawa seekor Unggas/Burung pun kita akan dikenakan denda besar apalagi bila binatang Mamalia. Jangan tanya berapa nyawa melayang begitu mudah di negara kita karena peraturan lalu linta yang seringkali dilanggar… prihatin! Sementara itu jarak antara kami sebagai penonton terdepan dengan kapal yang ditempati grup orkestra adalah sekitar 25 meter. Memang tidak terlalu dekat tapi lumayan lah kami masih bisa melihat personil orkestranya meskipun hanya bayang-bayangnya. Lho ini kan bukan nonton film tapi 'nonton' orkestra. Jadi sebenarnya tujuan kita bukan melihat pemusiknya ganteng/cantik atau tidak tapi tujuan kita yang utama adalah mendengarkan keindahan alunan suara yang lahir dari kombinasi berbagai alat musik yang diramu sedemikian rupa dengan dikoordinir oleh seorang dirigen/conductor. Motivasi kami sebagai mahasiswa yang menonton orkestra ini rupanya masih sebatas untuk bergembira bisa berkumpul dan mengobrol bareng sebagai kompensasi kejenuhan kuliah, menyelesaikan 'assignment' dan menulis thesis yang kok tidak kelar-kelar juga. Motivasi seperti ini ternyata telah berdampak kurang menyenangkan buat orang lain. Karena terlalu hebohnya kami mengobrol, berfoto-foto bahkan mondar-mandir beli makanan/minuman, sampai-sampai seorang bule tua duduk di belakang kami terpaksa berdiri lalu menegur dengan mengatakan "Jangan berisik, kita sedang nonton orkestra jadi harus tenang biar musiknya dinikmati...". Wah wah... kami memang salah, terlalu asyik dan tidak menyadari bahwa pertunjukkan orchestra baru saja dimulai. Rupanya kami masih harus belajar sopan santun lagi di negeri orang... Keunikan dari pertunjukkan ini yaitu penontonnya bukan hanya yang ada di atas dermaga, tapi ada penonton lain yang menyaksikan yaitu mereka yang ada di atas boat-boat atau sejenisnya yang terapung mengelilingi kapal besar tempat grup orkestra itu tampil. Sementara bagi penonton yang duduk jauh dari lokasi kapal pertunjukkan, mereka masih bisa menyaksikan suasana panggung dan pertunjukkan melalui layar lebar yang disediakan panitia di dekat stall makanan/minuman. Pada acara sejenis di Singapura yaitu "Songs Of The Sea" di Sentosa Island, pertunjukkan juga dilakukan di atas air di tepi pantai dan penontonnya menduduki tribun terbuka yang disediakan. Dan yang paling membedakannya dengan acara ini adalah di sana ada pertunjukkan sinar laser yang sangat menakjubkan dan kita harus membeli tiket agak mahal untuk bisa menyaksikannya, haha... dasar begitulah pikiran mahasiswa yang kantongnya tipis! Group orkestra yang memainkan Symphony On The Sea ini adalah "Darwin Symphony Orchestra" (DSO), suatu kelompok orketra dari Charles Darwin University yang didirikan pada tahun 1989 oleh Professor Martin Jarvis. Personil orkestra ini terdiri dari dosen musik, mahasiswa/pelajar dan beberapa pemusik di Darwin. Sementara Artistic Director and Chief Conductor dari DSO adalah Matthew Wood yang berasal dari London, Inggris. Dua bulan lalu di Amphitheater Botanical Garden Darwin mereka tampil memukau penonton pada pertunjukkan yang bertajuk "Beatlesmania with DSO". Animo masyarakat yang begitu besar untuk menonton saat itu membuat panitia harus menutup pintu masuk sebelum pertunjukkan dimulai. Sebagian mereka baru bisa masuk saat break time menggantikan beberapa penonton yang pulang duluan. Mungkin performa mereka yang ciamik itulah dan tentu yang sebelum-sebelumnya menjadi daya tarik penonton untuk menyaksikan atraksi mereka lagi kali ini. Selain itu, masyarakat Darwin memang sangat haus hiburan disaat Dry Season ini. Itu karena disaat Wet Season tiba pada bulan Oktober hingga Maret, mereka terpaksa harus banyak berdiam diri di rumah atau hanya bisa beraktivitas di ruang tertutup. Tidak ada acara pertunjukkan besar yang dilakukan kecuali mau beresiko berantakan diguyur hujan deras atau badai angin (Cyclone) yang bisa merubuhkan tenda-tenda stall, panggung acara atau membongkar atap bangunan/gedung acara. Kami pernah mengalaminya di awal tahun 2011, luar biasa... Semakin malam suasana acara semakin semarak dengan adanya cahaya yang berwarna-warni indah di tengah kegelapan langit. Kilauan cahaya indah itu terutama yang terpancar dari panggung yang menimpa air laut sehingga menciptakan kilauan jembatan cahaya yang menawan dari arah panggung menuju tempat kita di saat melihatnya. Cahaya lampu dari boat-boat penonton di atas air yang mengelilingi kapal besar tempat pertunjukkan juga semakin manambah kesemarakan suasana acara di malam ini. Suasana gemerlap seperti ini tentunya tidak bisa dirasakan bila kita hanya melihatnya dari televisi saja. Mungkin perbedaan suasananya sama saat kita menonton pertandingan sepakbola Timnas di SUGBK dengan kita hanya menontonnya di televisi di rumah atau “Nobar”. Pertunjukkan orkestra selesai sekitar pukul 9 pm dan lalu acara ditutup dengan atraksi kembang api selama sekitar 5 menit. Kami pun berkemas pulang dan berkoordinasi sebentar mengenai siapa saja penumpang yang ikut di masing-masing mobil supaya pengantaran ke rumah mereka masing-masing jadi lebih lancar dan efisien. Setelah itu kami berjalan kaki menuju mobil yang lumayan jauh itu. Tapi semua itu tidak terasakan capeknya karena kami lakukan bersama-sama penonton yang lain juga. Mungkin sebab utamanya adalah karena suasana hati kami yang senang dan puas dengan pertunjukkan yang baru saja disaksikan, wallahu’alam… Kami berharap bisa menyaksikan pertunjukkan Darwin Symphony Orchestra berikutnya pada bulan Oktober 2013 yang bertajuk "Symphony at Uluru". Uluru (bukit batu berbentuk bundar berwarna orange kemerahan) merupakan salah satu warisan dunia yang ada di tengah-tengah benua Australia tepatnya di wilayah Alice Spring. Orkestra yang dipertunjukkan di lokasi tersebut pastilah akan sangat unik, fantastic dan spektakuler. Tapi kami harus segera mengubur mimpi kami itu karena meskipun tiket masuknya gratis tapi transport menuju ke sana terbilang mahal buat kantong kami sebagai mahasiswa. Darwin, 8 September 2013
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H